"Aaaargh!"
Sophie dan Alan seketika berteriak kaget. Soalnya tiba-tiba banget dan dalam keadaan sedang tenang Michika menggeram sambil memukul pahanya sendiri.
"Lo kenapa sih? Nggak jelas banget, sumpah!" Sophie langsung menyemprot Michika sambil menabok paha temannya itu. Ia yang duduk di sebelahnya, jelas yang paling terkena dampaknya.
"Beneran mabuk kecubung kayaknya tuh orang deh." Michika malah berbicara sendiri. Mengabaikan pertanyaan Sophie juga tatapan Alan di spion atas.
"Chik, gue anter lo ke rumah sakit aja ya?" Alan bersuara.
"Hah?" baru Michika menyahut.
"Soalnya lo kayak orang sakit jiwa, Chik!" Sophie menyerobot.
"Idih, apaan sih? Gue baik-baik aja kali. Udah-udah, cepetan kita ke She-Ya..."
"Ya lo pikir dari tadi Alan nyetir itu tujuannya ke mana? London?"
Alan hanya geleng-geleng sambil kembali fokus menyetir. Mengantar Michika ke kantor She-Ya yang mungkin untuk terakhir kali.
Michika langsung diam. Kepalanya makin berisik memikirkan ucapan Oisin beberapa saat lalu. Sampai-sampai ia tidak sadar berteriak seperti orang gila di depan kedua temannya. Michika menatap satu per satu teman-temannya sembari menimbang, apakah ia harus menceritakan soal Oisin yang aneh atau tidak.
Jangan sekarang deh. Michika putuskan untuk menceritakannya sekarang.
Mobil berhenti karena telah sampai tujuan. Michika pun segera keluar untuk bertemu dengan tim digital marketing, tim legal, dan Sheila sekaligus untuk terakhir kalinya, sesuai dengan undangan Sheila.
Dalam pertemuan itu, mereka membahas kontrak Michika yang diakhiri secara sepihak dari pihak Michika. Saat itu, Sheila dan tim legal She-Ya sempat mencoba bernegoisasi dengan tim legal yang menangani kontrak Michika. Namun tidak berhasil. Kesepakatan tidak terwujud. Sehingga kerugian yang dialami oleh She-Ya akibat pemutusan sepihak itu, mau tidak mau harus ditanggung oleh pihak Michika yang langsung disetujui oleh tim legal yang menanganinya tanpa tawar menawar. Kasarannya, berapa pun biayanya, akan disanggupi.
Hal ini menandakan bahwa akhirnya Michika telah bebas dari tugas serta tanggung jawabnya sebagai brand ambassador She-Ya.
Michika merasa lega, karena hal yang ia mau akhirnya bisa terwujud. Tapi saat ia melihat wajah-wajah tim digital marketing yang selama ini bekerja sama dengannya, membuatnya merasa sesak. Michika menggigit bibir bawah menyaksikan wajah mereka yang tampak kusut, bingung, kecewa, marah, dan lelah.
Sebelum melihat mereka, Michika telah dibutakan oleh emosi dalam dirinya. Rasa marah, kecewa, sedih, serta sakit yang ia rasakan akibat kebohongan yang dilakukan Chava dan Oisin, membuat dirinya mengambil keputusan tanpa berpikir panjang. Michika belum sadar jika keputusannya akan menyusahkan orang-orang yang selama ini bekerja sama dengannya. Dan inilah hari di mana akhirnya Michika menyadarinya.
Merasa bersalah, tentu saja. Tapi Michika tidak begitu menyesali keputusannya. Sebab rasa sakitnya terlampau perih. Ia sendiri tidak yakin jika ia terus melanjutkan pekerjaannya, apakah bisa tetap profesional? Atau malah hanya menimbulkan masalah lain? Karena itu, Michika meyakinkan dirinya sendiri bahwa keputusan yang telah ia ambil adalah keputusan yang tepat meski harus mengorbankan beberapa pihak.
"Kak Nindy, Kak Nada, Kak Afit, maaf... Maafin gue harus berhenti dengan cara seperti ini." di hadapan orang-orang yang pernah bekerja sama dengannya, Michika membungkukkan badannya 90 derajat. Memohon maaf sebesar-besarnya dan setulus-tulusnya.
"Chik, kenapa sih harus kayak gini? Kenapa nggak lo pertimbangin lagi sih?" Nindy ingin menangis rasanya. Padahal ia sudah merasa senang dan sreg bisa bekerja bersama Michika.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Girl I Met That Day
Teen FictionBagi Oisin, Jaiko sudah seperti sosok pahlawan karena telah menyelamatkannya dari perundungan yang selalu ia alami semasa SD. Sayangnya, pertemuannya dengan Jaiko hari itu, sekaligus menjadi hari terakhir mereka bertemu. Meski semasa SMP Oisin sudah...