Dua Puluh Satu

130 12 1
                                    

"Iya, iya, gue cerita."

"Nah," kau merangkulku. "Gitu dong!"

"Tapi kasih tau dulu ini apa!" aku menunjuk ke aksara jawa di meja. Lalu bilang, "aku yakin kamu tau."

"Aku? Kenapa aku? Masa aku tau beginian, Mai."

"Ayo, ngaku!"

Kau tidak mau mengaku.

"Van, nama elo itu Revandyo Tirta. Tirta bahasa apa coba kalo bukan Jawa?"

"Mmm..."

Aku terus menatapmu sambil menunggu. Alih-alih menjawab, kau meraih tasmu dan mengeluarkan sebuah buku.

"Eh? Lo bukannya alergi buku?" sindirku.

"Serius nih," katamu. "Ini kamus."

Buku merah itu aku pegang. Setelah membaca judulnya, buku itu lepas dari tanganku.

"Lo boleh baca ini setelah lo cerita," tegasmu, lalu memasukkan kamus bahasa Jawa itu ke tasku.

Aku mendadak merasa canggung. Kau seolah mengendus keanehan, dan kau benci tidak mengetahui.

Matamu itu--- menuntutku untuk jujur.

Aku berada dalam jalan buntu.

"Oke," kataku, akhirnya bersandar. Aku harus mencari posisi nyaman agar lancar bercerita.

Aku menarik napas.

"Aku dianter pulang."

Kau menyimak.

"Tapi nggak cuma itu aja--- aku disuruh mandi. Dan pake baju bagus. Karena aku diajak makan malem sama keluarganya."

Aku berdeham.

"Selesai."

Kau berhenti menatapku dan menghadap ke papan tulis. Bersandar seperti aku, namun kau malah terlihat tidak nyaman.

"Orangtuanya ngobrol banyak sama elo?"

"Mmm... Iya..."

"Dia punya adek?"

"Punya; dua."

"Lo deket sama mereka?"

"Sering main sih..."

Kau berdeham, "gue tebak, orangtua Faris suka sama elo?"

Aku tidak mengerti arah pembicaraan ini. "Maksud lo apa sih?"

"Hmm... Ya pasti mereka suka lah, gimana sih, Van," kau berbicara sendiri. "Elo cantik, mandiri, pinter, apa yang kurang dari elo?"

"Van..."

Sekejap saja kau sudah menghilang dari hadapanku, dan aku cuma bisa menatap punggungmu yang angkuh.

Kau melewati pintu kayu yang kubenci itu--- memberiku kesempatan untuk mengambil kamus merah dari tasku dan memecahkan kode darimu.

Mencarinya susah sekali. Aku sangat kesal setelah mengetahui kamus aksara Jawa-nya ada di bagian paling belakang.

"Ini Ja... Da... Oh--- ada tanda ini," gumamku. "Berarti Di..."

Aku menyalin terjemahannya di buku tulisku. "Habis itu Ya... Na... Eh kok ada bentuk aneh gini, sih."

Aku membutuhkan 7 menit untuk menerjemahkannya dan seselesai itu, aku membaca kalimatnya.

Jadian yuk

Rahangku jatuh.

.

Dalam cerita cinta dengan lebih dari 57 ribu pembaca, seorang Maidi akan sadar ia tak bisa hidup tanpa seorang Evan, kemudian ia akan bergegas keluar ruangan 'tuk mengejarnya.

Namun aku bukan seorang Maidi dan kamu bukan seorang Evan. Aku Maidi saja. Dan kamu hanyalah Evan. Aku tahu aku bisa hidup tanpamu--- hanya saja aku tak mau.

Bila ini cerita cinta yang digemari banyak orang, seorang Maidi akan berlari menembus kerumunan dan menemukan seorang Evan di bagian tengah koridor. Seluruh dunia akan hening saat seorang Maidi memanggil belahan jiwanya.

Namun aku bukan seorang Maidi. Aku hanya Maidi yang--- melihat aku tak punya belahan jiwa--- cukup yakin jiwaku tak dalam keadaan terbelah. Hanya tercabik-cabik saja, aku bilang pada diriku sendiri. (Tapi suaraku hanyut dalam keramaian).

Jika ini sebuah kisah cinta yang begitu menyentuh hati, seorang Evan akan berbalik untuk melihat seorang Maidi di hadapannya.

Sedangkan kamu bukan seorang Evan, melainkan Evan--- cukup Evan. Dan setahuku kamu hanya terlihat di harapanku.

Seorang Maidi akan berlari ke pelukan seorang Evan. Kemudian dalam kisah cinta yang setengah-populasi-dunia bilang romantis itu, mereka entah bagaimana bisa berdiri di lapangan terbuka--- tentu saja sambil diguyur hujan deras.

Yang deras dari hidupku bukan hujan. Yang deras dari aku bukan air mata--- Tuhan, tidak. Aku hanya Maidi biasa dengan kisah cinta remaja biasa. Toh, kalau aku harus mengaku, yang deras di ingatanku adalah suaramu.

Dalam cerita cinta dengan lebih dari 57 ribu pembaca, seorang Maidi akan berkata pada seorang Evan, "kumohon jangan tinggalkan aku," kemudian seorang Evan sebagai laki-laki akan berjanji untuk selalu menjaganya. Jangan lupa adegan mencium kening.

Namun ini hanyalah cerita cinta biasa milik remaja biasa--- dan remaja sedunia sudah dikodratkan untuk patah hati.

Sampai bel pulang sekolah entah bagaimana aku tak bertemu denganmu, dan dari sana aku yakin aku hanya Maidi yang kebingungan.

Aku cuma Maidi yang sedikit tersesat.

Aku hanya Maidi yang gelisah.

Mungkin aku butuh seorang Evan.

Astaga--- tidak. Tidak ada itu: seorang Evan. Adanya Evan saja.

Aku butuh Evan saja.

Aku butuh Evan saja.

Pintu KayuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang