Part 22

363 15 0
                                    

"Ngapain lo diem di sini? Katanya takut."

Caitlin yang sedang menatap gudang tua itu terlonjak kaget, wajahnya langsung memerah. "Kampret! Bikin kaget aja," katanya sambil memukul pelan lengan Jaka. Dia kemudian mengerutkan hidung, ekspresi wajahnya tampak sedikit mual. "Gue daritadi nyium bau bangkai di sini. Nggak nyaman banget, apalagi meja konsumsi posisinya deket sini."

Jaka mengangguk, menegaskan bahwa dia juga mencium bau yang sama. "Iya, sih, bener. Nggak enak kalau maba sampe ngerasain juga. Mendingan kita pindahin konsumsinya deket panggung aja, lebih aman dan jauh dari sini."

Tanpa banyak bicara lagi, Jaka langsung meminta bantuan beberapa panitia untuk mengangkat dan memindahkan meja konsumsi ke area depan panggung. Baru beberapa langkah berjalan, Evelyn mendekat dengan dahi mengernyit penuh kebingungan.

"Kenapa meja konsumsi dipindahin?" Tanyanya, menatap Jaka dan Caitlin bergantian.

"Di sana bau bangkai, Lyn," kata Jaka sambil menunjuk ke arah gudang tua di belakang mereka. "Kalau dibiarin, bisa-bisa bikin orang hilang selera makan."

Evelyn mendesah kecil sambil menutup hidung. "Pantes aja ada yang lapor kalau nggak enak di situ. Baiklah, bagus kalian pindahin. Kita nggak mau ada yang sakit gara-gara aroma kayak gitu."

Jaka dan Caitlin mengangguk, senang mendengar Evelyn mendukung keputusan mereka. Setelah semuanya beres, mereka kembali ke panggung dan bergabung dengan teman-teman yang tengah menyusun rencana untuk sesi foto bersama. Namun, Caitlin sesekali melirik ke arah gudang tua itu, alisnya masih berkerut penuh rasa penasaran.

"Lyn," gumam Caitlin, mendekati Evelyn, "Lo tau nggak asal bau bangkai itu dari mana? Gudang itu udah lama nggak dipake, kan?"

Evelyn menatap Caitlin dengan raut serius. "Gue nggak tau pasti. Tapi ya, gudang itu emang udah bertahun-tahun kosong. Mungkin ada binatang kecil yang mati di situ, atau bisa aja sesuatu yang kebawa angin. Gue bakal coba minta Pak Rudi buat cek nanti."

Rasa penasaran Caitlin belum sepenuhnya hilang, namun dia memilih untuk mengikuti arahan Evelyn. Mereka semua kembali ke aktivitas masing-masing, dengan setitik perasaan ganjil yang masih menggantung di udara.

Selama acara berlangsung, Galang benar-benar tidak menyia-nyiakan setiap kesempatan untuk mendekati Evelyn. Berbagai pertanyaan yang kadang terkesan sepele terus dia lemparkan, namun Evelyn tetap membalasnya dengan senyum yang ramah. Sementara itu, teman-teman Evelyn hanya bisa saling pandang dan menahan tawa kecil melihat tingkah laku Galang yang begitu antusias.

"Kakak cantik, makanan kesukaannya apa?" Tanya Galang, matanya berbinar-binar penuh rasa ingin tahu.

Evelyn tersenyum lembut. "Hm, kayaknya gue suka hampir semua makanan, deh."

"Wah, cocok banget! Kebetulan nyokap gue punya rumah makan, menunya banyak. Kapan-kapan mau nyoba nggak, Kak?"

"Boleh?" Tanya Evelyn sambil tertawa kecil.

"Boleh dong! Nyokap gue kalau dapet pelanggan cantik kayak kakak, pasti langsung di gratisin," ucap Galang, ikut tertawa. Lalu tiba-tiba wajahnya sedikit berubah penasaran, dan dia menambahkan, "Tapi Kakak sendiri, ya. Jangan ajak 'pacar' Kakak yang galak itu."

"Joshua?" Evelyn terkekeh. "Dia bukan pacar gue, kok. Bercanda doang kemaren."

Galang langsung terdiam sejenak, matanya kembali berbinar mendengar pengakuan Evelyn. "Serius? Gue kira dia beneran pacar Kakak! Eh, ternyata cuma ngaku-ngaku." Katanya, tak bisa menyembunyikan nada kesalnya, meski dibalut canda.

Evelyn hanya tersenyum, tampak menikmati interaksi itu tanpa memikirkan konsekuensi yang mungkin terjadi.

~

Another SideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang