"Udah berapa persen?"
Pertanyaan itu muncul dari bibir Revi. Perempuan dengan midi dress hitam itu kembali duduk di single sofa menatap Gendhis dan Laras.
"Almost seventy or eighty? I don't know, not sure," gumam Gendhis mulai menyilangkan kedua kakinya. Perempuan itu perlahan menutup iPad di pangkuannya, "tinggal printilan-printilan aja sih," imbuhnya pelan.
Laras menatap Gendhis, kepalanya mengangguk pelan. "Tapi seru banget nggak sih?" tanya Laras terlihat penasaran. Perempuan itu bahkan menyipitkan matanya ke arah Revi dan Gendhis bergantian, "nggak kebayang tapi sepusing apa," tambahnya.
"Ya, kalau nggak pakai WO udah keburu pingsan duluan sih. Terpujilah para WO di dunia ini," sahut Gendhis cepat. Perempuan itu menaikan kedua bahunya, "sebanyak itu ternyata yang harus disiapkan," sambungnya.
Gendhis mendengus, "paham kenapa dulu si Revi sampai asam lambung," celetuk Gendhis melirik ke arah Revi yang sudah sibuk dengan potongan buah di mangkoknya.
"Dan Mbak Gula yang vertigo," potong Laras dengam cepat. Perempuan itu bahkan menyenggol lengan Gendhis mengingatkan bagaimana kondisinya bulan lalu.
Perempuan tiga puluh tahun itu kembali mendengus, menyandarkan diri ke Baxter Piaf Sofa berwarna beige. "Kalau case aku emang akunya yang cari masalah sih," lirih Gendhis sebelum membuka ponsel miliknya.
"Jangan sering overthinking, ingetin diri sendiri terus deh, Mbak Gula," ingat Revi menatap Gendhis. "Ya paham emang cobaan orang nikah itu banyak banget," lanjutnya dengan senyum tipis.
"Iya, jelek banget emang overthinkingnya kemarin," balas Gendhis setuju dengan ucapan Revi.
Ketiga perempuan itu sedang berkumpul bersama, kali ini bukan kafe atau resto langganan mereka. Tapi, di rumah milik Revi dan Catra yang ada di Candi Golf.
Sebuah rumah milik sepasang suami-istri yang sedang menanti kehadiran anak pertama mereka. Ya, Revi tengah hamil sembilan minggu. Itu juga yang menjadi alasan mengapa mereka bertiga memindahkan tempat kumpul mereka.
Satu lagi yang harus kalian tau, rumah bergaya modern tropical itu adalah hasil rancangan Gendhis. Revi secara khusus meminta Gendhis menjadi satu-satunya yang menghandle pembangunan rumah keduanya.
Bukan hanya Gendhis sebenarnya, Laras juga turun langsung untuk urusan interior. Jadi, secara singkat rumah milik Revi dan Catra menjadi salah satu proyek hasil kolaborasi Gendhis dan Laras.
"Tapi seriusan harusnya kamu nggak boleh mikir aneh-aneh loh, Ndhis. Kata Ibuku kan iblis suka sama mereka yang punya niat baik," titah Laras sebelum melipat kedua kakinya. Perempuan itu menatap Gendhis dengan tatapan lurus. "Nggak mau ya aku nggak jadi kondangan ke Mangkunegaran kalau kamu mikir aneh-aneh," lanjutnya dengan wajah tegas.
Gendhis hanya mampu menggelengkan kepalanya, hanya mampu mengiyakan ucapan Laras yang terdengar sangat sungguh-sungguh itu. "Waktu itu aja aku nggak mikir buat batalin sama sekali, Ras. Aku cuma ngerasa engap aja, kok rasanya cepat sekali prosesnya," balas Gendhis menepuk pelan lutut kiri Laras.
"Bagus, jangan sampai mikir yang aneh-aneh," potong Revi kembali mengingatkan. "Terus, udah ada rencana apa setelah menikah nanti?" penasaran Revi dengam satu tangan sudah digunakan untuk menyangga kepalanya.
Gendhis hanya mengedikan bahunya, tangannya sibuk memainkan cincin putih yang ada di jari manisnya. "Yang utama sih tetap jadi pendamping Mas Riga aja dulu-"
"Berhenti total?"
Kepala perempuan itu menggeleng cepat, "nggak total, cuma harus lebih tau aja sih prioritasnya kan juga pasti akan berubah," jelas Gendhis dengan suara lembutnya. "Tau sendiri kan yang aku dampingi itu bukan arsitek atau pemain bola seperti kalian berdua," imbuhnya menunjuk Revi dan Laras bergantian.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Station
RomanceBagi Gendhis stasiun bukan hanya sekedar tempat untuk menunggu rentetan gerbong besi yang akan mengantarkannya. Stasiun menjadi tempat untuknya menuju sebuah rasa yang menjadi obat. Stasiun bukan hanya tentang kereta untuk Auriga. Stasiun menjadi se...