Chapter 2

2.6K 108 0
                                    

"Kenapa murung gitu?"

Joshua menoleh sejenak ke arah Evelyn, memperhatikan ekspresi wajah gadis itu yang terlihat lelah. Dia tahu, sudah beberapa hari ini Evelyn terlihat kurang bersemangat, dan kali ini sepertinya tidak bisa dia abaikan.

"Hah? Apa?" Evelyn tampak terkejut dengan pertanyaan itu, lalu cepat-cepat tersenyum meski terlihat dipaksakan. "Nggak kok, gue cuma capek aja," jawabnya jujur. Matanya terlihat sedikit sayu, mungkin efek dari kurang tidur karena seminggu penuh rapat organisasi dan juga tugas kuliah.

Joshua mengangguk pelan tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan di depan mereka. Dengan satu tangan yang masih memegang setir, tangan lainnya dia angkat, mengusap lembut kepala Evelyn. "Kasihan banget ketua kita ini. Kalau gini terus, lo bisa sakit."

Evelyn terkekeh pelan, meski masih terdengar letih. Dia menikmati sentuhan lembut Joshua, sedikit merasa tenang. "Yah, nggak ada pilihan lain, kan? Kadang jadi ketua tuh lebih ribet dari yang gue bayangin," gumamnya.

"Lo harus istirahat, Eve. Gue nggak mau lo ambruk tiba-tiba," ucap Joshua dengan nada setengah serius, setengah bercanda, meski dalam benaknya kalimat itu sepenuhnya benar.

"Ya ampun, lebay banget sih lo! Gue kuat kok," Evelyn menegaskan sambil menoleh menatap Joshua. Namun, tatapan Joshua tetap fokus ke depan, walau ekspresi di wajahnya menunjukkan rasa khawatir yang tak bisa dia sembunyikan.

Joshua tersenyum miring, tak sepenuhnya percaya dengan ucapan Evelyn barusan. Dia tahu persis bahwa gadis itu sering kali jatuh sakit, meskipun Evelyn selalu berusaha keras untuk terlihat kuat dan sehat di hadapan semua orang. Tapi Joshua tahu lebih dari siapa pun betapa rapuhnya Evelyn sebenarnya, dan itu membuatnya semakin waspada.

Mereka tiba di parkiran fakultas Arsitektur, dan saat mereka berdua turun dari mobil, perhatian para mahasiswa langsung tertuju ke arah mereka. Tentu saja, kebanyakan mata tertuju pada Evelyn, si Ketua BEM yang dikenal ramah dan bersahabat dengan siapa pun. Wajahnya yang cantik selalu terlihat ceria, membuat siapa pun yang berada didekatnya ikut ceria.

Evelyn membalas sapaan-sapaan dari mahasiswa disini. Perhatian itu, sapaan hangat itu, sudah jadi bagian dari rutinitas Evelyn. Semua orang tampak menyukainya.

Meski Evelyn mendapatkan semua perhatian, Joshua juga tidak luput dari pandangan orang-orang, terutama para mahasiswa lain yang sering memperhatikan hubungan mereka. Joshua bukan sekadar bayangan yang selalu mengikuti Evelyn.

Laki-laki itu memiliki kehadiran yang kuat, misterius, dan tidak bisa diabaikan. Beberapa orang bahkan bertanya-tanya siapa sebenarnya Joshua? Laki-laki yang hampir selalu ada di sisi Evelyn, tetapi jarang berbicara dengan orang lain. Sosok yang menimbulkan rasa penasaran, tapi sekaligus menjaga jarak.

Mereka berjalan santai menuju gedung fakultas, diiringi oleh obrolan ringan. Namun, tiba-tiba Evelyn berhenti dan mengeluarkan ponselnya yang bergetar. Wajahnya tampak sedikit kesal saat membaca pesan yang baru saja masuk.

"Huft..." Evelyn menghela napas panjang, membuat Joshua menoleh ke arahnya.

"Why the deep sigh, Eve?"

"Biasa, panggilan mendadak dari Dekan," jawab Evelyn sambil menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan pesan dari Dekan. "Gue harus kesana sekarang. Bisa jagain tempat buat gue?"

Joshua mengangguk dengan cepat, meskipun hatinya mulai panas. Perasaan tidak nyaman yang sudah lama dia pendam kembali muncul ke permukaan. Hampir setiap hari Evelyn dipanggil oleh Dekan, dan selalu dengan alasan membahas kegiatan fakultas. Namun, Joshua tahu bahwa itu hanya dalih.

"Sure, I'll hold the fort for you," jawab Joshua, mencoba terdengar santai. Namun di dalam, amarahnya perlahan memuncak.

Dekan fakultas Arsitektur memang dikenal sebagai sosok yang disukai banyak mahasiswi. Bukan hanya karena posisinya yang berpengaruh, tapi juga karena penampilannya yang tampan dan karismatik. Dekan termuda, baru 29 tahun, dan banyak yang terang-terangan mengidolakan dia. Mahasiswi dari fakultas lain bahkan sering terlihat mondar-mandir di sekitar gedung Arsitektur, berharap sekedar melihat wajah sang Dekan.

Another SideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang