"Lo berani banget nyuci otak Evelyn, anjing."
Joshua menggeram, menampar wajah Arif dengan keras berulang kali. Setiap tamparan disertai kemarahan yang menumpuk, seolah-olah dia ingin mencabut nyawa pria yang terikat di kursi di depannya. Arif tak bisa melawan, hanya merintih lemah, darah segar mulai menghiasi bibirnya.
Semua ini bermula saat Arif, yang baru saja hendak pulang, dihentikan paksa oleh dua pria bertubuh besar. Mereka memukul bagian belakang kepalanya, membuatnya terjatuh ke kegelapan. Ketika akhirnya sadar, Arif menemukan dirinya di sebuah ruangan besar yang lembab dan berbau busuk, seperti bau bangkai.
Rasa mual menyeruak begitu dia melihat beberapa mayat yang dia kenali tergantung dari langit-langit, tubuh mereka sudah tak bernyawa, wajah mereka kaku dan penuh luka. Owen, Gilang, dan Gibran, tiga orang yang dia tangani kasusnya pun ada di situ. Mayat-mayat yang menakutkan itu seolah menjadi bukti bisu dari kekejaman orang yang kini berdiri di hadapannya.
"Dugaan saya benar..." desis Arif, tawanya pahit, nyaris gila, matanya terpaku pada mayat-mayat yang bergoyang pelan di atas sana. "Ternyata kamu pelakunya."
Joshua hanya tertawa kecil, mengangkat kakinya dan menancapkannya dengan kuat di paha Arif. Paku-paku tajam di bawah sepatu Joshua menembus kulit Arif, darah segera mengalir, membasahi kain celananya. Arif merintih kesakitan, menggertakkan giginya untuk menahan rasa perih yang mengiris.
"Siapa lagi pelakunya kalau bukan gue?" Kata Joshua dengan suara rendah.
Joshua menekan sepatunya semakin dalam, hingga paku-paku itu semakin menancap dalam ke daging Arif, darah merembes deras. Arif berusaha mempertahankan napasnya, merasakan nyeri yang menjalari tubuhnya, namun pandangannya tak lepas dari wajah dingin Joshua.
"Evelyn akan membenci kamu ketika tahu semua ini." Kata Arif.
Joshua terkekeh, nadanya terdengar seolah dia sedang menganggap remeh pertanyaan itu. "Evelyn udah sepenuhnya di bawah kendali gue." Joshua menunduk, wajahnya mendekat dengan tatapan kejam yang membuat Arif merinding. "Lo nggak tahu apa-apa, lo cuman sampah yang gampang gue buang kapan aja."
Arif menghela napas pendek, suara lemas tapi masih mengandung keteguhan. "Kamu nggak bakal bisa selamanya ngebohongin Evelyn. Suatu hari dia bakal tahu kebenaran, dan waktu itu kamu bakal hancur."
Mendengar itu, senyum Joshua semakin lebar, hampir menyeringai. "Kita lihat aja, Pak Tua. Evelyn sudah terlalu jauh terperangkap sama gue. Nggak ada jalan keluar buat dia, nggak ada ruang buat keraguan. Gue satu-satunya yang dia percaya, dan itu nggak akan berubah."
Joshua melepaskan kakinya dari paha Arif, meninggalkan pria itu terkulai dalam genangan darah dan rasa takut yang mencekam. Senyum tipis muncul di wajahnya saat dia mengamati tubuh Arif yang lemas dan penuh luka.
"Gue kasih pilihan buat lo, diri sendiri atau keluarga lo?" Suaranya terdengar tenang, namun penuh ancaman.
"Sialan kamu, Joshua! Jangan libatkan keluarga saya!" Arif berteriak, namun suaranya hanya bergetar penuh ketakutan.
Joshua tertawa geli, suaranya terdengar seperti bisikan angin dingin yang mengerikan. "Gini aja panik lo, mana diri lo yang berani itu? Berani banget masukin gue ke daftar kecurigaan, mana nama gue paling atas lagi. Sopan lo?" Tanpa ekspresi berubah, Joshua mengangkat tangan, memamerkan remote kecil di tangannya. Itu sudah cukup untuk membuat Arif panik, seolah dunia runtuh di sekitarnya. "Cepat pilih, sebelum gue bom rumah lo."
"Diri saya sendiri!" Arif akhirnya mengaku, dengan napas yang terengah-engah.
Joshua tersenyum tipis, tidak merasa puas. "Ah, nggak asik. Gue berharap lo pilih dua-duanya... tapi yaudahlah, gue anggap itu pilihan yang bagus."
Joshua berbalik, mengangguk ke arah Liam yang berdiri di belakangnya. Liam mengangguk, lalu melangkah maju dengan membawa dua botol gin bermerk Pincer Sanghai, terlihat sangat mahal dengan kadar alkohol yang tinggi. Joshua menerima botol itu dengan senyuman, lalu kembali menatap Arif dengan tatapan tajam.
