Bohong jika aku mengatakan hidupku seindah yang orang-orang selalu katakan. Tidak, hidupku tidak selancar kesombonganku, kesombonganku, rasa enggan yang aku miliki untuk berinteraksi dengan mereka yang tidak aku kenal dengan baik adalah bagian dari caraku melindungi diriku dari rasa trauma akan orang-orang yang mencemoohku di masalalu.
Kata-kata tentang aku yang bukan siapa-siapa tanpa Ayahku, ucapan tentang KKN saat aku mendapatkan peringkat ataupun menjadi perwakilan sekolah untuk beberapa perlombaan atau event penting adalah kalimat yang mengiringi pertumbuhanku, tidak hanya mencibir dan meragukan pencapaianku, saat akhirnya aku jatuh, kalimat menyakitkan tentang 'anaknya Danyon kok zonk kayak gitu' atau 'itu Bapaknya nggak malu punya anak kayak gitu', bayangkan semua hal menyakitkan itu terus menerus aku dengar, dari yang awalnya membuatku down sampai membuatku kebal sehingga mati rasa sampai akhirnya aku memilih semua makian itu.
Alih-alih menampik aku memilih menelan semua kalimat menyakitkan itu, dan menyombongkan kepada semua orang siapa orangtuaku, persetan jika disebut menumpang nama besar Ayahku, aku tidak berbuat apapun aku disalahkan, ya lebih baik aku pamerkan saja kepada dunia betapa beruntungnya diriku menjadi putri Ayahku. Sebuah senyuman yang kini bisa aku bebas lakukan usai berjuang panjang dengan mentalku yang dihajar.
Jadi, disaat Amanda mengabaikan aduan adiknya soal teman-temannya yang tidak menyukainya hingga terus menerus diganggu, justru aku yang tidak bisa mengabaikannya, Amanda selalu berkata kepada adiknya untuk tidak mengambil hati ucapan teman-temannya dan sebisa mungkin tidak membuat masalah agar Adinda bisa menyelesaikan sekolahnya di sekolah elite impian Amanda tersebut, Amanda terlalu sibuk dengan obsesinya sendiri hingga lupa jika ada banyak orang yang wujudnya manusia tapi kelakuannya seperti binatang.
Sekarang saat akhirnya dia mendapati adiknya patah tulang karena jatuh dari tangga, sekolah mengatakan itu semua adalah kecelakaan sementara Adinda bercerita jika dirinya di pojokkan oleh teman-teman sekelasnya karena tidak mau memberi contekan untuk ujian dadakan mereka, Adinda disudutkan di toilet siswa, di dorong-dorong, ditempeleng, dicubit, dipukul sampai lebam di beberapa bagian sampai mulutnya sobek, pelipisnya memar dan saat akhirnya Adinda berhasil melarikan diri dari toilet, dirinya justru di dorong dari atas tangga yang berujung dengan dirinya yang berada di ranjang rumah sakit.
Saat Adinda sampai dirumah sakit, petugas uksnya dan gurunya meninggalkannya begitu saja sampai pihak rumah sakit harus menelpon keluarga Adinda, bayangkan bagaimana buruknya perlakukan sekolah itu kepada Adinda, tidak hanya murid-muridnya yang seperti anak setan, pihak staf dan guru sama Dajjalnya.
Jika saja aku tidak mengusulkan kepada Amanda untuk visum sekalian mungkin Amanda masih akan denial dengan berpikir adiknya tidak akan apa-apa, sekarang dengan selembar hasil visum yang menunjukkan jika lebam di tubuh Adinda bukan karena jatuh tapi karena penganiayaan, mata Adinda terbuka lebar. Dunia memang sejahat itu, setidakadil itu.
"Ra, tapi aku musti gimana?"
Pertanyaan bodoh itu terlontar dari Amanda, aku sangat kesal kepadanya tapi menyadari jika pertanyaan Amanda sangat realistis, ya seringkali ketidakadilan berpihak kepada mereka yang tidak punya kuasa, jadi wajar jika Amanda yang merasa dirinya tidak memiliki siapapun untuk mendukungnya tidak tahu bagaimana harus bersikap. Diam saja adiknya disakiti sampai seperti ini, dihancurkan fisik dan mentalnya, namun jika Amanda bergerak melaporkan yang ada dirinya akan diintimidasi dari berbagai pihak.
Siapa yang akan percaya?
Kalimat singkat yang diucapkan Adinda tersebut sudah menggambarkan segalanya.
"Temenin Adinda, kuatin dia, hibur dia, dengarkan apa yang dia rasakan, itu yang harus kamu lakukan, Man. Sisanya akan aku urus."
