Saat Tuan Putri kesayangan Sang Panglima yang pecicilan dan manja bertemu dengan Ajudan yang dingin.
Aira Sekar, perempuan manja mahasiswa Hubungan Internasional tersebut nyatanya harus menjilat ludahnya sendiri, satu waktu dia pernah berkata jika d...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Aira, Papi dengar dari Mami dan Pandu katanya kamu bikin ulah lagi ngerecokin Kalla."
Aku yang tengah nongkrong dimeja dapur menikmati sepiring anggur sebagai camilan tengah malam karena aku tidak bisa tidur langsung saja mendapati teguran Papi yang baru saja masuk ke dalam rumah.
Dari seragam yang masih beliau kenakan jelas sekali jika Papi bahkan belum menghampiri Mami untuk langsung menemuiku. Aku buru-buru bangkit dan langsung memeluk Papi, meski aku seringkali sebal dengan sikap Papi yang kadang pemaksa apalagi jika itu menyangkut Mami namun beliau tetaplah pria kesayanganku, cinta pertamaku.
Sungguh aku suka dengan pelukan Papi, hangat, dan rasanya menenangkan sekali, seolah semua masalah yang ada akan lenyap selama ada Papi disampingku.
"Nggak ada ya Pi yang namanya Aira ngerecokin orang! Bohong mereka tuh yang ngomong."
Papi melepaskan pelukanku, tatapan mata beliau kali ini sangat serius sama sekali tidak ada binar jenaka di dalamnya seperti yang selama ini selalu terlihat, Papi bukan orang yang suka marah-marah, namun saat Papi mulai mengeluarkan tatapan matanya yang tajam itu sudah menjadi peringatan untukku agar berbicara dengan serius.
"Aira......."
Namaku yang dipanggil oleh Papi begitu penuh dengan penekanan yang membuat bahuku langsung lunglai. Jangan dipikir karena aku anak tunggal dan orangtuaku sangat menyayangiku mereka selalu memanjakan dan tidak pernah menegurku. Papi akan berbicara tegas kepadaku jika dirasa aku sudah membuat keributan, dan sepertinya kejahilan yang aku lakukan di resespsi keluarga Handoko tadi sudah sampai ke telinga Papi.
"Iya-iya aku ngaku salah, Pi. Tapi Pi, Aira cuma nggak mau di recokin Mamak-mamak yang pengen jodohin Aira sama anak mereka, Papi kira Aira nggak pengang apa dengar hal yang sama semenjak Aira menstruasi! Muak tahu nggak sih Pi disodorin kayak gitu, dikira zaman Siti Nurhaliza apa?! Lagian mereka ngejar-ngejar Ai juga karena Ai anak Papi, coba kalau Ai anaknya Pak Afandi, nggak ada Ai dilihat sama mereka, nggak mungkin anak mereka di restuin kalau milih sama Ai. Jadi Please, maklumin apa yang Ai lakukan hari ini ya, Pi!"
Sebelum Papi marah-marah, lebih baik aku menjelaskan semuanya kepada Papi terlebih dahulu melakukan semua hal yang sepertinya membuat Papi murka. Aku berharap Papi akan memberikan responnya atas penjelasanku, marah atau menasehatiku agar tidak berbuat demikian namun Papi tetap diam. Diamnya Papi yang biasanya beradu argumen denganku dalam banyak hal terasa mengerikan.
"Papi, Papi jangan marah. Ai cuma melindungi diri Ai dari hal-hal yang menurut Ai mengganggu. Ya, Pi! Please ngertiin Ai."
Papi tidak serta merta menjawab, beliau duduk di kursi meja makan dan mau tidak mau aku mengikuti beliau untuk duduk di hadapan beliau.