24. Kejujuran Yang Menyakitkan

1.6K 230 13
                                    

"Bersikaplah sewajarnya Mbak Aira......."

Kalimat itu terus menerus terngiang-ngiang dikepalaku diiringi dengan wajah dingin Bang Kalla yang serasa tidak ingin lepas dari ingatanku. Aku tahu yang aku lakukan adalah sebuah kekonyolan, namun sungguh aku hanya ingin dia tidak mengabaikanku, aku hanya ingin menarik perhatiannya yang sudah mengacuhkanku, aku menerima jika dia marah telah aku permainkan, tapi sederet rasa tidak suka yang terang-terangan dia lontarkan atas sikap dan sifatku benar-benar membuatku terpukul.

Benarkah? Benarkah aku semenyebalkan itu? Benarkah sikapku sangat memuakkan untuk orang-orang yang ada di sekelilingku? Aku hanya berusaha peduli dengan mereka yang ada di sekelilingku, namun sepertinya sikap peduliku justru menjadi gangguan untuk mereka, aku mengira Papi hanya memberiku peringatan namun sepertinya Papi berbicara hal tersebut atas dasar ketidaksukaan Bang Kalla kepadaku.

Seperti yang aku lakukan semalam. Sungguh, aku hanya tidak tahan dengan semua orang yang menatap Bang Kalla dengan pandangan kasihan, aku juga sangat tidak suka dengan fakta mantan istri Bang Kalla menikah dengan bahagia sementara pria itu masih sendirian. Aku hanya bersimpati, dan sedikit tertarik karena kebaikannya sehingga sangat emosional siapa yang menyangka jika sikapku ini sangat menyebalkan untuknya.

Rasanya sesak sekali mendengar dari Bang Kalla betapa sebalnya dia denganku. Bang Kalla seolah menegaskan tanpa Papi aku bukanlah siapa-siapa, aku hanya anak manja yang jika bukan karena Papiku tidak ada yang memakluminya.

Bang Kalla bukan seorang yang aku pikir berbeda, dia membenciku, sangat tidak menyukaiku itulah alasan terbesar kenapa sikapnya berbeda, aku yang awalnya tertarik, seketika menjadi down mendengar semua ketidaksukaannya kepadaku. Apa yang dia ucapkan membuatku membuka mata lebar-lebar atas hal yang selama ini aku abaikan.

Apa aku semenyebalkan itu?

Jika bukan karena Papi, aku bukan siapa-siapa!

Sungguh kata-kata sederhana itulah yang membuatku lebih merasa sakit dibandingkan ditampar secara fisik. Rasanya seperti, apa ya, sesak yang aku terima atas ucapan itu tidak bisa aku gambarkan sama sekali. Aku yakin banyak orang yang menggunjingku dengan kalimat yang serupa, namun lagi-lagi karena nama belakang Papiku membuat mereka tidak bisa mengatakannya secara langsung.

Lantas sekarang ada seorang yang mengatakan betapa muaknya dia dengan sikapku tepat di depan mataku, itu rasanya seperti ada yang menampar dan melidahiku secara bersamaan.

Aira, your are nothing. Kamu bukan siapa-siapa tanpa Ayahmu. Tanpa nama besar seorang Jendral Wibawa kamu hanyalah mahasiswa HI yang manja! Disaat seharusnya Bang Kalla tertawa karena tingkahku yang berusaha menarik perhatiannya, dia justru marah dan memberikan pemahaman yang tidak terduga untukku.

"Ra, Aira......"

Suara Amanda yang mengguncang tubuhku membuatku tersentak, sedari tadi aku hanya terpaku dengan sosok yang kini menghilang dibalik paviliun tempat Anggota Papi tinggal dengan perasaan yang campur aduk tidak karuan sehingga aku lupa bagaimana keadaanku yang basah kuyup dan dihanduki Amanda.

"Ra, lo nggak apa-apa, kan? Ya Tuhan, gue hampir mati tahu nggak sih? Lo juga, ngapain sih sebegitunya ngejahilin orang! Kalau sampai lo tenggelam beneran gimana?"

Beruntun Amanda merepet kepadaku, perempuan gempal ini tampak kesal sekaligus khawatir, namun alih-alih menanggapi apa yang dia khawatirkan, aku justru bertanya hal yang membuatku terpaku.

"Man, aku semenyebalkan itu, ya?!"

Amanda yang mendengar pertanyaanku seketika bola matanya melebar, dia terkejut tidak menyangka jika aku akan bertanya hal yang sepertinya tidak seharusnya aku pertanyakan. Tanpa Amanda harus menjawab, aku sudah tahu apa yang ingin dia katakan saat matanya bergerak liar penuh kepanikan, hal yang tanpa aku sadari membuatku berdecak dengan perasaan campur aduk yang tidak bisa aku utarakan lagi.

KAIRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang