Alibi : Adikku Ulang Tahun Minggu Depan

6.2K 470 10
                                    

Nora berjalan ke kelas -lebih tepatnya melayang sebenarnya-. Ia tak bisa merasakan kakinya menapak lantai, pikirannya menerawang jauh entah ke mana. Sejak ia melihat malaikat di loker tadi pagi, ia pikir ia telah masuk surga. Nora tak bisa menahan senyumnya sejak itu. Ya Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi dengan dirinya? Apa ia sudah gila? Kata orang cinta memang bisa membuat seseorang menjadi gila.

Itulah tepatnya yang mungkin terjadi pada dirinya, yang menjadi akar dari semua yang terjadi pada dirinya saat ini. Ia tak memperhatikan satupun hal yang diajarkan para guru hari ini di kelas. Pandangan matanya terus tertuju ke bangku di dekat jendela, tempat Siska duduk. Well, tentu saja bukan Siska yang diamatinya. Nggak perlu dijelaskan lebih jauh lagi kan?

Ya, dia. Sang bidadari dengan bubble bun dan kacamata superbesar berbingkai tebal. Ia kelihatan seperti nerd. Tapi dia nerd yang sangat cantik tentu saja. Ia terlalu cantik untuk jadi nerd, dan tentu saja tak akan ada yang berani mem-bully nya di sekolah ini karena, yah... dia pemilik sekolah. Pemilik yayasan, dan mungkin pemilik bumi tempatnya berpijak, dan udara yang dihirupnya. Ups, dua yang terakhir itu milik Tuhan. Hehe

Back to the line!!!

Ia mengamati bagaimana Nona Abraham itu tersenyum, berbisik pelan pada Siska tentang suatu hal, mendengarkan dengan seksama setiap perkataan guru, bagaimana matanya melebar saat mendengar suatu cerita yang menurutnya mengagumkan, dan tawanya yang lepas dan tulus pada suatu cerita yang mungkin saja lucu yang telah diceritakan oleh Siska.

Nona Abraham ini juga sangat baik hati. Ia bercerita kalau ia habis tugas dari luar kota minggu lalu, dan ia membawakan miniatur kapal pinisi untuk semua murid di kelas. Juga ekstra gantungan kunci kapal Pinisi dan tugu selamat datang untuk Siska. Yah, mungkin itu pesanan Siska, atau ia berinisiatif memberikan gantungan kunci itu. Mengetahui hal itu, entah mengapa menimbulkan suatu perasaan yang tak menyenangkan di dalam hati Nora.

Cemburu.

Yah, mungkin kata itu bisa digunakan. Tapi cemburu akan apa? Karena ia juga membelikan Siska gantungan kunci, sedang dirinya hanya mendapatkan miniatur pinisi? Karena dari semua teman sekelasnya, hanya Siska yang diberinya gantungan kunci? Siska kan teman sebangkunya, sudah pasti ia berbeda dengam yang lainnya. Lagipula itu hanya gantungan kunci, duh...

'Dia hanya teman sebangkunya, Nou. Jangan terlalu dipikirkan.' kata Nora kepada dirinya sendiri. Ia bahkan menggeleng dan menepuk pelan kepalanya agar pikiran itu masuk lebih dalam dan menggantikan pikiran tak masuk akal yang akhir-akhir ini mendiami otaknya.

Nora masih saja berusaha lebih memperhatikan guru, dan berkonsentrasi keras hingga keringat dingin sebesar biji jagung menghiasi dahinya -#oke, yang ini lebay. Tolong dicoret-.

Sampai tak disadarinya, bel istirahat telah berbunyi. Ia baru menyadarinya saat Indah menarik lengannya untuk segera pergi ke kantin sebelum antrian terlalu panjang dan meja terlalu penuh.

Nora memutar matanya, seakan mereka akan kehabisan meja saja. Mereka telah mengklaim satu meja di bawah pohon maple di halaman belakang sekolah sejak hari pertama mereka bersekolah. Jadi tak akan ada seorangpun yang berani menempatinya. Mereka pun berjalan beriringan menuju kantin dan segera ikut mengantre.

"Oh, Sis!! Kapan-kapan kau harus ikut kalau aku pergi lagi ke sana." pekik salah satu suara yang cukup dikenal Nora. Suara itu seketika mengirimkan gelenyar rindu aneh yang harusnya tak dirasakannya pada seseorang yang baru saja ditemuinya. Suara itu juga mengirimkan pikiran aneh akan dirinya yang duduk berseberangan dengan si empunya suara, dan mengobrol berjam-jam tentang hal remeh yang mungkin tak perlu dibicarakan.

"Asalkan saat itu libur sekolah." ujar Siska dengan suar datarnya. Bahkan tanpa melihat, Nora bisa tahu kalau Siska memutar matanya sekarang. "Aku tak punya hak khusus sepertimu, Val."

VALERIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang