Saat Tuan Putri kesayangan Sang Panglima yang pecicilan dan manja bertemu dengan Ajudan yang dingin.
Aira Sekar, perempuan manja mahasiswa Hubungan Internasional tersebut nyatanya harus menjilat ludahnya sendiri, satu waktu dia pernah berkata jika d...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ucapan terimakasih? Mendengar apa yang dikatakan oleh Bang Kalla aku hanya bisa mencibir sembari menerima kopi instan itu dari tangannya.
"Kirain mau bilang jangan ikut campur." Ucapku sembari menenggak kopi yang rasanya kemanisan ini, sungguh aku bergidik merasakan berapa banyak gula yang kini masuk ke dalam tubuhku tapi menghargai seorang yang sudah memberikannya dan benar aku membutuhkan kafein agar lebih tenang, aku tetap meminumnya.
"Kayaknya saya pun akan berbuat hal yang sama kalau ada di posisi Mbak Aira, ada beberapa hal dalam hidup dimana kita harus ikut campur urusan orang."
Pria ini dan segala hal dalam dirinya yang tidak bisa ditebak, entah apa lagi yang aku lakukan dan akan dia maklumi dan apa yang akan dia cibir sebagai tindakan ikut campur dan sok tahu. "Nahkan, Abang sendiri juga nggak mungkin diam saja kalau melihat sesuatu yang rasanya nggak adil?! Kurang lebih ya kayak gini lah yang aku rasain kemarin malam, kayak ada ketidakadilan gitu, disatu sisi ada yang berbahagia memulai sesuatu dari melukai orang lain sementara satu sisi lainnya diam saja kek pasrah menerima hidup. Jiwa Ibu Periku nggak bisa diam saja, Bang." Aku tidak ingin terlalu berpuas diri mendapati Bang Kalla juga tidak terima hingga memaklumi sikap ikut campurku terhadap masalah yang di hadapi Adinda, namun sungguh mulutku ini tidak bisa menahan rasa sarkasku kepadanya.
Aku menoleh menatapnya, disaat ini aku mengira aku akan mendapatkan wajah datarnya yang tengah menghela nafas panjang berusaha menyabarkan dirinya atas sikapku, tapi kalian tahu, pria ini justru tampak seperti menahan senyumannya, senyuman yang sangat tipis nyaris tidak terlihat namun jelas sekali jika pria itu menahan rasa gelinya. Satu reaksi yang benar-benar diluar dugaanku mengingat dia dengan lantang menyatakan betapa dia tidak menyukaiku.
Menggeleng pelan mengusir rasa tidak nyaman akibat senyumannya, aku meneruskan langkahku menuju ruang inap Adinda, dari langkah berat yang terdengar dari belakangku aku tahu jika Bang Kalla mengikutiku. Bersama-sama tapi tidak bersisian, garis tegas yang dibentuk secara nyata olehnya yang membuatku tidak bisa menahan diri untuk mengeluarkan cibiran.
Antipati banget ini manusia sama aku!
"Adik saya kondisinya sampai kayak gini dari sekolah nggak ada yang dampingin, kecelakaan ini terjadi di sekolah tapi sekolah bertingkah seolah bukan tanggung jawab mereka, sekarang Ibu datang jam segini minta saya dan adik saya nggak perlu mempermasalahkan apapun, ibu ini waras atau tidak?"
Aku sangat hafal suara Amanda karena suara itu menemani hariku selama dua tahun, dan sekarang dari jarak 20 meter aku mendengarnya berteriak-teriak, jelas ada sesuatu yang buruk terjadi di ruang rawat inap tersebut. Bergegas aku mempercepat langkahku menuju ruang inap Adinda dan betapa terkejutnya aku saat melihat 3 orang yang aku tebak merupakan guru Adinda tengah bersitegang dengan Amanda.