"Gue denger-denger lo kuat minum," Joshua berkata, suaranya terdengar seperti bisikan yang mematikan. "Sebelum lo menemui Tuhan yang Maha Esa, nikmatin dulu minuman ini." Dia membuka tutup botol yang pertama dan langsung mengarahkan mulut botol ke wajah Arif.
Arif mencoba menghindar, menundukkan kepala, mulutnya terkunci rapat. Joshua mendecak kesal, wajahnya semakin gelap dengan amarah yang tertahan. "Minum, elah! Mahal ini, gue pesan langsung dari Skotlandia, spesial buat lo. Jarang-jarang gue baikin anjing-anjing gue kayak gini, lo harusnya bersyukur."
Akhirnya, dengan terpaksa dan bibir yang gemetar, Arif membuka mulutnya. Joshua tersenyum puas, kemudian menuangkan gin itu dengan cepat, membiarkan cairan beralkohol itu mengalir ke tenggorokan Arif.
"Telan ya, Pak Detektif." Joshua mengingatkan dengan nada yang tidak sabar.
Arif menahan diri untuk tidak muntah, mulutnya terasa terbakar, tetapi dia tak punya pilihan. Gin yang kuat itu mengalir melewati tenggorokannya, terasa seperti racun yang menyelimuti tubuhnya. Satu botol habis, dan Joshua berhenti, memandangi Arif dengan tatapan yang penuh penghinaan.
Joshua tidak terburu-buru. Dia menikmati setiap detik penderitaan Arif, setiap tetes yang mengalir, setiap rasa ketakutan yang mencabik pria itu. Joshua membuka botol kedua, menatap Arif dengan senyuman yang semakin lebar.
"Gue nggak peduli lo bakal mati atau enggak. Tapi gue pasti bakal nonton lo dulu, sebelum lo ngelihat Tuhan." kata Joshua pelan, suaranya begitu rendah dan dingin, seperti bisikan maut yang meresap perlahan ke telinga Arif.
Arif sudah berada dalam kondisi mabuk, hanya bisa terdiam, menatap kosong ke depan. Matanya mulai kabur, tidak sepenuhnya menyadari apa yang baru saja diucapkan Joshua. Joshua tersenyum puas, melihat reaksi Arif yang sudah kehilangan kesadarannya.
"Dah, abis. Pinternya Bapak detektif ini," lanjut Joshua sambil melempar dua botol kosong ke arah samping, suara botol yang pecah memenuhi ruang di sekitar mereka. Dengan langkah tenang, Joshua membuka ikatan di tangan Arif, membebaskannya.
"Sekarang gue izinin lo pulang."
Dengan tubuh goyah, Arif mencoba berdiri, namun langkahnya sempoyongan. Joshua tidak menghalangi, justru membimbingnya menuju mobil. Arif masih terhuyung oleh alkohol, tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Yang dia tahu, Joshua membawanya kembali ke dalam mobilnya dengan dalih mengantarnya pulang.
"Lo pulang sana, anak sama istri lo udah nunggu di rumah. Jangan muncul lagi di hadapan gue," kata Joshua, senyum tipis menghiasi wajahnya. Matanya tajam, memandangi Arif yang mengangguk-anggukkan kepala, mengeluarkan jempol dengan cara yang aneh, seolah memberi tanda setuju pada apa yang baru saja dikatakan.
Joshua menutup pintu mobil setelah Arif masuk dan menyalakan mesin mobil itu. Arif, dalam keadaan setengah sadar, hanya memperhatikan layar kaca di dashboard yang berkedip, kemudian memutar kunci. Mobil itu menyala, suara mesin bergemuruh, dan Arif mulai menjalankan mobil dengan kecepatan yang meningkat, seperti angin yang tak terkendali.
Brak!
Tiba-tiba, suara keras terdengar, disertai dengan guncangan hebat. Mobil Arif menabrak gedung yang sedang dalam proses pembangunan, batu bata dan beberapa besi yang berada di lantai atas gedung itu berjatuhan dengan keras, menimpa mobil yang sudah ringsek itu. Wajah Joshua berseri, senyum lebar terbentuk di bibirnya.
Semua itu sudah dalam rencana. Joshua tidak mungkin membiarkan seseorang seperti Arif keluar hidup-hidup dari museum yang telah dia buat. Rencana sudah disusun dengan sempurna. Joshua sudah memberi instruksi kepada Liam untuk memutuskan semua kabel yang ada di mobil Arif, khususnya kabel rem. Gas mobil juga sudah diberi beban berat, sehingga ketika Arif menyalakan mesin, mobil itu melaju dengan kecepatan tak terkendali.
"Jangan lupa bakar sarung tangan lo, Liam,"
"Ya, Tuan,"
Tbc

KAMU SEDANG MEMBACA
Another Side
RomanceBerawal dari saat Evelyn membantu Joshua saat Masa Orientasi Siswa (MOS), dia tak menyadari bahwa kebaikannya telah menyalakan api obsesi dalam diri Joshua. ------------------------------ "Siapa pemilik kamu?" Evelyn menelan ludah, matanya berkaca-k...