Hari Kamis.
Hari ini terasa begitu berat bagi Michika. Pun hari-hari ke depannya. Karena mau bagaimana pun, ia masih bersekolah di SMA yang sama dengan Oisin. Orang yang tidak ingin ia temui lagi setelah ia mengetahui semua rahasia busuk yang telah menyakiti hatinya bertubi-tubi. Tak hanya tidak ingin bertemu, Michika sudah tidak mau lagi berhubungan dalam bentuk apa pun dengan laki-laki itu.
Cut off!
Michika sudah memutuskannya. Michika sudah menentukannya. Dan Michika akan melakukannya mulai saat ini. Jika Michika merasa itu tidak mudah, maka Michika akan kembali mengingat rasa sakit yang sudah ia rasakan akibat dari perbuatan orang itu.
"Pagi, Kak Chika!" salah seorang adik kelas yang berpapasan dengannya, menyapanya dengan riang.
Michika hanya balas dengan anggukkan kepala singkat. Tanpa menoleh. Apalagi senyum.
Adik kelas itu jelas terkejut. Sebab tidak biasanya Michika seperti ini. Biasanya tuh, meski tidak kenal, Michika akan membalasnya minimal dengan senyum singkat.
"Hai, Chik!"
Begitu pula sapaan dari teman seangkatan. Michika respon dengan cara yang sama. Tentu saja, teman seangkatan beda kelasnya itu juga terkejut. Kok Michika jadi begini?
Beda sikap, beda pula penampilan Michika. Michika tuh tipikal cewek yang begitu memperhatikan penampilan. Apalagi untuk urusan rambut. Rambutnya yang sepunggung dan lurus alami itu selalu tersisir rapi. Baik ketika digerai atau diikat. Tapi sekarang, rambut Michika terlihat berantakan. Michika mengucir rambutnya asal-asalan, seperti orang yang hendak mandi. Ini merupakan pertama kalinya Michika tampil seperti itu di sekolah. Makanya tidak heran jika ia menjadi bahan perhatian sekaligus bahan perbincangan.
"Chik, ngaku deh. Lo pasti lagi kenapa-kenapa lagi kan? Soalnya sikap lo tuh udah beda sejak kita anterin lo pulang dari She-Ya kemaren lusa." Di antara orang lain, Sophie paling tau dengan perbedaan sikap Michika. Pertama, Michika langsung minta diantar Alan pulang setelah meeting di kantor She-Ya. Selama perjalanan pulang, Michika tidak bersuara sama sekali. Kedua, seharian kemarin Michika nyaris tak bicara sama sekali. Hal itu membuat Sophie bergidik ngeri. Sebab baru pernah ia melihat Michika seperti ini. Karena terlalu ngeri, makanya kemarin Sophie sampai tidak berani bertanya. Puncaknya ya hari ini. Akhirnya Sophie memberanikan diri untuk melontarkan apa yang ia pendam pada Michika dua hari ini.
"Ada apa sebenernya, Chik? Kita mau dengerin lo cerita loh." berbeda dari Sophie yang terkesan memaksa, Alan terdengar lebih kalem dan hangat. Seperti biasanya.
Michika yang duduk di tempat duduknya, menatap kedua temannya satu per satu. Dari kemarin lusa, kemudian kejadian kemarin, Michika memang belum menceritakannya pada kedua temannya. Bukannya tidak akan ia beritahu, Michika hanya belum mau menceritakannya. Pada kedua temannya ini atau pada Marinka yang semalam menyambut kepulangannya bersama Oisin di teras. Sampai saat ini, Michika masih syok, masih sakit hati, dan masih berusaha dengan susah payah untuk menerima kenyataan pahit itu.
Satu alis Sophie terangkat, "Oh. Kayaknya gue tau nih. Sin lagi?" Sebagai teman yang sudah pernah Michika ceritakan tentang perasaannya terhadap Oisin, Sophie sudah bisa langsung menebak.
"Sin kenapa lagi?" sahut Alan cepat. Wajahnya mendadak tegang.
Baru mendengar nama itu saja, hati Michika langsung perih.
Melihat reaksi Michika, Sophie makin yakin bahwa tebakannya tepat. Ia pun langsung berdecak. "Gimana sih? Bukannya lo sama Raksaka?"
"Hah?" Michika mengangkat wajah, menatap wajah Sophie.
"Lo kan udah ketemuan tuh, waktu itu sama Raksaka. Dan lo pernah bilang tinggal nunggu jadian aja sama dia di depan Sin sendiri."
Mulut Michika langsung terkatup. Ia sendiri sudah melupakan moment itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Girl I Met That Day
Fiksi RemajaBagi Oisin, Jaiko sudah seperti sosok pahlawan karena telah menyelamatkannya dari perundungan yang selalu ia alami semasa SD. Sayangnya, pertemuannya dengan Jaiko hari itu, sekaligus menjadi hari terakhir mereka bertemu. Meski semasa SMP Oisin sudah...