"Mbak Aira, tolong jangan seperti ini?"
Dengan halus Bang Kalla melepaskan tanganku yang memegangi lengannya, namun siapa dia berani melepaskan genggaman tanganku, yang ada aku justru semakin mengeratkan pelukanku dan tatapanku melayang penuh protes.
"Apa sih, Bang. Katanya Abang sudah nggak ada perasaan apa-apa, kan? Ya sudah, temenin aku buat naik ke sana! Kenapa sih menghindar kayak gini, jadi plus one-nya aku berarti nemenin aku sampai akhir, dong!"
Kembali aku bersikukuh dengan apa yang aku inginkan, aku tidak mau tahu, Bang Kalla harus menemaniku kesana, setelah apa yang sudah dilakukan oleh mantan istrinya, setidaknya mantan istrinya harus melihat jika mantan suami yang sudah dia selingkuhi sama sekali tidak hancur melainkan baik-baik saja. Entahlah, masalah ini adalah masalah personal Bang Kalla namun usai mendengar apa yang terjadi aku sedikit merasa tidak terima orang yang sudah berkhianat Happy Ending dengan sangat indahnya.
"Saya tunggu Mbak Aira di ujung sana, Mbak Aira silahkan naik bersama dengan Ibu. Tolong jangan meminta sesuatu yang tidak bisa saya lakukan, Mbak. Apapun akan saya lakukan, tapi tidak dengan hal ini."
Namun sepertinya pria yang tersakiti ini tidak berpikiran sama sepertiku, dia benar-benar sudah mati rasa bahkan sekedar memperlihatkan jika dirinya baik-baik saja tanpa mereka pun dia sudah tidak berminat. Lebih daripada mengikhlaskan apa yang sudah terjadi, ketidakpedulian yang ditunjukkan oleh Bang Kalla lebih mengerikan, sepertinya di mata Bang Kalla dua orang manusia yang sudah mengkhianatinya tersebut sama sekali tidak terlihat, Bang Kalla menganggap mereka tidak ada kehadirannya di dunia ini.
Ya, Bang Kalla tidak ingin naik ke atas pelaminan bersamaku bukan karena dia masih gagal moveon terhadap mantan istrinya dan pengkhianatan yang dilakukan mantan atasannya, namun murni karena dia tidak peduli lagi, dan lebih tepatnya tidak ingin melihat wajah mereka berdua lagi.
Alhasil aku mengalah, aku tidak lagi memaksanya namun aku juga tidak ingin naik sendirian.
"Kalau begitu anterin sampai sana, nanti aku naik sama Mami, tapi Abang janji nunggu aku diujung disana, begitu turun Abang harus gandeng aku lagi biar aku nggak diculik mamak-mamak buat jadiin mantu mereka, deal?!"
Aku mengangkat tanganku, memintanya berjanji kelingking kepadaku, bukan tidak mungkin jika dia akan membohongiku, bisa saja kan dia ngacir duluan ke tempat parkir dan meminta Mbak Yunita atau Mas Pandu untuk menggantikannya, namun pria ini meraih tanganku dan benar-benar berjanji kepadaku.
"Deal........"
Sial. Dia menaklukanku.
Menghadapi sikap manja dan terkesan kekanakan yang seringkali aku sendiri tidak sadari jika aku sudah keterlaluan terhadap apa yang aku inginkan tentu terkadang akan membuat sebal siapapun lawan bicaraku, belum lagi dengan sikapku yang tidak mau mengalah, seringkali ajudan dan anggota Papi akan meluluskan apapun yang aku minta dari mereka daripada terlibat masalah, namun pria di hadapanku ini menghadapiku dengan cara yang berbeda.Dia menuruti apa yang aku inginkan dalam batas akal sehat tanpa menyinggungku, dia juga tidak serta merta menolak dengan cara yang buruk sehingga aku tersinggung, sungguh kekesalanku yang muncul saat melihatnya datang ke studio Eve sudah sepenuhnya lenyap, aku benar-benar tertarik dengan Duda tampan kembaran Kulkas berkaki ini, senyuman muncul di bibirku saat aku meraih lengannya lagi dan menggandengnya, kali ini dia tidak lagi protes atau menolak, hal yang membuatku nyengir dan membuat Mami geleng-geleng kepala.
"Sabar-sabar ngadepin bayi gede ya, Kal!" Ungkap Mami dengan penuh keprihatinan.
"Kalau bayi gedenya secantik anak Mami nggak akan ada yang keberatan, ya nggak, Bang?!"
Tidak ada jawaban dari Bang Kalla, hal yang sudah aku tebak sehingga aku sama sekali tidak tersinggung dengan sikapnya yang dingin dan irit berbicara, bersama dengan tamu lainnya yang antri dalam antrean untuk memberikan ucapan selamat kepada Pengantin, beberapa orang yang mengenalku hanya menyapa sekedarnya tanpa basa-basi berlebihan. Hal yang tentu saja membuatku semakin full senyum.
Semakin dekat dengan antrean, semakin lama pula antrean ini bergerak karena sudah pasti ada beberapa yang berfoto dengan pengantin dan keluarga, Om Johan dan istri, serta Mami adalah tamu yang dipastikan juga akan berfoto bersama, mau tidak mau aku pasti mendampingi Mami karena Papi absen, aku jadi penasaran bagaimana reaksi mereka nanti.
"Mbak Aira........"
Suara berat dari pria yang ada di sebelahku saat memanggil namaku membuat jantungku bergelenyar. Ada candu yang terkandung di dalamnya, banyak yang memanggilku demikian karena menghormatiku sebagai putri Papi, hal yang seringkali membuatku sebal, namun lagi-lagi Bang Kalla membuat pemaklumannya sendiri.
Namaku, yang disebut dengan suaranya yang berat dan dalam terasa sangat pas dan sopan sekali masuk ke dalam telingaku.
Seperti remaja belasan tahun yang terhipnotis, aku menoleh ke arahnya untuk mendapati dirinya, dari samping side profil laki-laki yang aku perkirakan berusia diatas 30 tahun ini sangat sempurna. Rahang tegas dengan cambang yang tercukur rapi dan hidungnya yang mancung dalam bentuk yang bagus, terlebih bulu matanya yang lentik terlihat bagus saat dia berkedip. Astaga, laki-laki ini tidak perlu melakukan apapun untuk terlihat maskulin, sisi alphanya terlihat dari segala sisi, auranya awur-awuran.
Duh yakin seribu persen itu pengantin cewek pasti nyesel lihat mantannya gantengnya udah persis kayak keluar dari majalah Fashion apalagi dibandingkan dengan suaminya sekarang, dulu waktu selingkuh yang dipikir apa sih? Yang dilihat bagian mananya gitu loh, dari tadi aku lihatin aku nggak nemu nilai plus dari pengantin laki-laki, ganteng biasa saja cenderung ke pas-pasan, jauh sekali jika dibandingkan Bang Kalla. Soal badan, bukannya skin shamming, tapi laki-laki bernama Farid tersebut jauh lebih gelap, bener deh, ibaratnya yang namanya Farid itu diangka 4, Bang Kalla diangka 8,5 kan lumayan jauh ya. Dibandingkan menjadi Tentara aku rasa Bang Kalla lebih cocok menjadi CEO seperti Pakde Sada.
Sembari aku mengintili Mami, pandanganku terus terarah kepada Bang Kalla yang ada di bawah, dia menepati janjinya untuk terus mengawasiku, dan tentu saja sikapnya tersebut tidak luput dari perhatian dua pengantin yang ada diatas pelaminan, dari sela-sela orang yang memberikan mereka selamat, mereka bergantian memperhatikan Bang Kalla dan juga aku yang berpura-pura tidak melihat. Lama kami menunggu giliran sampai akhirnya sampai giliran Mami yang bersalaman dengan orangtua pengantin laki-laki, senior Papi tersebut berbasa-basi menanyakan kabar Papi yang tidak hadir, Mami pun meminta maaf karena Papi tidak bisa datang.
Sedangkan aku, aku hanya tersenyum, bersalaman dengan mereka, menerima pujian tentang betapa cantiknya aku sekarang yang sudah dewasa, yang aku tanggapi dengan senyuman ala kadarnya.
Sampai akhirnya celetukan dari Nyonya Handoko membuat langkah Mami yang hendak menyalami Pengantin pria terhenti.
"Aira, tadi kesini sama pacar, nggak?"
Aku dan kejahilanku yang seringkali kumat saat mendapati orang-orang yang nggak bener seketika bangkit, Nyonya Handoko sepertinya ingin memastikan apa Bang Kalla yang sedari tadi aku gandeng dan duduk di kursi Papi sekedar ajudan atau pasangan, dan tentu saja aku menjawabnya dengan riang sembari menunjuk Bang Kalla yang kebetulan menatapku.
"Itu pacar Aira, Bu Fajar. Sekarang pacar Aira sedang mode Ajudan Papi, makanya nunggu di bawah."
Jangan tanya bagaimana syoknya wajah dari dua orangtua pria yang sudah mematahkan hati Bang Kalla, berulangkali mereka menatapku dari atas ke bawah seolah tidak percaya.
"Bu Fajar mau kenalan? Kalau iya saya panggilin."

KAMU SEDANG MEMBACA
KAIRA
RomanceSaat Tuan Putri kesayangan Sang Panglima yang pecicilan dan manja bertemu dengan Ajudan yang dingin. Aira Sekar, perempuan manja mahasiswa Hubungan Internasional tersebut nyatanya harus menjilat ludahnya sendiri, satu waktu dia pernah berkata jika d...