Amanda menatapku dengan mata berkaca-kaca, entah apa yang hendak dia katakan namun aku tidak sempat untuk mendengarkan lagi karena aku memilih untuk segera bertindak. Hal pertama yang aku lakukan adalah menghubungi Mami, ya Mami, karena sebagai mantan Guru tentu beliau lebih bijak menanggapi hal ini. Tanpa banyak berbasa-basi aku langsung menceritakan semua yang aku ketahui dan juga hasil visum dari Adinda, semuanya aku ceritakan secara lengkap, dan seperti yang bisa aku tebak, Mami tidak terlalu banyak mengomentari namun dari hela nafas beliau aku tahu jika beliau sangat geram saat mendengarnya, apalagi dibagian guru-gurunya Adinda yang berpihak kepada para pembully. Setiap laporan Adinda selalu diacuhkan oleh mereka, dan yang paling mencengangkan adalah tidak ada guru yang mendampingi bahkan saat sampai di rumah sakit.
"Jadi disitu nggak ada gurunya sama sekali, Ra?"
"Nggak ada Mi, kata Susnya tadi cuma ada petugas UKS sama satu gury yang nganterin, itu pun cuma nganter tok, habis itu mereka bilang kalau ada apa-apa suruh hubungi wali muridnya."
Hela nafas panjang Mami kembali terdengar, beliau pasti paham jika aku sangat kesal, mengedepankan akal sehat dibandingkan perasaan Mami kembali memastikan, "Aira, kamu tanya sekali lagi ke Adinda, dia mau melanjutkan untuk membuat laporan atau tidak jika kita bantu, Mami ingin kamu memastikan jika Adinda benar-benar berbicara jujur, Mami akan membantu sekuat Mami asalkan Adinda berbicara jujur."
Dititik ini sebenarnya aku ingin marah kepada Mami karena pertanyaan Mami seolah meragukan Adinda, hal yang pasti akan membuat Adinda karena terkesan meragukan ucapannya, dia akan semakin terluka karena selama ini dia berusaha mengadukan perlakuan buruk yang diterima namun tidak ada yang percaya. Aku ingin marah, namun buru-buru aku meredamnya, sikap Mami adalah sikap paling rasional meski bertentangan denganku yang kini tengah emosional.
"Bukan Mami tidak percaya kepada Adinda, tapi menghukum mereka yang bersalah harus punya modal yang kuat, Aira. Apalagi anak-anak sekolah elite itu pasti orangtuanya punya pengaruh. Jangan biarkan Adinda punya cela. Tanyakan lagi pada Adinda apa ada hal yang dia lakukan sampai dia bisa di bully! Jika penyebab dia dibully murni karena fisiknya, berprestasi tapi tidak mau memberikan contekan atau karena dia dari ekonomi kurang, Mami pastikan akan menyeret anak-anak nakal itu sampai mendapatkan pelajaran yang setimpal. Kamu paham, Aira?!"
Suara Mami terdengar dari kejauhan, syukurlah disaat aku tengah dilanda emosi Mami mampu mengarahkanku untuk mengambil jalan yang terbaik.
"Terimakasih banyak Mami."
"Kalau begitu kembali ke Amanda, Mami akan meminta orang Mami untuk mengamankan CCTV sekolah Adinda terlebih dahulu sebagai barang bukti."
Tidak terlukiskan bagiku betapa aku beruntung memiliki beliau. Kumatikan panggilan Mami, ada rasa lega yang melingkupi karena kesanggupan beliau membantu apa yang dihadapi Adinda.
"Mbak Aira......" jantungku seketika hampir terlepas saat tepat aku berbalik usai menelepon, sosok tinggi tegap dengan suaranya yang berat itu memanggil namaku. Aku terlalu syok dengan keadaan Adinda hingga lupa dengan kehadirannya yang masih mengikutiku kemana-mana.
Ditangannya ada dua cangkir kopi, dan satunya diulurkan kepadaku. "Saya rasa Mbak Aira butuh kafein....."Kalimat macam apa itu? Dengan pandangan menyipit aku meraih cangkir tersebut, benar sekali, aku butuh kafein untuk menenang perasaan kesalku, "Abang sarkas? Mau bilang kalau aku tukang ikut campur masalah orang lain? Sorry kalau Abang terganggu tapi, terserah juga kalau Abang mau ngatain aku tukang ikut campur, yang jelas aku nggak bisa diam saja lihat anak dibully sampai harus dioperasi kakinya."
Aku sempat mengira jika aku akan mendapatkan kalimat sarkas lainnya karena Bang Kalla kebagian dampratanku sebagai luapan rasa kesalku, tapi pria di hadapanku ini justru menggeleng.
"Tidak, kopi itu sebagai rasa terimakasihku atas sikap baik Mbak Aira kepada seorang yang hampir kehilangan harapan."

KAMU SEDANG MEMBACA
KAIRA
RomanceSaat Tuan Putri kesayangan Sang Panglima yang pecicilan dan manja bertemu dengan Ajudan yang dingin. Aira Sekar, perempuan manja mahasiswa Hubungan Internasional tersebut nyatanya harus menjilat ludahnya sendiri, satu waktu dia pernah berkata jika d...