Hari ke-126 di kelas 11.
Aku mendorong pintu kayu yang gagangnya dirusak kamu Desember lalu.
Pintu itu jadi bolong di bagian tengahnya. Aku jadi teringat pada lubang besar di hatiku.
Kelas kita sudah ramai di bagian depannya. Aku jadi teringat kejadian Jum'at terakhir sekolah.
"Ini kok bisa copot, sih?" ujar Ika frustrasi.
"Gimana, Yat," panggil Andri, "nemu obeng?"
"Kagak," Dayat menjawab.
Ines tertunduk, "kita pasti dimarahin Pak Yoyon..."
Aku tercengang. Nyaris keringat dingin.
Aku diwawancarai, kemudian. Nyaris membocorkan kalau ini akibat perbuatanmu.
"Trus gimana?" Andri tanya. "Kita beli baru?"
"Bentar, bentar," aku mulai kesal didesak. "Ngga usah panik lah, guys. Tenang, ini bisa diurus!"
"Lu ketua kelas tapi kok bisa ngga panik sih?" sindir Ines.
"Ya soalnya gue tahu persis harus apa," tukasku.
Aku keluar kelas. Di belakangku banyak pertanyaan yang mengambang, tak kujawab.
Aku melirik ke koridor. Di ujung sana ada satu orang, jalan mendekat.
Jaket familiar dipakai itu bahkan sudah dapat kukenal harumnya.
Mata yang tidak menangkap milikku itu bahkan sudah dapat membuat nadiku beku.
Kau tahu, saat kau memandang lapangan basket, aku ingin lari ke tengahnya agar kau perhatikan.
Tapi saat kau balas menatapku, aku ingin lari ke lapangan basket karena malu kau perhatikan.
Tinggal beberapa langkah dari pintu kelas, kau siap belok. Hanya satu langkah dari pintu kelas, aku berdiri menunggumu.
Kau menghampiriku, baru akan membuka mulut ketika aku menggiringmu ke balik tangga.
"Apaan sih?"
"Pintu kelas kita!"
"Kenapa?"
"Rusak!" jawabku. "Gara-gara elo!"
"Hah?"
Sepertinya kagetmu itu tidak dibuat-buat. Sepertinya aku mulai mengagumi wajahmu yang lucu kalau sedang panik.
"Lo harus ganti!"
"Kenapa gue!"
"Elo yang ngerusakin," jelasku. "Inget?"
"Alah, gitu doang, gampang kali benerinnya."
"Van! Itu pintu kayu!"
Kau menyadari nada tinggiku. Mungkin ini salahku yang terlalu melebih-lebihkan, tapi kau menjawab dengan santai, "terus?"
"Dia ga bisa dibenerin. Satu-satunya cara bikin itu layak dipake adalah ganti dengan pintu baru."
Tatapanmu menyelidik, "gitu ya?"
"Iya," balasku. "Dia rapuh. Dia gampang lapuk. Dia ditendang aja bisa patah. Dia dimakan serangga, lho, hilang!"
Kau memutar mata, "lo pikir gue ga tau, apa?"
"Ya. Itu yang gue pikir. Kenapa?" tantangku.
Kau membuatku mendongak begitu kaku, sampai leherku sakit. Tanpa berkedip. Tanpa mundur selangkah.
Ekspresimu tiba-tiba berubah. Seperti sadar sesuatu. Seperti kecewa--- tak percaya.
"Gue ngga terima lo ajak ngomong seolah gue bodoh," alismu mengerut, ikut menjawab pertanyaanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pintu Kayu
Ficção AdolescenteAku mendorong pintu kayu yang gagangnya dirusak kamu Desember lalu. Tak menyadari bahwa lima bulan lagi gagangnya akan diganti dengan yang baru, membuatku lupa apa alasanmu membanting pintu tak bersalah itu. Buatku lupa juga kalau merebut pacar oran...