The Ending

3.7K 195 13
                                    

Oke. Aku hanya ingin ini semua cepat berakhir dan memulai hal baru lagi.

C out

——

Tes.. Tess... Tetesan air turun dari langit, mengenai kepala Val. Ia menengadahkan kepalanya untuk melihat apakah benar tetesan air hujan atau bisa jadi ini sebenarnya pipis burung. Siapa tahu si burung sedang melakukan aksi pipis masal. Ya, nggak?

Tapi, ternyata memang benar air hujan. Langit terlihat gelap mendung menggelayut, ia terlihat kepayahan menanggung beban awan gelap yang bergulung-gulung. Kilat terlihat sesekali menyambar, seakan mereka bersiap untuk maju bertempur, menyerbu bumi dengan seluruh kekuatan yang mereka punya.

Mungkin Langit murka, karena Bumi telah melakukan kesalahan yang tak bisa dimaafkan oleh langit. Mungkin Langit murka, karena Bumi telah mengingkari janji mereka. Mungkin langit murka, karena Bumi telah mengkhianatinya. Mungkin langit murka, karena Bumi telah membawa pergi cintanya.

Membawa pergi cinta Val.

Val melihatnya, begitu menawan di dalam kotak dengan tutup kaca. Ia terlihat tenang, matanya terpejam, bibirnya menyunggingkan senyum kecil. Mungkin ia sedang bermimpi indah di dalam tidurnya. Karena ia terlihat sangat nyaman berada di dalam sana, ia terlihat begitu damai dan rileks berbaring di dalamnya. Seperti putri salju yang terbaring, tertidur damai, dengan sabar menanti sang pangeran cinta sejatinya datang dan membangunkannya dengan ciuman tanda cinta sejati yang tulus.

Tapi, apa dia tak merasa kesepian? Pasti rasanya sunyi sekali di dalam sana. Val saja tak akan bisa tidur jika terlalu sunyi. Ia akan menyalakan TV sepanjang malam dan mengelilingi tubuhnya dengan banyak bantal hanya untuk merasakan seakan ada seseorang yang tidur bersamanya.

"Mungkin kita harus menambahkan banyak bantal di sekelilingnya." bisik suara lirih.

"Ia cukup nyaman di sana. Tak perlu menambahkan bantal ataupun selimut." balas suara pelan disampingnya. Val tak tahu bagaimana bisa suata itu tahu apa yang dipikirkannya sampai ia sadar, ia tadi menyuarakan pikirannya.

"Apa ia tak merasa kesepian di sana? Sepertinya sunyi sekali di sana. Mungkin kita harus membawakan iPodnya. Aku tak mau ia merasa kesepian."

"Ia tak akan merasa kesepian. Ada Bagas di sampingnya." suara di sebelahnya kini terdengar serak dan bergetar.

"Ya, benar ada Bagas." Val mengerling pada peti lain di sebelah peti yang sedang ia amati. "Ia harus menjaganya baik-baik, atau aku akan menghampiri dan membunuhnya." Val terkekeh pelan, dan tersenyum.

Isakan disampingnya semakin keras. "Ayo, kita harus pergi." sebuah tangan merangkul pundak Val dan membimbingnya menjauh.

"Tidak. Aku ingin disini bersamanya. Ia tak suka ditinggal sendiri." Val berusaha melepaskan genggaman di lengannya.

"Kita harus pergi sekarang." ujarnya menuntut, menarik Val lebih erat.

"Tidak. Dia akan di sini sendiri. Dia tidak suka sendiri. Dia akan ketakutan." Val masih berusaha meronta dari pelukan yang semakin erat.

"Ayolah Val, dia sudah mati. Kau harus sadar itu!" teriaknya frustasi. Val melihat wajahnya dengan bingung. Siapa yang sudah mati? Wajahnya terlihat terpukul, sakit hati, pipinya penuh dengan air mata, matanya merah dan bengkak.

"Siapa yang mati?" tanya Val bingung.

"Dia, Val. Nora. Kau harus menyadarinya."

"Tidak..." bisik Val bingung. Nora ada di depannya, sedang tertidur di dalam peti kaca aneh penuh dengan bunga. "Lihat, dia sedang tidur di sana." kutunjuk Nora di depanku, apa dia tak melihatnya?

VALERIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang