Valerie Gemma Evangeline Abraham

2.6K 261 36
                                    

Aku tak tahu apa yang kutulis ini. Tapi kuharap kalian menikmatinya.

C

---

Bau desinfektan sangat kental terasa di udara yang kuhirup, terasa seperti api ringan yang masuk perlahan ke paru-paruku tanpa bisa kucegah. Menyengat alveoli dan membakar setiap alveolus. Tenggorokanku tercekat, ingin rasanya aku pergi dari sini. Pergi menuju udara segar di luar sana, ke pegunungan, kemanapun tempat yang tak memiliki bau desinfektan yang membakar ini. Aku butuh udara segar.

Nafasku menjadi tak beraturan mengingat betapa mendesak kebutuhanku akan udara segar ini. Aku ingin beranjak dan berlari dari tempat ini, tapi tubuhku membeku. Aku tak bisa bergerak. Kutatap telapak tangan yang ada di pangkuanku. Mereka bergetar, mereka dipenuhi lumuran darah. Tangan siapa itu, siapa yang terluka, siapa pemilik darah itu?

Aku terus saja menatap telapak tangan yang gemetar itu hingga sepasang tangan meraihnya dan membersihkan darah yang mengering itu dengan tisu basah. Aku menelusuri si pemilik tangan dan mendapati wajah seorang gadis dengan wajah yang terlihat familier sedang berkonsentrasi melihat tangan yang sedang dibersihkannya.

"Kau harus mengganti bajumu juga." ujar gadis itu. Aku tak mengerti dengan siapa ia bicara hingga ia mendongak dan menatapku. Tatapannya terlihat datar. Tidakkah ia merasa kasihan padaku yang seperti ini?

Aku yang tak berdaya. Duduk diam dengan tubuh gemetar dan berlumuran darah. Aku bahkan tak memiliki tenaga untuk pergi dari tempat itu hanya sekedar untuk melegakan paru-paruku. Menyedihkan.

Dan saat aku masih saja diam, gadis itu menarik tanganku hingga aku mau tak mau berdiri dan mengikutinya ke kamar mandi. Ia melucuti pakaianku dalam diam dan menggantinya dengan pakaian yang ia bawa. Hal selanjutnya yang aku tahu, kini aku kembali duduk di bangku berhadapan dengan bangku di sisi lain lorong.

Aku yakin bangku itu kosong saat aku tadi meninggalkannya, tapi kini dihadapanku duduk seorang pria paruh baya yang terlihat khawatir dengan wajah yang pucat, bajunya kusut, rambutnya berantakan seperti baru saja dipaksa bangun tidur dan langsung menuju kemari. Disampingnya ada wanita muda yang tak lebih rapi dari pria itu, namun masih terlihat anggun.

Aku seperti mengenali mereka, namun aku tak bisa memastikannya. Otakku seakan membeku dan terbakar hangus menghitam. Mungkin efek dari desinfektan yang kuhirup tadi. Gadis yang tadi membantuku membersihkan diri dan mengganti pakaianku kini duduk disamping pria itu. Mereka berbicara tentang sesuatu dengan berbisik hingga aku tak bisa mendengar dengan jelas apa yang sedang mereka bicarakan. Sesekali sepasang gadis dan pria asing dihadapanku itu melihat ke arahku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan.

Tak lama setelah gadis tadi selesai berbicara kedua orang asing yang sepertinya kukenal itu kembali menatapku. Aku tak bisa membalas tatapan mereka, aku tak tahu harus memasang raut wajah seperti apa. Akhirnya aku hanya bisa menunduk dan kembali menatap sepasang tangan asing yang ada di atas pangkuanku.

Tangan itu terlihat pucat ketika kini ia bersih dari darah. Jemarinya runcing, lentik, dan gemetar. Aku mencoba menggerakkan jariku, dan jari di pangkuanku itu bergerak. Aku mencoba menggerakkannya lagi demikian juga tangan di pangkuanku itu melakukan hal yang sama. Kutangkupkan kedua tanganku demikian juga tangan dipangkuanku itu melakukan hal yang sama.

Aku mencoba mengingat kembali mengapa aku berada di sini. Aku tahu ini rumah sakit. Bau desinfektan yang menyengat, lalu semua yang terlihat begitu putih dan terang. Lantainya begitu licin, aku bertaruh jika aku sedikit menundukkan kepalaku aku bisa melihat cerminan diriku disana.

Aku melihat sekeliling dengan bingung. Kenapa aku disini? Jam berapa sekarang?

Kulirik jam di pergelangan tanganku. Waktu menunjukkan pukul 6:30. Aku tak tahu ini pagi hari atau petang karena tak ada jendela di lorong tempatku duduk.

VALERIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang