Kabar tentang penggalian kuburan dan hilangnya mayat Owen telah menyebar ke seluruh pelosok Indonesia. Berita itu mengguncang masyarakat, menimbulkan pertanyaan-pertanyaan tentang siapa yang tega melakukan tindakan keji seperti itu, mencuri mayat yang bahkan belum sebulan terpendam dalam tanah.
Evelyn duduk di sofa ruang tamu, menatap kosong ke arah televisi yang menayangkan berita terkini. Sorot lampu membuat wajahnya tampak pucat, dan keringat dingin mengalir di pelipisnya. Tubuhnya bergetar ketakutan, jantungnya berdebar kencang, seolah merasakan ketegangan yang melingkupi seluruh kota.
Dengan setiap detik yang berlalu, kepanikan menggelayuti pikirannya, seolah berita itu adalah pertanda dari sesuatu yang lebih besar.
"Siapa..." suara Evelyn bergetar, air mata mengalir di pipinya. Dalam momen itu, semuanya terasa menyesakkan, dan ketakutan menyelimuti hatinya.
Drt
Getaran ponsel memecah kesunyian, membuatnya terkejut. Dengan gemetar, dia meraih ponsel itu dan menjawab telepon.
"Ha-"
"Lyn! Lo di mana? Gue di depan rumah lo, dari tadi gue panggil nggak nyaut!" Suara Syaila terdengar cemas, membuat Evelyn tersadar.
Tanpa menjawab, Evelyn berjalan menuju pintu dan membukanya. Syaila segera melangkah masuk, wajahnya penuh kekhawatiran, lalu langsung memeluk Evelyn erat.
"Are you okay?" Tanyanya pelan, dan Evelyn hanya bisa menggeleng, suaranya serak menahan tangis.
Keduanya memasuki rumah, duduk di sofa dalam keheningan, hingga Syaila akhirnya mengeluarkan suara. "Eve, ada yang mau gue ceritain. Ini tentang Joshua," kata Syaila, mengalihkan perhatian Evelyn. Mata Evelyn terpaku pada Syaila, menunggu dengan penuh harap. "Walaupun belum ada bukti yang kuat, tapi gue mohon lo harus percaya sama gue."
"Apa?" Evelyn mengerutkan dahi, merasa ada yang tidak beres.
Syaila menarik napas dalam-dalam, tenggorokannya terasa tercekat. Dia sudah bertekad untuk menceritakan apa yang dia dengar saat berada di rumah duka. Ucapan Joshua yang membuat bulu kuduknya berdiri.
"Sebenarnya, Joshua itu-"
"Gue kenapa?"
Tiba-tiba, suara yang familiar membuat mereka terkejut. Joshua muncul, tubuhnya basah kuyup akibat hujan deras yang baru saja turun dan kacamatanya yang berembun. Sorot matanya tajam, menatap Syaila yang seketika membeku.
"Josh? Kenapa basah-basah? Nggak naik mobil ke sini?" Tanya Evelyn dengan cemas, tetapi Joshua hanya menggeleng, wajah polosnya kembali muncul di depan Evelyn. "Kenapa sih? Udah tahu lagi musim hujan! Tunggu, gue ambilin handuk dulu," kata Evelyn sebelum bergegas meninggalkan mereka di ruang tamu.
Syaila menatap kepergian Evelyn dengan panik. Sejak tak sengaja mendengar percakapan Joshua waktu itu, rasa takut selalu menggerayangi hatinya setiap kali berhadapan dengan pria itu. Kini, dia terjebak di ruang yang sama dengan Joshua.
"Lo udah tahu?"
Suara Joshua memecah keheningan, dan jantung Syaila berdebar cepat. Dalam hati, dia yakin Joshua bisa mendengar detak jantungnya yang tidak beraturan.
"Gue tanya sekali lagi. Lo udah tahu?" Joshua mengulangi pertanyaannya dengan nada menuntut, semakin mendekatinya.
Syaila merasa terjebak, kesadarannya meredup saat dia berusaha menyusun kata-kata. "T-tau apa sih? Aneh banget p-pertanyaan lo, Josh." Sangkalnya, meski nada suaranya bergetar.
"Lo yang nguping gue di kamar waktu itu, kan?" Joshua menatapnya tajam, dan dalam sekejap, Syaila tahu dia tidak bisa berbohong.
Joshua menampilkan ekspresi dingin yang membuat Syaila merinding. "I-itu..." suaranya hampir tidak terdengar, dan matanya enggan bertemu tatapan tajam Joshua.
"Lo udah tahu." Joshua terkekeh, tawanya penuh nada sinis. "Memang benar, gue yang bunuh Owen."
Duar!
Bersamaan dengan ucapan Joshua, petir menyambar, membuat Syaila terpelanjat kaget. Air matanya rasanya ingin turun, menandakan ketakutan yang menggerayangi jiwa. Dia ingin segera pulang, menjauh dari situasi mencekam ini.
"Kalau sampai Evelyn tahu semua ini, gue pastiin lo sekeluarga lenyap." Suara Joshua berbisik, lembut tapi mengancam, membuat Syaila merinding lagi. Tepat saat itu, Evelyn muncul, membawa handuk di tangannya.
"Nih, cepet keringin badan lo, jangan sampai kena demam," kata Evelyn ceria, tidak menyadari ketegangan yang meliputi ruangan itu. Joshua mengangguk, lalu mencubit pipi Evelyn dengan lembut sebelum melangkah menuju kamar gadis itu. Langkahnya terhenti di depan pintu, matanya menatap Syaila seolah memberi peringatan sekali lagi.
Evelyn bingung melihat Syaila yang terdiam kaku dengan wajah pucat. Dia mendekati Syaila, menyentuh bahunya lembut. "Hey, ada apa? Lo pucet, Sya."
Syaila tersadar dari lamunannya, menatap Evelyn dengan senyuman palsu yang tak meyakinkan. "G-gue nggak apa-apa kok."
"Serius?" Tanya Evelyn, menatap Syaila dalam-dalam, berusaha mencari kebenaran di balik kata-katanya.
Syaila mengangguk, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. "Iya, Lyn..."
"Oke. Tadi yang lo bilang, Joshua kenapa?" Tanya Evelyn, kembali penasaran dengan ucapan Syaila yang terputus.
Syaila menelan ludah, merasakan ketegangan di antara mereka. Dia tahu, apa yang akan dia katakan bisa mengubah segalanya. Perlahan, dia menggeleng, menyampaikan jawabannya. Tentu saja, dia tidak mau mempertaruhkan nyawanya dan juga nyawa keluarganya.
"Loh? Kenapa? Cerita aja, Joshua nggak bakal denger kok."
"Nggak, Lyn. Gue ngawur doang itu, jangan percaya." Suaranya terdengar gemetar. "Ehm, gue balik dulu, mau anterin adek gue pergi les." Tanpa menunggu respons Evelyn, gadis itu segera melangkah keluar dengan terburu-buru, berkali-kali mengucapkan kata maaf dalam hati untuk Evelyn.
Evelyn menggeleng-gelengkan kepalanya, melihat Syaila yang tidak berubah sejak dulu, selalu asal bicara. Kepalanya menoleh saat mendengar suara Joshua.
"Lah, kemana dia?"
"Mau anterin adeknya les, katanya." Evelyn kembali menatap televisi yang kini menampilkan berita lain, seolah kehadiran Syaila dan Joshua membuatnya seketika lupa tentang Owen. "Ngapain kesini?" Tanyanya, mencoba menjaga nada santai.
"Jumpa kangen." Evelyn tertawa.
Joshua mengambil posisi dengan tiduran di atas paha Evelyn, memejamkan matanya. Evelyn mendengus, Joshua ini semakin manja kepadanya. Tangannya bergerak mengambil kacamata di wajah Joshua dan mengelap kaca itu dengan tissue, setelah itu meletakkan kacamata itu di atas meja. Dia mengelus-elus kepala Owen, membuat pria itu nyaman.
Tunggu. Owen?
Kepalanya dengan cepat menunduk, matanya mengerjap-ngerjap saat melihat wajah pria yang berbaring di pahanya. Tangannya bergetar saat menyentuh wajah Owen dengan perlahan, air matanya seakan sudah siap untuk jatuh.
"Owen..." gumamnya.
Mata Joshua seketika langsung terbuka ketika mendengar Evelyn kembali menyebut nama yang di bencinya.
"Joshua. Bukan Owen." Suaranya tegas, penuh penekanan yang membuat Evelyn tersadar. Gadis itu langsung menghembuskan napas berat, tiba-tiba terbayang Owen di wajah Joshua.
"Hah... sorry, Josh, mungkin karena berita itu gue jadi kebayang Owen..." Evelyn berkata, mencoba meredakan ketegangan yang tiba-tiba melanda.
Joshua bangkit, mendekatkan posisinya dengan Evelyn, menarik gadis itu ke dalam pelukannya. "Iya. Don't think about it too much, just let it go, okay?" Ucapnya lembut, berusaha memberikan rasa nyaman.
Evelyn mengangguk, mencari kenyamanan di pelukan itu. Namun, di dalam hatinya, rasa bersalah dan ketidakpastian terus mengusik pikiran. "Iya, Josh." Di tengah pelukan hangat itu, Evelyn merasa sedikit lebih tenang, meskipun bayangan Owen tetap menghantui. Tapi untuk saat ini, dia tahu, Joshua ada di sisinya.
Tbc

KAMU SEDANG MEMBACA
Another Side
RomantikaBerawal dari saat Evelyn membantu Joshua saat Masa Orientasi Siswa (MOS), dia tak menyadari bahwa kebaikannya telah menyalakan api obsesi dalam diri Joshua. ------------------------------ "Siapa pemilik kamu?" Evelyn menelan ludah, matanya berkaca-k...