Joshua menatap nanar ke arah dua orang yang baru saja memasuki area parkir. Evelyn, yang biasanya duduk di kursi penumpang mobilnya setiap pagi dalam perjalanan menuju kampus, kini duduk di atas motor Owen. Pemandangan itu mengoyak hatinya. Pesan yang diterimanya tadi pagi masih terasa menyakitkan.
Josh, lo gak perlu jemput gue ya, gue bareng Owen.
Kata-kata itu, meski sederhana, menusuk Joshua lebih dalam dari yang dia kira. Dia marah, kecewa, dan merasa tersisih. Evelyn seharusnya berada di sampingnya, bukan di belakang Owen, memeluk pinggang pria lain, bahkan jika itu hanya untuk perjalanan singkat ke kampus.
Dia seharusnya bersamaku.
Joshua mengeraskan rahangnya, menatap tajam ke arah Evelyn yang tersenyum saat turun dari motor. Owen membuka helmnya, lalu mengacak rambut Evelyn dengan akrab, dan senyuman Evelyn kembali menyala, seolah dunia di sekitarnya tidak ada. Joshua hanya bisa menyaksikan dari jauh, tak sanggup mendekat, karena semakin dia memperhatikan, semakin perih rasanya.
"Eve..." bisiknya, hampir tak terdengar.
Dia menundukkan kepala, merasakan amarah bercampur dengan rasa sakit yang semakin membengkak di dadanya. Jemarinya mengepal kuat, ponselnya hampir pecah di genggamannya. Dia tidak tahan lagi melihat pemandangan itu. Kaki Joshua bergerak cepat menuju gedung kampus, meninggalkan semua yang membuatnya semakin terluka.
Di dalam kelas, Hiro, temannya selain Evelyn, menatapnya bingung. Biasanya Joshua datang dengan Evelyn, tapi pagi ini, aura gelap yang menyelimuti temannya sudah cukup menjadi tanda bahwa ada sesuatu yang salah.
"Josh? Lo kenapa? Mukanya kusut banget," tanya Hiro dengan nada prihatin.
Namun, Joshua mengabaikan pertanyaan itu. Tanpa menjawab, dia merogoh kantongnya, menarik keluar headphone-nya, dan memasangnya di telinga. Tapi kali ini, dia tidak memutar musik seperti biasa. Sebaliknya, dia menekan tombol play pada rekaman suara yang dia simpan, suara Evelyn. Joshua diam-diam merekam obrolan kecil mereka saat mereka bersama, dan sekarang, suara tawa lembut Evelyn adalah satu-satunya yang bisa meredakan badai di dalam hatinya. Setiap kali dia mendengar suara itu, seolah-olah Evelyn masih ada di dekatnya.
Hiro, yang melihat Joshua tidak merespons, hanya menghela napas panjang. "Yaelah, nih bocah. Drama mulu..." keluhnya.
Hiro akhirnya menyerah, beralih ke bangku belakang Joshua sambil menyandarkan tubuhnya malas. Tapi matanya tetap waspada, dan tak lama setelah itu, dia melihat Evelyn dan Owen berjalan masuk ke kelas, masih dengan senyum riang dan obrolan ringan yang hanya mereka berdua yang mengerti. Seketika, Hiro paham. Joshua cemburu.
Joshua, meski berpura-pura tenggelam dalam dunia musiknya, bisa merasakan kehadiran Evelyn. Hatinya berdenyut nyeri, lebih dari yang dia ingin akui. Ada saatnya dia bisa menahan perasaannya, tapi melihat Owen dan Evelyn bersama seperti itu, tertawa, berbagi perhatian, seolah-olah tidak ada yang salah membuatnya ingin meledak. Apalagi ketika Owen menepuk pundak Evelyn dan mereka duduk berdekatan, masih berbicara dengan akrab.
Joshua menatap bangku kosong di sampingnya, bangku yang disiapkan khusus untuk Evelyn. Ritual setiap pagi yang selalu Joshua lakukan jika Evelyn mendapatkan panggilan dari para dosen atau dekan, menjaga bangku untuk Evelyn. Dan sekarang Evelyn duduk bersama Owen tanpa menyapa padanya.
"Bajingan itu."
Dia mencoba mengalihkan pikirannya dengan mendengarkan lebih keras rekaman suara Evelyn, tapi itu tidak banyak membantu. Semua yang dia rasakan hanyalah kehilangan.
Hiro, yang sudah cukup melihat semua drama kecil di depan matanya, akhirnya mendekat lagi ke Joshua. Dia menepuk bahu temannya pelan, berusaha untuk tidak menambah beban emosional.

KAMU SEDANG MEMBACA
Another Side
RomanceBerawal dari saat Evelyn membantu Joshua saat Masa Orientasi Siswa (MOS), dia tak menyadari bahwa kebaikannya telah menyalakan api obsesi dalam diri Joshua. ------------------------------ "Siapa pemilik kamu?" Evelyn menelan ludah, matanya berkaca-k...