Chapter 6

1.4K 56 0
                                    

Evelyn menatap layar ponselnya, melihat pesan dari dokter psikiater yang biasa dia temui. Pesan itu singkat, namun mengingatkannya pada rutinitas yang sudah dia lakukan selama 3 tahun, datang seminggu sekali untuk memastikan kesehatan mentalnya tetap terjaga.

Dia tidak pernah di diagnosis dengan gangguan serius. Tidak ada depresi berat, tidak ada kecemasan yang mencekik. Namun, Evelyn percaya bahwa merawat diri tidak harus menunggu sampai semuanya berantakan. Sudah enam tahun dia tinggal sendirian di negara asing, jauh dari segala yang dikenal, meninggalkan jejak halus, kesepian yang tak selalu terlihat dari luar, namun perlahan terasa menekan dari dalam.

Dia mematikan layar ponselnya, menghela napas panjang. Hatinya bertanya-tanya, apa yang bisa dia bicarakan kali ini? Kadang-kadang, duduk di ruangan dokter terasa seperti membongkar kepingan dirinya yang belum sepenuhnya dia mengerti.

Kamar yang kecil tampak sunyi. Hanya suara denting jam dinding yang mengisi kesunyian. Evelyn menarik selimut yang tadi terjatuh dari sofa, kemudian meringkuk di bawahnya.

Sejak dia pindah enam tahun lalu, keputusannya untuk hidup mandiri di negara ini selalu terasa seperti pilihan yang tepat. Dulu. Awalnya, dia merasa bahwa semua yang ada di negeri ini bisa membantunya melupakan masa lalu. Kehilangan orang tua seperti badai yang merenggut seluruh pijakannya. Semenjak kematian mereka, Evelyn merasa tidak lagi memiliki siapa-siapa di tanah kelahirannya.

Kakek? Nenek? Paman atau bibi? Mereka semua seperti hilang, bahkan sebelum orang tuanya dimakamkan. Hubungan yang dulu hangat terasa menguap, seolah kematian itu menghapus bukan hanya keluarganya, tapi juga eksistensinya. Mereka bertindak seolah Evelyn tak lagi ada di dunia ini, seakan dia juga ikut terkubur bersama orang tuanya.

Pernah, Evelyn mencoba mendekat kembali, mengulurkan tangan, berharap ada yang bisa menggenggamnya. Namun, panggilan tak terjawab, pesan yang diabaikan, semuanya berakhir sama. Dia tidak punya siapa-siapa. Kehilangan keluarganya lebih dari sekadar kehilangan dua sosok yang paling dia cintai, itu adalah perasaan kehilangan tempat untuk kembali, rumah yang seharusnya memberinya kehangatan.

Evelyn menarik napas dalam-dalam, mengingat betapa perihnya saat-saat itu. Keputusan untuk meninggalkan negara asalnya bukan hanya tentang mencari kebebasan atau petualangan baru, tapi tentang pelarian. Pelarian dari rasa sakit yang seolah tak bisa dihadapi. 'Mungkin kalau aku jauh, semua ini akan lebih mudah,' pikirnya waktu itu. Namun, nyatanya, semakin jauh dia pergi, semakin dalam kesepiannya.

Dia teringat pada malam-malam setelah pemakaman, ketika teleponnya tidak pernah berbunyi, rumah menjadi sunyi, dan hanya ada dirinya di sana. Malam-malam itu membentuk luka yang tak terlihat, sesuatu yang dia bawa ke negara ini. Enam tahun kemudian, luka itu tetap ada, hanya berbeda bentuknya. Bukan lagi tangis karena kehilangan, tapi kekosongan karena tak ada yang bisa dihubungi.

"I wonder if they ever think of me," Evelyn berpikir, memandangi jendela yang basah oleh hujan. Namun, dia tahu jawabannya tidak ada. Tidak ada yang peduli lagi.

Pikirannya kembali ke ponselnya, pesan dari psikiater yang tadi dia baca masih mengendap di layar. Pertemuan mingguan itu selalu dimulai dengan pertanyaan yang sama 'How have you been?' Dan jawabannya selalu sama pula 'I'm fine.' Tapi Evelyn tahu itu hanya setengah dari kebenaran.

Fine is what you say when you don't want to admit you're actually lost. Lost in a place that used to feel like an escape but now feels like a cage.

Evelyn menutup matanya, memikirkan masa depan yang dulu terasa begitu cerah. Ada saat di mana dia percaya bahwa kehidupan barunya di sini akan menghapus semua rasa sakit dari masa lalu. Tapi sekarang, semua itu hanya ilusi. "Perhaps I never truly left it behind," gumamnya pelan.

Another SideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang