Empat Belas?

117 11 1
                                    

Masih hari ke-125 yang mulai membosankan.

"Jangan lupa di klik."

"Iya pak polisi," aku mengklik tali helmku. "Oya, ini punya sapa, sih?"

"Mana gue tau."

"Lah trus, kok elo ambil??"

"Halah," katamu. "Paling juga punya Bayu. Atau Hendra. Eh punya Hendra merah sih. Gatau ah. Ntar kan tinggal ngembaliin."

Aku hanya menatapmu tak percaya. Lalu naik ke belakang motor.

"Nggak pegangan?"

"Nggak!"

Kau terkekeh dan jalan. Beruntunglah aku, karna kau tak ngebut sedikit pun.

"Mai, lo enteng banget sih!"

"Masa sih?"

"Iya, kayak nggak gonceng apa-apa."

"Apa??"

"Kayak ga gonceng apa-apa!"

"Alay!"

"Ih serius gue! Pas lo naik aja gue ga sadar."

Aku tertawa dan lihat jalan. Beruntunglah aku, karna kau tak lihat wajah maluku di spion.

Belum pernah ada yang bilang gini. Maksudnya, memperhatikanku gitu lho. Apalagi tentang berat badanku.

"Lo padahal ngga keliatan enteng."

"Emang gimana itu, keliatan enteng?"

"Ya keliatan."

"Ya gimanaaa?"

"Ya gitu," katamu, lalu diam sebentar untuk menyalip mobil. "Kayak Hesti. Kuruuus banget. Tangannya kecil. Eh, tangan lo juga sih. Bahkan pergelangan lo cuma 6 centi."

Belum pernah ada yang bilang gini. Maksudnya, memperhatikanku gitu lho. Apalagi tentang ukuran pergelanganku.

"6 centi? Gila ga mungkin lah."

"Loh, ga percaya. Gue udah ngukur!"

"Apa??" aku tak kedengaran. Ada truk lewat.

"Gue udah ngukur!"

"Cukur?"

"Gue udah," kau sadar kenapa aku tak mendengarmu. Lalu jalan lebih pelan. "Ngukur. Gue ngukur tangan lo. Pergelangan tangan lo. Pas lo tidur."

"Oalah..."

Kita bertemu lampu merah, berhenti, tapi aku tak menghentikan percakapan. "Kurang kerjaan banget, sih."

"Siapa?"

"Ya elo! Ngukur tangan gue."

"Oalah," balasmu. "Itu gue bosen. Trus gue nyoba masang jam tangan gue ke tangan lo. Lah kok ga cukup..."

Aku tertawa. Reflek melihat pergelanganku sendiri.

"Serius deh. Padahal itu lobang paling kecil. Jadi renggang gitu, pas nya baru pas gue mundurin ke lengan lo."

Aku membayangkan kau memegang tanganku. Reflek memegang pergelanganku sendiri.

"Ya kan itu jam tangan cowok."

"Sama aja, bego."

"Beda lah!"

"Sama!"

"Beda, Vaaan."

"Yaudah gue ngalah... Oke beda."

Kita bertemu lampu hijau, tapi kau jalan agak pelan. "Lo ga pernah makan ya?"

"Makan lah!"

"Ga makan nasi."

"Makan."

"Lah kok kurus?"

"Kurus apanya," bantahku. "Ini itu gendut!"

"Hah?! Elo? Gendut? Gila apa!" bantahmu balik. "Liat dunia sekitar, Mai. Liat Hendra, tuh. Hahahahah."

"Tapi gue itu nggak kurus!"

"Kata siapa?"

"Kata Faris."

Entah kenapa kau tak mengerem saat ada polisi tidur. Aku jadi terlempar.

"Sori, sori," katamu setelah pekikanku barusan. "Dia bilang apa?"

"Gue gendut."

"Hah?"

"Ga gendut sih. Kurang kurus. Trus dia nyuruh gue diet."

Kau menyalip mobil dan mendapat hadiah sebuah tin! "Tolol."

"Apa??"

"Enggak. Pacar lo tuh lo," kau membesarkan suara.

"Napa?"

"Bilang lo gendut padahal pas ada polisi tidur elo loncat."

Aku menatap mobil sebelah dan mendapat hadiah tatapan balik. "Hahah."

Aku kira kau akan melanjutkan percakapan. Aku padahal sudah siap menahan ejekanmu ke Faris.

Aku kira kau akan membelaku. Aku padahal sudah siap diajak makan banyak olehmu.

"Jadi dia, alesan lo gamau makan di warung tadi?"

Lebih terdengar seperti pernyataan daripada pertanyaan.

Aku pura-pura tak mendengar.

.

Sampai di Citos, kau tak berbicara banyak. Hanya menjawab terima kasihku lalu pergi.

Sampai di sana, aku tak berbicara banyak. Hanya pamit sebentar lalu masuk.

Baru berapa langkah, aku menyesal tak bilang padamu untuk hati-hati di jalan.

Baru berapa langkah, aku sudah merindukanmu dan menoleh ke belakang.

Tentu saja kau tak disana.

Banyak hal penting di hidupmu yang tak melibatkan aku.

.

Berjalan ke lantai dua memakan waktu lama. Tak secepat melewati belasan kilometer di atas motormu.

Menghilangkan kamu dari otakku memakan waktu lama. Tak secepat menghapus nama kekasihku dari doa sehari-hariku.

Julia lah yang pertama melihatku memasuki cafe, "woy! Sini!"

Ika lah yang pertama bertanya tentang alasanku telat, "ngapain aja? Macet? Ada kecelakaan? Gue takut tauk!"

Acha menyimpulkan aku kelaparan, jadi ia memesankan sandwich dan lemon tea. Padahal aku tak suka
lemon tea.

Julia menyimpulkan aku dan kamu berduaan dulu tadi, jadi ia menuduh kita juga makan di lantai bawah. Padahal kita ke warung.

Aku mencoba membuat diriku nyaman di kursi, sementara kamu mencoba menduduki sisi hatiku lagi dan lagi.

"Minggu depan jadi kan?"

"Jadi, lah."

"Entar dresscode nya diumumin di grup aja ya?"

"Iya, sekalian ngingetin tempat sama tanggal."

"Ngapain ngumumin tanggal? Ga mungkin lah kita lupa kalo New Year's Eve itu tanggal 31! Hahahah!"

"Hahahah bener juga, ya!"

"Duh, jadi ga sabar!"

Aku mencoba memahami bahasan teman-temanku sekarang,

Sementara kamu,

Dalam perjalananmu,

Mengendarai hari, juga membopong sejilid pemahamanmu tentang kisah kita, yang,

Perlembarnya terbang,

Perlahan hilang,

Pikirmu, biar saja disimpan angin,

Siapa juga yang mau mengantongi akhir tak bahagia?

Pintu KayuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang