Masih hari ke-125 yang panjang (tapi sangat sebentar bagiku) di kelas 11.
"Apaan tuh?"
Aku mendongak.
Curang. Mukamu masih basah habis wudhu. Dan jadinya bersinar, walaupun kau sebenarnya membelakangi matahari.
Pasti kau sengaja cuci muka. Tak mungkin kan kau jadi setampan ini tanpa disengaja.
"Sssstt udalah," usirku.
"Bentar doang!"
"Enggak!"
Kamu merebut hapeku dari tanganku.
(Salah. Sebenarnya kebiasaanmu merebut tanganku dari apa saja itu yang kupegang.)
"Ealah," katanya setelah melihat judul game di layarku. Lalu memainkannya tanpa izin.
Gapapa kok, Van. Kamu pinjem perasaanku tanpa izin juga nggak papa.
"Lo nggak sholat?"
"Lagi nggak sholat."
"Oalah oke," kamu bilang.
Ada bunyi khas yang membuatku langsung tahu kau telah memenangkan level itu.
"Bosenin banget, sih," kau memberikan hapeku, lalu mulai membuka jok motor.
"Eh, kok lo bisa? Yang ini susah banget!"
"Ya gimana ya, Mai," katamu sambil terus menunduk, mencari sesuatu. "Tuhan itu sayang banget sama gue. Gue dikasih mukjizat, deh. Gue jadi sakti di segala jenis game."
"Ngaco," kataku tapi tertawa.
"Gue dikasih dua lo mukjizatnya," kau akhirnya menghadapku. "Mau tau nggak satunya apa?"
"Nggak."
"Gue bisa bikin lo sering ngefly."
Aku tersenyum tapi kutahan tapi susah sekali tapi aku malu menunjukkan kalo aku senang. "Oke ini paling ngaco."
Kau hanya membalasku dengan senyum menantang kayak berkata, liat aja nanti.
Setelah itu kau mengambil sesuatu dari jok. Setelah menutup jok kau menawarkan benda itu untukku.
Setelah itu kau bilang, "nih." Setelah melihat kalau itu sebuah masker aku jawab, "ih, enggak!"
"Loh, buat elo!"
"Gamau."
"Ntar batuk-batuk lho, tau sendiri jalan ke Citos banyak asep."
"Apaan!" aku tertawa.
"Ini udah," tawarmu. "Gue gamau lo ga enak."
"Nggak."
"Ambil!"
"Gak mau, dih," aku lalu menjelaskan, "itu kan bekas elo, bego!"
Kau diam. Berkedip sekali.
"Oh iyaya," katamu. "Tapi gapapa, pake aja biar gue seneng."
"Seneng napa?"
"Satu, elo gak hirup asep," kamu bilang. "Dua, kalo maskernya gue pake lagi, kita secara gak langsung ciuman kan?"
Aku diam. Berkedip sekali.
Kau tersenyum lebar dan aku tidak bisa menahan bahagiaku ketika melihat kau senang.
"Ih, senyum!"
"Gue ga senyum gara-gara itu!" aku membela diri ditengah-tengah ketawa kecilku--- yang menjadikan pembelaanku tak berlaku--- lalu memukul bahumu. "Kampret lo!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pintu Kayu
Teen FictionAku mendorong pintu kayu yang gagangnya dirusak kamu Desember lalu. Tak menyadari bahwa lima bulan lagi gagangnya akan diganti dengan yang baru, membuatku lupa apa alasanmu membanting pintu tak bersalah itu. Buatku lupa juga kalau merebut pacar oran...