Sama seperti cerita yang Oisin bagikan kepada Michika sebelumnya, mereka berdua sama-sama pernah menjadi korban bully sewaktu kecil karena alasan yang tidak masuk akal. Michika juga menambahkan alasannya pindah sekolah karena pem-bully-an itu. Meski Michika kecil terlihat kuat dan berani, tapi jika di rumah ia sering menangis. Khususnya jika sedang bercermin atau saat sedang menimbang berat badan. Apalagi semakin besar ia tumbuh, semakin ia sadar jika ia berbeda dari teman-temannya yang langsing atau kurus.
Perundungan terparah yang pernah ia alami adalah saat berhari-hari bekal makan siangnya disembunyikan oleh teman-teman sekelasnya, bahkan pernah beberapa kali sengaja dibuang di depan Michika. Alasannya, biar Michika tidak usah makan agar kurus.
Gara-gara itu, Michika jadi tidak pernah makan siang di sekolah. Alhasil, Michika jatuh sakit. Typus hingga berminggu-minggu. Berat badannya pun turun drastis. Dan sejak saat itu, badan Michika mulai kurus.
Entah ini musibah atau anugrah, Michika tidak terlalu menyesali sakitnya itu. Karena semenjak itu, akhirnya ia memperoleh tubuh yang tidak membuat orang lain merundungnya lagi. Alih-alih dirundung, di masa SMP-nya, ia malah dipuji-puji cantik oleh teman seangkatan bahkan kakak-kakak kelas. Ia pun menjadi siswa populer dan jadi banyak incaran cowok.
"Dan lo ketemu Krio waktu itu?" sela Oisin.
Michika mengangguk. "Untung ada Krio. Kalo Krio nggak ada, mungkin gue masih jadi rebutan sampe sekarang."
Oisin mendecih. Pacarnya ini kenapa narsis sekali sih.
"Terus lo pindah dari SMP itu? Kenapa? Bukannya lo nggak di-bully lagi?"
"Itu karena Papa ada dinas di Bali, lama. Makanya gue sama Mishka pindah sekolah. Terus balik lagi ke Jakarta pas kelas 11. Ketemu sama lo, tapi baru ada interaksi pas kelas 12. Itu pun interaksi awalnya jelek banget. Baru deh, pacaran beberapa hari lalu. Kalo dipikir-pikir, nggak nyangka juga ya, gue bisa pacaran sama lo. Cowok nyeremin, nyebelin, tukang maksa, tukang mengintimidasi, dan bekasan orang." Michika menyangga dagunya dengan satu tangan sambil memperhatikan lekat cowok yang duduk di hadapannya.
Oisin stay cool, masih di posisinya yang bersandar di sandaran kursi membalas tatapan gadis itu. "Lo juga bekasan orang."
"Tapi kan gue sama Krio cuma pacaran pura-pura. Nggak beneran."
"Mau pura-pura apa nggak, gue nggak percaya Krio nggak pernah ngapa-ngapain lo."
"Tanya aja. Megang tangan gue aja nggak pernah."
"Masa?"
"Lo sendiri sama mantan lo udah ngapain aja, coba?"
Oisin memajukan tubuh. Ikut menyangga dagu dengan dua punggung tangan dan tanpa kedip menatap kedua mata Michika, "Lo yakin pengen tau?"
Michika terkesiap sekaligus membelalakkan mata. Nafasnya pun tertahan. Kadang ada hal-hal yang baiknya tak ia tau. Ia pun segera menarik punggungnya hingga kembali menegak. "Ih, ngomongin apaan sih? Nggak seru, ah!"
"Lo duluan yang kepo."
"Yang bawa-bawa Krio duluan siapa coba?"
"Ya udah. Gue. Puas lo?"
"Eh, eh, itu Michika bukan sih?" seorang cewek yang baru saja menduduki tempat duduk di samping tempat Michika dan Oisin duduk di dalam café ini bertanya pada teman ceweknya yang datang bertiga bersama dirinya. Meski suaranya kecil, namun Michika dan Oisin masih bisa mendengarnya.
"Eh, iya loh. Itu Michika. BA-nya She-Ya." Sahut cewek lain, sebut saja si A.
"Bukannya dia pacaran sama Raksaka ya?" pertanyaan ini dilontarkan oleh si B.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Girl I Met That Day
Teen FictionBagi Oisin, Jaiko sudah seperti sosok pahlawan karena telah menyelamatkannya dari perundungan yang selalu ia alami semasa SD. Sayangnya, pertemuannya dengan Jaiko hari itu, sekaligus menjadi hari terakhir mereka bertemu. Meski semasa SMP Oisin sudah...