"Kakak lihat sendiri, kan? Kakak lihat kan gimana orang-orang itu bersikap selama ini ke Dinda?! Kakak selalu bilang Dinda saja yang tidak bisa bergaul dan membawa diri di lingkungan sialan itu, lihat, bukan Dinda tidak bisa membawa diri, tapi orang-orang itu selalu menganggap Dinda ini kotoran dalam sekolah mereka yang sempurna. Bahkan saat keadaan Dinda seperti ini saja Dinda diminta bungkam, Dinda nggak boleh bersuara karena yang ngebully Dinda anak-anak orang kaya! Bahkan guru Dinda pun nggak pernah menanggapi keluhan Dinda karena Dinda bukan siapa-siapa!"
Tepat disaat tiga orang tersebut dibawa Bang Kalla keluar, Adinda mengeluarkan keluhannya, tidak ada nada tinggi dalam suaranya, dia bersuara lirih tanpa daya dalam pandangan kosongnya, menunjukkan seberapa besar luka yang selama ini dia pendam, sungguh kata-kata lirihnya bagai belati untuk Amanda. Wanita yang kini terduduk lesu dengan kepala tertunduk tersebut begitu syok dengan kehadiran guru adiknya yang justru datang memberikan ancaman.
"Dinda tahu niat Kak Manda baik, Kakak pingin Dinda bersekolah di sekolah elite yang menjadi impian Kakak dari dulu, Dinda juga sadar nggak seharusnya Dinda mengeluh setelah semua usaha Kakak biayain sekolah Dinda, tapi Kak, sakit banget rasanya........."
Air mata itu menetes perlahan di wajah Dinda, tidak ada isakan lagi, lebih dari raungan, luka yang dirasakan Dinda bahkan membuat Amanda jauh lebih nelangsa dibandingkan sebelumnya. Adinda bahkan sudah tidak sanggup lagi untuk menggambarkan lukanya dengan kata-kata karena terlampau menyakitkan.
"Ada beberapa tempat yang memang tidak bisa dimasuki orang-orang seperti kita, Kak! Tolong, berhenti dengan obsesi Kakak. Dinda nggak sanggup lagi, Kak."
Amanda yang tertunduk seketika mendongak saat mendengar permohonan adiknya, pandangannya tampak begitu lelah, beban di bahunya sebagai seorang kakak yang menggantikan peran orangtuan mereka yang sudah tiada tampak sangat berat. Aku sama sekali tidak bisa menyalahkan Amanda saat dia menyekolahkan adiknya di sekolah elite dengan bayaran selangit, Amanda ingin adiknya mendapatkan yang terbaik, hal yang tidak bisa Amanda dapatkan ingin dia berikan kepada adiknya, sungguh itu adalah hal yang mulia, tapi sayangnya dunia memang sekejam itu kepada beberapa orang.
Sungguh, melihat hal tragis yang terjadi pada Kakak adik ini membuatku begitu miris. Tidak ada yang salah diantara keduanya, nasib saja yang begitu buruk.
"Kakak cuma ingin kamu bersekolah ditempat yang bagus. Tempat bagus akan membuat kamu mudah menjalin relasi yang bagus juga, kamu tahu Dek gimana sulitnya Kakak dapat pekerjaan karena kakak bersekolah ditempat yang di pandang kurang, kalau bukan karena kebaikan Aira dan Management-nya, kakak ini cuma jadi Babu yang disuruh-suruh. Hidup Kakak nggak mudah, kakak nggak pengen kamu mengalami apa yang kakak inginkan, itu sebabnya Kakak pengen kamu berada ditempat yang bagus mulai dari sekolahmu. Kakak cuma pengen hidupmu bahagia, Dek! Nggak ada sedikitpun niat Kakak bikin kamu susah! Siapa yang nyangka kalau memang dunia sekejam ini kepada orang kecil macam kita! Kamu pikir Kakak nggak sedih! Kakak orang paling sedih ngelihat kamu kayak gini!"
Tangis penuh luka itu pada akhirnya pecah, aku yang sudah tidak tahan lagi dengan kondisi PA-ku buru-buru beranjak, tidak ada yang bisa aku lakukan dalam kondisi yang tidak nyaman ini selain meraih Amanda ke dalam pelukanku. Wanita yang mengurusku dalam banyak hal ini seringkali tertawa, bahkan tidak jarang dia menjadikan pahit hidupnya ini sebagai bahan bercandaan, namun yang menyakitkan adalah itu sedikit cara Amanda untuk menghibur hidupnya yang sebercanda itu. Tidak ada yang bisa aku lakukan, penghiburanku akan terdengar seperti omong kosong, jadi yang aku lakukan hanyalah memeluk Amanda erat, mengusap punggungnya berulangkali untuk memastikan jika Amanda tidak sendirian menghadapi ketidakadilan dunia yang seringkali menggelikan.
"Kamu kakak yang hebat, Man. Kamu kakak yang luar biasa, orangtuamu pasti bangga terhadapmu."
Aku terlalu sibuk menenangkan Amanda, sampai aku tidak memperhatikan sepasang mata yang menatapku dengan lekat dan segala penilaiannya kepadaku sedikit banyak telah berubah.
.
.
."Kok berhenti disini!"
Mataku sudah hampir tertutup saking lelahnya, bukan lelah secara fisik namun lelah secara fikiran dengan banyaknya candaan takdir yang aku temui hari ini, namun saat aku hampir tertidur sepenuhnya aku justru merasakan mobil yang berhenti di sebuah kawasan yang kanan kirinya banyak terdapat pedagang kaki lima. Aroma Harun semerbak bumbu-bumbu masuk ke dalam hidungku, membuat perutku keroncongan.
Aku melihat ke arah Bang Kalla, suara kuncian seatbelt yang dibuka menunjukkan jika dia hendak turun, tatapan kami bertemu, dan dia langsung melihat ke arah depan sembari membuka pintu.
"Mbak Aira belum ada makan dari tadi siang, kan?"
Aku terdiam, pandanganku tertuju pada banyak pilihan makanan yang bisa aku santap, aromanya pun semerbak, seolah mereka tengah berlomba-lomba menggodaku. Kantukku seketika menghilang, namun tetap saja aku tidak akan bisa makan di jam seperti ini.
Melupakan perang dingin yang berkibar sejak tadi pagi, aku mengikutinya turun. Perutku lapar, tapi aku tidak bisa makan di jam seperti ini.
"Mbak Aira mau makan apa? Makan disini nggak apa-apa, kan? Atau Mbak mau makan ditempat lain?"
Mendapatiku yang diam saja ditempat membuat Bang Kalla bertanya, bukan, aku sama sekali tidak masalah makan di tempat kaki lima seperti ini, beberapa langganan Mami dan Papi juga streetfood namun yang menjadi kendalaku adalah jam makanku, dan pasti Bang Kalla akan mencibir juga mengataiku yang macam-macam saat tahu alasannya.
"Bukan begitu....." aku mencoba mencari kata yang tepat untuk menggambarkan kondisiku tapi Bang Kalla tampak tidak sabar.
"Mbak Aira belum makan dari tadi siang loh, cuma minum kopi yang saya kasih! Bapak bisa marah ke saya kalau saya nggak becus jaga Mbak, lebih baik Mbak makan dulu, katakan saja Mbak mau makan apa saya anterin!"
Mendapati sikap frustasi Bang Kalla sebenarnya aku ingin tertawa, tapi dikondisi lapar seperti ini tidak seharusnya aku bercanda. Bercanda dengan orang yang lapar sangat tidak lucu.
"Menurut Abang yang enak yang mana?!"
Bang Kalla yang mendengar akhirnya aku menjawab menghela nafas lega. "Gultik depan minimarket itu enak, Mbak."
Aku turut mengangguk, "ya sudah ayo kesitu!" Meraih lengannya aku menghampiri lapak gultik yang identik dengan kursi kecil-kecil itu, dengan slay aku duduk, dan hampir tertawa mendapati tubuh tinggi Bang Kalla duduk di hadapanku.
"Mbak Aira pesan berapa?" Pertanyaan itu terlontar saat Abangnya menghampiri meja kami yang langsung aku sambut gelengan.
"Nggak, aku nggak makan karbo setelah jam 8."
"Haaah?"
"Haaah?"
Bersamaan dua orang dihadapanku ini ternganga tidak mendengar jawabanku, dengan polosnya aku mengangguk. "Iya aku nggak makan, Abang saja yang makan, aku tungguin disini nggak apa-apa. Syukur-syukur Abang peka mau beliin aku buah di dalam sana biar nggak makan angin."
Bibir Bang Kalla terbuka, dia seperti hendak beradu argumen denganku, tapi Abang Gultik dengan cepat menahannya dan langsung memberikan tatapan penuh peringatan.
"Biarin saja Bang, biarin! Cewek memang gitu, susah dimengerti."
"Tapi......"
"Udah, biarin! Abang pesan dan makan sendiri saja. Nanti ini pacar Abangnya juga pasti ikutan makan. Percaya sama saya!"
Dih, sok tahu lu!!!!

KAMU SEDANG MEMBACA
KAIRA
RomanceSaat Tuan Putri kesayangan Sang Panglima yang pecicilan dan manja bertemu dengan Ajudan yang dingin. Aira Sekar, perempuan manja mahasiswa Hubungan Internasional tersebut nyatanya harus menjilat ludahnya sendiri, satu waktu dia pernah berkata jika d...