"Evelyn!"
Evelyn menoleh, matanya menangkap sosok pria tampan yang beberapa hari terakhir ini sering bertukar pesan dengannya. Pria itu adalah Owen Dijaya, salah satu rekan kerjanya. Senyumnya lebar, penuh kehangatan yang tak sulit bagi Evelyn untuk perhatikan.
"Hai, Owen," sapanya dengan senyuman tipis, mencoba menyeimbangkan degup jantungnya yang mendadak tak teratur.
Owen adalah pria yang berhasil menarik perhatian Evelyn sejak semester awal, bukan hanya Evelyn namun hampir seluruh mahasiswi di kampusnya juga merasakan hal yang sama. Awal pertemuan mereka biasa saja, hanya dua mahasiswa baru di fakultas Arsitektur yang sesekali berpapasan di koridor. Evelyn dan Owen berbeda kelas, jadi interaksi mereka terbatas, hanya sekedar saling sapa jika bertemu di kampus.
Namun, menjelang minggu keempat semester pertama, Evelyn terkejut saat melihat sosok Owen ternyata melamar pekerjaan di cafe tempatnya bekerja. Mereka bertemu tak sengaja di ruang istirahat cafe, di mana Owen menunggu manajernya karena dipanggil. Sejak saat itu lah keduanya semakin dekat.
Owen membalas senyuman itu, wajahnya yang tampan dan bersahaja terlihat semakin memikat. Dengan rambut kecokelatan yang selalu tampak acak namun sempurna, "baru sampai?" Tanyanya, matanya sedikit menyipit dengan rasa ingin tahu.
Evelyn mengangguk sambil mengenakan apron di pinggangnya, lalu menutup pintu loker dengan gerakan cepat. "Iya, sedikit terlambat karena macet," katanya, mencoba bersikap santai.
Owen, yang sejak tadi memperhatikannya, mengangguk paham. Dia menyandarkan tubuhnya ke loker di sebelahnya, kedua tangan santai dimasukkan ke dalam saku celananya. Matanya tak lepas dari gerak-gerik Evelyn, seolah membaca setiap detail kecil dari ekspresi hingga caranya mengancingkan apron.
Evelyn, yang menyadari tatapan Owen, tiba-tiba merasa canggung. Owen, pria tampan itu, sedang memperhatikannya dengan begitu intens di tengah ruangan kecil dan sunyi ini. Bagaimana jika debaran di jantungnya dapat Owen dengar? Tentu, Evelyn akan malu.
Kegugupan mulai merayap naik di tenggorokannya, membuat tangannya sedikit gemetar saat merapikan apron. Rasanya seolah ada spotlight besar yang menyorot dirinya, membuat Evelyn merasa kikuk. Tangan yang biasanya lincah kini terasa canggung, seperti tidak tahu harus berbuat apa.
"O-owen, gue ke depan dulu ya. Cafe mulai rame," ucapnya dengan terburu-buru, berusaha mengalihkan diri dari situasi yang membuatnya semakin bingung.
Owen mengangguk perlahan, namun tak menghentikan tatapannya. Senyumnya tipis, seperti seseorang yang sudah menangkap kegugupan Evelyn namun memilih tidak mengomentarinya. "Sure, take your time," katanya ringan. Matanya masih mengikuti setiap gerak Evelyn yang mulai menjauh.
"Gemes," gumamnya.
Saat Evelyn melangkah menuju area depan cafe, dadanya masih terasa berdebar. Perasaannya campur aduk, antara canggung, dan penasaran. Dia menggigit bibir bawahnya, mencoba menenangkan diri. Kenapa Owen selalu berhasil membuatnya merasa seperti ini?
Saat memasuki cafe yang mulai dipenuhi pelanggan, Evelyn berusaha mengatur napas. Dia harus fokus pada pekerjaannya, bukan pada tatapan atau senyum Owen.
"Selamat sore, Kak," sapa Evelyn tanpa mengalihkan pandangannya dari layar kasir.
"Caffe americano-nya satu."
Mendengar suara yang dikenalnya, Evelyn mengangkat kepalanya seketika. Senyumnya mengembang saat melihat siapa pelanggan tersebut. Joshua datang membawa map milik Evelyn yang tertinggal di kelas. Untung saja Joshua masih berada di sekitar kampus, jadi Evelyn meminta tolong padanya.
"Baik, Kak. Silakan menunggu," jawab Evelyn dengan nada setengah bercanda. Joshua tertawa, melangkah menuju meja kosong di sudut ruangan, namun tetap bisa melihat Evelyn dengan jelas.

KAMU SEDANG MEMBACA
Another Side
RomanceBerawal dari saat Evelyn membantu Joshua saat Masa Orientasi Siswa (MOS), dia tak menyadari bahwa kebaikannya telah menyalakan api obsesi dalam diri Joshua. ------------------------------ "Siapa pemilik kamu?" Evelyn menelan ludah, matanya berkaca-k...