Part 17

685 32 0
                                    

"Gimana? Ada nggak?"

Evelyn menutup pintu mobil dengan gerakan lelah, tubuhnya menyandar dengan berat ke jok. Dia menggeleng pelan, menyembunyikan kekecewaannya di balik helaan napas yang panjang. Ini sudah tempat kedelapan, dan semua tempat yang mereka datangi memberikan jawaban sama, mereka tidak membutuhkan pegawai baru.

Joshua menatap Evelyn penuh simpati, kemudian mengulurkan tangannya, mengusap rambut cokelat Evelyn dengan lembut. Sejak pagi, mereka berkeliling, berusaha mencari tempat yang bisa memberinya pekerjaan. Tapi nyatanya, tak satu pun yang menerima. Dia bisa merasakan lelahnya Evelyn.

"Lo nggak mau mikir lagi soal tawaran gue?" Joshua mengatakannya pelan, dengan nada penuh harap.

Evelyn menggeleng. Tawaran Joshua memang sangat menggiurkan, pria itu mengatakan dia akan membiayai semuanya, tempat tinggal, kebutuhan sehari-hari, bahkan kuliah Evelyn.

Namun, bagi Evelyn, itu bukan pilihan. Dia tidak ingin merepotkan Joshua lebih dari yang sudah dia lakukan sekarang. Keluarga Joshua sudah begitu baik padanya, dan jika dia menerima tawaran ini, rasanya seperti melampaui batas.

"Nggak mau, Josh. Gue bukan istri lo yang harus lo nafkahin," ucap Evelyn tegas meski suaranya sedikit bergetar. Dia tidak ingin terlihat lemah, meski kenyataannya situasinya sudah sangat mendesak.

Joshua menatapnya dengan intens. Lalu, tiba-tiba, bibirnya membentuk senyuman samar, satu sisi bibirnya terangkat. "Then, be my wife." Katanya, suaranya dalam dan serius, membuat Evelyn terdiam.

Pikiran Evelyn terasa kosong sejenak, seolah otaknya tidak bisa memproses kata-kata itu dengan benar. "Hah?" Dia akhirnya berbisik, memandang Joshua dengan tatapan bingung, mencari kepastian dalam ekspresi pria itu.

Tapi Joshua tetap menatapnya, kali ini dengan tatapan yang lebih dalam, seperti ingin menunjukkan bahwa dia sungguh-sungguh.

"Jadi istri gue, Eve." Joshua mengatakannya lagi, kali ini dengan nada yang lebih santai, meskipun tatapannya tetap intens.

Evelyn terkesiap, lalu tertawa seketika, merasa kalimat itu seperti lelucon yang tak mungkin serius. Dia memukul lengan Joshua pelan, mencoba mencairkan ketegangan yang tiba-tiba muncul. "Jangan gila." Katanya, setengah tertawa, setengah bingung.

Joshua tetap diam, namun tatapannya tidak beralih dari Evelyn. Dia memainkan lidahnya di dalam rongga mulut, seperti sedang berpikir keras, sementara senyum tipis mulai muncul di bibirnya, penuh arti. Evelyn tidak menyadari betapa dalam perasaan Joshua terhadapnya, dan bagaimana setiap kata yang diucapkannya mengandung lebih dari sekadar candaan.

Joshua menyalakan mesin mobil, dan mereka melaju tanpa ada suara lagi. Keheningan menutupi ruang di antara mereka, hanya suara mesin mobil yang mengisi ruang yang seakan memadat.

Evelyn menolehkan wajahnya, memandang jalanan yang terbentang di depan mereka, mencoba menenangkan pikirannya yang seolah terjaga dalam keraguan. Sementara Joshua, dengan konsentrasi penuh pada kemudi, tampak seperti sedang merenung dalam diam.

"Gue nggak pernah main-main dengan ucapan gue ke lo," ucap Joshua secara tiba-tiba. Suaranya serak, berat, lebih dalam dari sebelumnya, seakan setiap kata itu adalah beban yang ingin dia lepaskan.

Namun, tepat saat kalimat itu terucap, suara klakson truk yang datang dari belakang memecah kesunyian mereka, membungkam suara Joshua. Keduanya terkejut, jantung mereka seakan terhentak bersamaan oleh kebisingan yang tiba-tiba.

"Fuck..." desis Joshua, matanya terfokus pada truk besar itu lewat kaca spion, tubuhnya sedikit kaku menahan amarah yang muncul begitu cepat.

Evelyn yang terkejut hanya bisa mendengus pelan, matanya menyipit menatap truk itu. "Kenapa sih klakson-klakson?! Udah tahu lagi lampu merah," gerutunya, dan suara itu entah kenapa berhasil meredakan sedikit ketegangan di udara.

Another SideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang