"Kemana kamu bawa mayat itu, Joshua?"
"Bukan urusan Papa."
BRAK!
Suara meja yang dipukul keras memenuhi ruangan, menggema di antara dinding-dinding ruang kerja yang penuh buku-buku dan dekorasi mahal. Bryan menatap Joshua dengan pandangan tajam, wajahnya menegang, rahangnya terkunci. Namun, Joshua tak sedikit pun menunjukkan ketakutan atau rasa bersalah. Dia hanya berdiri tegak, menatap ayahnya dengan tatapan yang tak dapat dibaca.
Ini bukan sikap yang Bryan lihat saat putranya bersama Kirana dan anggota keluarga lainnya. Di depan mereka, Joshua selalu tampak tenang dan tidak perduli dengan sekitarnya, seakan tak ada sisi gelap di balik sikapnya yang kalem. Dan sikap ini, hanya Bryan yang tahu, bahwa di balik wajah tanpa dosa itu, ada api yang mengintai.
"Joshua..." Bryan menarik napas dalam, berusaha mengendalikan kemarahan yang mendidih di dalam dirinya. "Kamu melakukan ini demi Evelyn? Apa membunuhnya saja tidak cukup? Kenapa harus sampai membongkar makamnya dan menculik mayatnya juga, Joshua Putra Lesmana?"
Hening. Joshua hanya menatapnya dingin, tak tergerak sedikit pun oleh serangkaian tuduhan ayahnya. Bagi Joshua, semua ini hanya buang-buang waktu.
Bryan menggertakkan giginya, berusaha mencari celah dalam sikap dingin putranya. "Jika kamu masih tetap diam seperti ini, Papa akan mengirim Evelyn ke tempat yang jauh dari sini, ke tempat yang tak akan bisa kamu jangkau."
"PAPA!"
"JAWAB!" Bryan berteriak dengan suara keras, menggetarkan ruangan. Dia sudah kehilangan kesabarannya.
Tatapan Joshua berubah seketika, menunjukkan kemarahan yang menggelegak. Dia menggertakkan giginya, tangannya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. "Sudah Joshua bilang, ini bukan urusan Papa. Ini urusan Joshua."
Bryan mendengus, tidak mengalah sedikit pun. "Urusanmu adalah urusan Papa juga."
Joshua mendengus pelan, matanya menyipit menatap Bryan dengan sinis. "Keras kepala."
"Kamu tidak sadar diri, hah?" Balas Bryan, suaranya penuh kemarahan yang disertai dengan nada kecewa. "Kamu pikir kamu bisa melakukan semua ini tanpa konsekuensi? Kamu pikir hidupmu akan berjalan baik-baik saja?"
Joshua menyeringai tipis, senyum sinis yang lebih mengancam daripada menenangkan. "Papa mungkin lupa, tapi dunia ini nggak ada aturannya untuk orang seperti kita. Kita bisa melakukan apapun, asal tidak ketahuan. Kalau perlu, Joshua bisa membangun dunia di mana Evelyn akan terus bergantung pada Joshua. Jadi, buat apa Papa mengancam?"
Bryan merasa matanya panas mendengar ucapan putranya. Hati kecilnya merasakan ketakutan mendalam yang jarang dia rasakan. Seorang Bryan Lesmana tidak pernah takut pada apapun, tapi di hadapan Joshua yang kini tampak seperti sosok asing. Bryan sadar, mungkin putranya sudah terperangkap dalam kegelapan yang tak bisa dia keluarkan.
"Kamu nggak paham, Joshua. Perasaanmu terhadap Evelyn itu bukan cinta. Tanpa kamu sadari, kamu sedang menghancurkan dia perlahan. Kamu begitu terobsesi, begitu buta sampai nggak bisa lihat apa yang kamu lakukan padanya."
Joshua tertawa kecil, seakan perkataan Bryan hanyalah lelucon baginya. "Papa selalu sok tahu. Evelyn itu milik Joshua. Dia yang membuat Joshua merasa hidup, merasa utuh. Apa Papa tahu bagaimana rasanya? Tidak, kan? Jadi, jangan berusaha memahami Joshua."
Bryan terdiam, mengatur napasnya, lalu berkata dengan suara rendah yang bergetar. "Kamu tahu, Papa bisa menghancurkan duniamu dalam sekejap, Joshua. Satu panggilan, dan Evelyn akan hilang dari hidupmu."
Suasana di antara mereka semakin mencekam. Joshua menatap Bryan penuh kebencian, merasa tertantang. Dia maju selangkah, wajahnya mendekat, berbicara dengan nada dingin yang mengancam.

KAMU SEDANG MEMBACA
Another Side
RomantikaBerawal dari saat Evelyn membantu Joshua saat Masa Orientasi Siswa (MOS), dia tak menyadari bahwa kebaikannya telah menyalakan api obsesi dalam diri Joshua. ------------------------------ "Siapa pemilik kamu?" Evelyn menelan ludah, matanya berkaca-k...