Part 23

519 27 3
                                    

"Joshua! Kenapa kamu begitu keras kepala? Dua orang dalam semalam? Apa yang sebenarnya mereka lakukan sampai kamu harus menghabisi mereka seperti itu?"

Pagi ini, Bryan benar-benar dibuat pening dengan ulah putranya. Saat Liam melapor bahwa Joshua kembali membunuh, dan kali ini dua orang pria sekaligus, kakak beradik pula, Bryan tak bisa menahan rasa frustrasinya.

"Bukan urusan Papa." JawB Joshua, nadanya dingin, nyaris tak peduli.

"Bukan urusan Papa?" Bryan mengulangi kata-kata itu, suaranya penuh ketegasan yang nyaris tidak bisa disangkal. "Papa sudah bilang berapa kali, Joshua. Semua yang kamu lakukan itu urusan Papa juga. Kamu anak Papa, dan Papa berhak tahu apa pun yang kamu lakukan."

Joshua hanya diam, matanya melirik tajam pada Liam yang berdiri tak jauh darinya. Liam hanya menundukkan kepalanya, bukan karena takut, tapi sebagai bentuk penghormatan seorang bawahan pada atasannya.

"Bukan Liam yang beri tahu Papa soal kamu," Bryan melanjutkan, seolah mengerti apa arti tatapan Joshua pada tangan kanannya itu. "Papa punya orang sendiri yang selalu mengawasi kamu."

Bryan napas panjang, tatapannya melunak. "Mereka lakuin apa, Josh? Gangguin Evelyn lagi, hm?" Suara Bryan sudah tidak sekasar tadi. Bryan mencoba menahan emosinya menghadapi anak bungsunya.

Joshua mendengus, pandangannya sedikit meredup saat emosinya kembali mengalir. "Papa lupa laki-laki rambut keriting itu?" Suaranya rendah, teredam oleh amarah yang berusaha ditahannya. "Dia pelaku perundungan Joshua waktu SMP, dia yang sudah buat Joshua menderita selama di sekolah, Ayah!" Joshua mengepalkan tangan, jantungnya berdegup kencang seiring ingatan yang berputar kembali di kepalanya, memantik emosi yang nyaris tak bisa dia kendalikan.

Bryan menatap putranya dengan pandangan yang penuh dengan pemahaman. Tanpa berkata-kata lagi, dia mendekati Joshua dan menariknya dalam dekapan hangat. Sejak kecil, hanya pelukan yang mampu menenangkan Joshua, itulah yang Bryan lakukan sejak Joshua kecil.

"Dengar, Joshua," bisik Bryan, suaranya penuh ketenangan yang bagai oasis di tengah kemarahan putranya. "Papa tahu kamu sudah menderita bertahun-tahun karena masa lalu itu. Papa tahu rasa sakit yang kamu rasakan. Tapi balas dendam ini, kamu yakin ini cara yang benar untuk melindungi Evelyn?"

Joshua mengeraskan rahangnya, namun tubuhnya sedikit melonggar dalam pelukan Bryan. "Papa nggak tahu rasanya melihat orang-orang itu hidup tenang, hidup enteng, hidup tanpa rasa bersalah sedikit pun. Dan sekarang, Adiknya yang mau rebut Evelyn dari Josh!" Suaranya bergetar, terpendam di antara amarah dan luka lama yang kembali terbuka.

Bryan mengusap bahu putranya dengan lembut, mengeratkan pelukan itu. "Papa paham, Josh. Tapi kamu nggak bisa sembuhin luka yang kamu punya dengan bikin luka baru buat orang lain." Dia menatap mata Joshua dalam-dalam. "Kalau kamu sayang Evelyn, lindungi dia dengan cara yang lebih dari ini. Dengan cara yang nggak bikin kamu hancur."

Joshua terdiam, pandangannya jatuh ke lantai. Kata-kata Bryan menembusnya, membawa perasaan bercampur aduk di dalam dadanya. Di satu sisi, hasrat untuk balas dendam masih membara, tapi di sisi lain, ada dorongan untuk melindungi Evelyn, bukan hanya dari bahaya, tapi juga dari sisi kelam yang ada dalam dirinya sendiri.

"Lalu, apa yang harus Josh lakuin, Pa?" Bisiknya lemah, seolah semua kekuatan yang selama ini dia pertahankan akhirnya runtuh dalam satu dekapan ayahnya.

Bryan mengangguk pelan, tahu bahwa ini adalah langkah pertama untuk Joshua menemukan cara lain, cara yang mungkin tak berlandaskan darah.

"Kita akan hadapi ini sama-sama. Kamu nggak sendirian, Josh. Papa selalu ada di sini buat kamu, buat Evelyn, buat kita semua."

Another SideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang