Berawal dari saat Evelyn membantu Joshua saat Masa Orientasi Siswa (MOS), dia tak menyadari bahwa kebaikannya telah menyalakan api obsesi dalam diri Joshua.
------------------------------
"Siapa pemilik kamu?"
Evelyn menelan ludah, matanya berkaca-k...
Joshua melangkah pelan di sepanjang trotoar, tiap langkahnya nyaris tanpa suara, melebur dalam keheningan kompleks perumahan yang sepi. Lampu-lampu jalan memberi pencahayaan samar di tengah malam, cukup untuk memandunya menuju rumah kecil yang sudah begitu dikenalnya.
Dia menghentikan langkah tepat di depan jendela kamar yang masih menyala. Waktu menunjukkan pukul dua pagi, namun lampu kamar itu belum juga padam. Ada yang tak biasa, pikir Joshua.
Kebiasaan yang sudah dia lakukan berulang kali membawa dirinya mendekat ke jendela. Menyelinap, mengintip, bahkan mungkin tidur bersama, untuk memastikan bahwa Evelyn selalu ada dalam penglihatannya.
Melalui celah tirai, Joshua menemukan sosok Evelyn, duduk meringkuk di atas kasur, kedua lututnya didekap erat, bahunya bergetar halus. Dari tempatnya berdiri, dia bisa melihat air mata yang jatuh membasahi pipi gadis itu. Evelyn tengah menangis, pemandangan yang menghantamnya keras, membuat dadanya sesak.
"Menangis?" Gumamnya tanpa sadar, bertanya pada dirinya sendiri. "Kenapa dia menangis?" Pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya, meninggalkan rasa sakit tak beralasan yang menyebar pelan namun pasti.
Tanpa menunggu lebih lama, Joshua meraih ponselnya, jari-jarinya dengan cepat mengetik pesan.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Setelah mendapat balasan itu, tanpa pikir panjang Joshua langsung mengetuk jendela Evelyn, mengisyaratkan kehadirannya. Evelyn terlonjak, menoleh ke arah jendela kamarnya dengan tatapan kaget.
"Josh?" Gumam Evelyn pelan, tak percaya melihat sosok pria itu di depan kamarnya pada jam segini. Baru saja dia membalas pesan singkatnya, dan detik berikutnya Joshua sudah benar-benar ada di sini, di depannya. "Kenapa lo disini?"
Alih-alih menjawab, Joshua hanya mengangkat ponselnya yang menampilkan percakapan singkat mereka. Evelyn menghela napas, lalu melangkah keluar dari kamar untuk membukakan pintu utama.
"Maksud gue itu, kita cuma perlu teleponan, nggak perlu sampai disamperin gini. Ini, tuh udah tengah malam, tau!" Evelyn mencoba memberi penjelasan, tetapi Joshua hanya menatapnya dengan dalam, seolah mencari jawaban yang dia tahu tak akan keluar begitu saja.
"Kenapa nangis?" Tanya Joshua tiba-tiba, suaranya rendah, membuat Evelyn terdiam di tempat. Tatapannya serius, matanya tak berkedip. "Siapa yang buat lo nangis, Eve?" Lanjutnya, dengan nada lebih pelan namun terasa menekan, seperti ada amarah yang sedang dia tahan.
Namun, belum sempat dia berbalik, Joshua sudah menarik tangannya dengan lembut namun kuat, menghentikan langkahnya. Dalam sekejap, dia merasakan lengannya ditarik mendekat dan tubuhnya tenggelam dalam pelukan pria itu. Evelyn tersentak, tak menyangka Joshua akan memeluknya begitu erat.
"Kalau di tanya, jawab, Evelyn," bisik Joshua pelan di dekat telinganya, suaranya rendah namun tajam. Evelyn bisa merasakan seluruh tubuhnya merinding.
Dalam kehangatan pelukan itu, Evelyn merasa pertahanannya luruh, air mata yang tadi coba dia tahan jatuh kembali tanpa dia mampu menahannya. Joshua menepuk lembut punggungnya, membiarkannya menangis tanpa pertanyaan lebih lanjut, seolah dia tahu itulah yang Evelyn butuhkan saat ini. Pelukan itu adalah pengingat betapa aman dirinya ketika bersama Joshua, betapa pria itu selalu ada tanpa banyak bertanya.