Longass Prolog

22.8K 803 52
                                    

Tes.. Tess... Tetesan air turun dari langit, mengenai kepalaku. Aku menengadahkan kepalaku untuk melihat apakah benar tetesan air hujan atau bisa jadi ini sebenarnya pipis burung. Siapa tahu si burung sedang melakukan aksi pipis masal. Ya, nggak?

Tapi, ternyata memang benar air hujan. Langit terlihat gelap mendung menggelayut, ia terlihat kepayahan menanggung beban awan gelap yang bergulung-gulung. Kilat terlihat sesekali menyambar, seakan mereka bersiap untuk maju bertempur, menyerbu bumi dengan seluruh kekuatan yang mereka punya.

Mungkin Langit murka, karena Bumi telah melakukan kesalahan yang tak bisa dimaafkan oleh langit. Mungkin Langit murka, karena Bumi telah mengingkari janji mereka. Mungkin langit murka, karena Bumi telah mengkhianatinya. Mungkin langit murka, karena Bumi telah membawa pergi cintanya.

Membawa pergi cintaku.

Kulihat dia, begitu menawan di dalam kotak dengan tutup kaca. Ia terlihat tenang, matanya terpejam, bibirnya menyunggingkan senyum kecil. Mungkin ia sedang bermimpi indah di dalam tidurnya. Karena ia terlihat sangat nyaman berada di dalam sana, ia terlihat begitu damai dan rileks berbaring di dalamnya. Seperti putri salju yang terbaring, tertidur damai, dengan sabar menanti sang pangeran cinta sejatinya datang dan membangunkannya dengan ciuman tanda cinta sejati yang tulus.

Tapi, apa dia tak merasa kesepian? Pasti rasanya sunyi sekali di dalam sana. Aku saja tak akan bisa tidur jika terlalu sunyi. Aku akan menyalakan TV sepanjang malam dan mengelilingi tubuhku dengan banyak bantal hanya untuk merasakan seakan ada seseorang yang tidur bersamaku.

"Mungkin kita harus menambahkan banyak bantal di sekelilingnya." bisik suara lirih.

"Ia cukup nyaman di sana. Tak perlu menambahkan bantal ataupun selimut." balas suara pelan disampingku. Aku tak tahu bagaimana bisa ia tahu apa yang kupikirkan sampai aku sadar, aku tadi menyuarakan pikiranku.

"Apa ia tak merasa kesepian di sana? Sepertinya sunyi sekali di sana. Mungkin kita harus membawakan iPodnya. Aku tak mau ia merasa kesepian."

"Ia tak akan merasa kesepian. Ada Bagas di sampingnya." suara di sebelahku kini terdengar serak dan bergetar.

"Ya, benar ada Bagas." aku mengerling pada peti lain di sebelah peti yang sedang kuamati. "Ia harus menjaganya baik-baik, atau aku akan menghampiri dan membunuhnya." aku terkekeh pelan, dan tersenyum.

Isakan disampingku semakin keras. "Ayo, kita harus pergi." sebuah tangan merangkul pundakku dan membimbingku menjauh.

"Tidak. Aku ingin disini bersamanya. Ia tak suka ditinggal sendiri." aku berusaha melepaskan genggamannya di lenganku.

"Kita harus pergi sekarang." ujarnya menuntut, menarikku lebih erat.

"Tidak. Dia akan di sini sendiri. Dia tidak suka sendiri. Dia akan ketakutan." aku masih berusaha meronta dari pelukannya yang semakin erat.

"Ayolah Val, dia sudah mati. Kau harus sadar itu!" teriaknya frustasi. Kulihat wajahnya dengan bingung. Siapa yang sudah mati? Wajahnya terlihat terpukul, sakit hati, pipinya penuh dengan air mata, matanya merah dan bengkak.

"Siapa yang mati?" tanyaku bingung.

"Dia, Val. Nora. Kau harus menyadarinya."

"Tidak..." bisikku bingung. Nora ada di depanku, sedang tertidur di dalam peti kaca aneh penuh dengan bunga. "Lihat, dia sedang tidur di sana." kutunjuk Nora di depanku, apa dia tak melihatnya?

"Val, dia tidak tidur. She's fucking dead!! Tidakkah kau lihat dia terbaring di peti mati? Kita di pemakaman, Val. Dia mati karena kecelakaan bersama Bagas!!" ia berteriak, kembali menangis, air matanya mengalir deras di pipinya. Ia menunjuk peti mati di depan mereka berusaha membuka mataku lebih lebar untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.

VALERIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang