18. Terimakasih Sudah melepaskannya

1.4K 228 16
                                    

"Ng

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ng..... nggak usah......."

Terbata-bata beliau menjawab apa yang aku katakan, hal yang membuatku sulit untuk menahan tawa geli. Yailah Bu, gitu amat.

"Nak Aira ini tahu tidak kalau Ajudan Papinya Aira itu duda? Jeng Maira, kok ngebolehin sih anaknya pacaran sama Duda? Nggak eman-eman?"

Mengesampingkan kalimat julid yang diucapkan oleh Bu Fajar Handoko, sekarang aku tahu satu alasan tambahan kenapa Papi mewajibkan kami untuk datang ke acara ini, salah satunya ya karena keluarga ini berasal dari Solo, Papi dan Mami agak sentimentil jika menyangkut Kota asal Pak Wapres kita itu, dengan wajah sepolos mungkin aku menjawab alih-alih Mami.

"Saya tahu kok status single Bang Kalla, Bu."

"Tapi kok mau? Kamu kan gadis....." kekeuhnya yang membuat Mami akhirnya turut angkat suara.

"Ya nggak apa-apa, Mbak Ayu. Bagi saya selama anak saya suka, yang disuka juga single, tidak terikat hubungan dengan siapapun, bukan suami orang juga, saya rasa itu bukan hal yang patut menjadi masalah. Lagipula siapa sih Mbak yang mau pernikahannya gagal, apalagi saya tahu dengan benar gimana si Kalla."

Untuk beberapa saat aku dibuat terkesima dengan gaya bicara Mami yang lugas dan tegas. Mami itu ya, jarang ngomong keras dan pedas tapi sekalinya ngomong nyelekitnya ya ampun, benar-benar darah Solo yang lemah gemulai dan mematikan mengalir deras di diri Mami, senyuman Mami mengembang di wajahnya yang manis, tanpa rasa berdosa sama sekali sudah menyindir dan menelanjangi orangtua dari pria yang sudah menghancurkan pernikahan Bang Kalla.

"Ya ampun, maaf ya Mbak Ayu, ini mulut memang agak susah direm. Sekali lagi minta maaf ya, semoga pernikahan Farid sakinah, mawadah, warohmah, Mbak Ayu segera dikasih cucu."

Dengan anggunnya Mami meminta maaf sebelum meninggalkan sepasang suami istri yang hanya membalas ucapan maaf beliau dengan gumaman ala kadarnya, setelah sedari tadi aku hanya melihat dua pengkhianat yang akhirnya berakhir di pernikahan ini dari kejauhan, kini aku berhadapan langsung dengan mereka dan semakin dekat aku melihat mereka semakin aku paham kenapa mereka berjodoh.

Mereka sama-sama jelek. Salma Handoko, dia cantik, tapi bukan kayak yang wow cantiknya seperti Raline Shah, aku jadi penasaran apa yang sudah membuatnya dicintai oleh Bang Kalla dan menjadi rebutan dua orang pria.

Tatapan seorang Farid Handoko tertuju kepadaku, dan seolah tidak terjadi apapun, aku menyalami mereka mengikuti apa yang dilakukan Mami.

"Selamat ya, Abang....."

"Selamat ya, Mbak....."

Ya, aku memberikan ucapan selamat kepada mereka, selamat karena pada akhirnya bisa bersama setelah apa yang mereka lakukan. Jika ada hal yang tidak aku sukai di dunia ini jelas itu adalah pengkhianatan apalagi dalam pernikahan, seburuknya pasangan kita kata Mami itu adalah resiko, perselingkuhan tidak dibenarkan apalagi selingkuhnya dengan orang terdekat. Gusti, itu pasti sangat menyakitkan untuk Bang Kalla, aku yang hanya mendengarnya saja teriris apalagi Bang Kalla yang merasakannya. Mungkin dunianya runtuh saat mendapati dia pulang ke rumah menemukan istrinya bersama atasannya.

Astaga, itu adalah hal paling menjijikkan yang mampu aku bayangkan.

Saat aku dan pengantin wanita cipika-cipiki aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak berbisik pelan ke telinganya.

"Terimakasih ya Mbak Salma sudah melepaskan Bang Kalla, kalau nggak, dia nggak akan jadi milik aku sekarang."

Bisa aku rasakan tubuh Salma, si pengantin wanita ini, menegang usai aku berbicara, aku yakin dia mendengar apa yang aku katakan. Reaksi wajahnya yang tidak percaya aku seblak-blakan itu dalam berbicara sangat menghiburku, senyuman tersungging di wajahku seolah yang aku katakan adalah hal yang lumrah. Tentu saja sikap tidak biasa istrinya yang begitu horor ini mengundang perhatian dari suaminya.

"Silahkan ambil, toh aku mendapatkan seorang yang lebih segalanya dibandingkan apa yang sudah aku buang. Anak kecil sepertimu tahu apa soal kehidupan."

Tidak ada penyesalan, wanita itu berbicara dengan sombongnya sembari mengeratkan pelukannya pada lengan pria yang kini menjadi suaminya.
Tatapan dua orang tersebut bolak-balik dari atas ke bawah penuh penilaian yang sama sekali tidak aku indahkan, entah apa yang mereka pikirkan saat menatapku demikian. Senyuman mereka sangat canggung saat diharuskan kami foto bersama.

"Samawa ya, Fajar! Semoga ini menjadi pernikahan yang terakhir.

Mami memberikan pesannya kepada pengantin pria, Mami yang orangnya baik kepada siapapun bagai Ibu Peri kali ini bahkan tidak mau menatap lama-lama pada Pengantin wanita yang seketika merasa canggung dengan sikap dingin Mami.

"Terimakasih Bu Jendral atas doanya."

Hanya itu yang mampu mereka ucapkan atas ucapan selamat Mami, bersama Mami aku berjalan meninggalkan mereka tanpa menyadari dua orang tersebut masih menatapku dengan banyak tanya di benak mereka terutama si Pengantin perempuan.

Selama ini dengan semua sikap Bang Kalla yang melepaskannya begitu saja, bahkan tidak ada kemarahan saat dirinya berkata jika dia lebih mencintai Fajar, membuat Salma berpikir dengan besar kepala jika Bang Kalla melakukan semua itu karena terlalu mencintainya sehingga apapun akan Bang Kalla lakukan untuk kebahagiaannya.

Salma merasa dirinya terlalu berharga untuk Bang Kalla sampai-sampai Salma lupa jika seringkali orang yang tidak marah sama sekali itu karena mereka menganggap sesuatu yang selama ini mereka jaga tidak lagi berharga apapun. Tanda orang yang sudah mati rasa adalah dia tidak lagi, tidak lagi menganggapnya ada di dunia ini, bahkan untuk sekedar rasa marah pun dia sudab tidak sudi.

Semua orang yang mendengar Salma berkata jika dia mendapatkan seorang yang lebih baik dari pria yang sudah diselingkuhinya tentu akan merasa lucu. Tidak ada yang benar dari perselingkuhan dan pengkhianatan. Salma yang mengkhianati suaminya, dan juga Farid yang meninggalkan tunangannya, tidak ada kebahagiaan yang dibangun diatas luka. Mungkin mereka sekarang tengah berbahagia, namun aku percaya dengan hukum tabur tuai yang tidak serta merta datang hasilnya.

Seperti kesepakatan kami diawal, Bang Kalla menepati janjinya untuk menungguku, pria ini menatap datar seolah dia tidak peduli dengan apapun yang ada di dunia ini, tanpa sungkan aku meraih tangannya, menggandengnya keluar melewati kerumunan tamu.

"Apa yang Mbak Aira katakan tadi diatas pelaminan?"

Aku kira Bang Kalla tidak memperhatikan karena hanya sepersekian detik saja aku berbisik ke telinga mantan istrinya, rupanya pria ini melihatnya juga.

"Ceileeeh, yang ngelihatin mantan...."

Godaku kepadanya, namun pria di sebelahku ini bergeming. "Bukan melihat Mantan, tapi memperhatikan Mbak Aira dan Ibu untuk memastikan kalian baik-baik saja, saya sudah berjanji bukan untuk mengawasi kalian meski tidak naik ke atas."

Aku mengangguk, tidak mendebatnya lagi, memilih untuk mempercayai apa yang dia katakan. "Soal yang aku omongin diatas tadi, sepele sih Bang, aku cuma ngucapin terimakasih karena Mbak Salma lepasin kamu, soalnya cowok ganteng spek ngemong di dunia ini makin langka, untung ditambahin sama dia jadinya bertambah satu. Kalau dudanya modelan kayak Abang, bisalah kita bicarakan."

Dalam hidup seorang Wibawa nggak ada ya namanya jaim-jaiman, kalau suka ngomong, kalau kagum ungkapin! Dikatain Cegil itu urusan belakangan.

KAIRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang