Pandangan Hitam terfokus pada satu titik, memperhatikan dengan seksama laptop yang ada di depannya. Beberapa menit yang lalu Rizal baru saja mengirimkannya desain yang di inginkan kostumer mereka untuk proyek kali ini. Sebagai seorang Room Designer, tentunya Hitam di wajibkan untuk memiliki kreatifitas yang mumpuni. Apalagi kantor yang dibangunnya bersama Rizal merupakan kantor baru dan sedang mencari-cari para pengguna jasa mereka untuk menjadi pelanggan tetap. Jadi Hitam harus bekerja dengan maksimal jika tidak ingin para kostumer baru mereka kecewa.
“Ini letak AC nya memang disini?” Tanya Hitam tanpa mengalihkan perhatiannya kepada Rizal yang juga fokus ke laptop miliknya.
“Nah, itu yang jadi masalahnya sekarang. Gue udah kasih tau seharusnya letak AC jangan hadap-hadapan sama jendela, tapi mereka tetep mau letak ACnya disana. Biar nilai estetikanya nggak berkurang, gitu.”
Hitam mengangguk, “Kalau mereka maunya begitu yaudah, kita kan nurut aja.” Ucapnya yang di balas dengan anggukan Rizal. Ia menyesap sedikit kopi hitam miliknya yang sudah mulai dingin, sambil memejamkan matanya sesaat menikmati rasa familiar yang memenuhi mulutnya.
“Jadi ini udah fix ya? Gue mau kirim desainnya dulu ke mereka, kalau udah oke berarti tugas selanjutnya tanggung jawab tim Prima.”
“Tim Prima udah di kasih tau kan sebelumnya?”
“Udah, tenang aja. Oh iya, untuk minggu depan kita dapet tawaran untuk nge-desain kamar. Lo tau kan, Pak Zendra Presiden Direkturnya PT. Angkasa Tunggal?” Hitam mengangguk setelahnya Rizal melanjutkan, “nah anak tunggalnya Pak Zendra itu yang kamarnya bakalan kita desain ulang, ini permintaan langsung dari Pak Zendra.”
Mendengarnya, Hitam mengerutkan keningnya. “Kenapa Pak Zendra ngasih kepercayaan ini ke kita? Bukannya dengan kekayaannya, beliau bisa aja kan minta perusahaan lain yang jauh lebih besar dan jam terbangnya lebih banyak disbanding perusahaan kita?”
“Nah, gue juga tanya begitu sama Pak Zendra.”
“Terus Pak Zendra jawab apa?”
“Katanya sih udah ada beberapa perusahaan lain yang dia kasih kepercayaan untuk proyek ini, tapi desain semua perusahaan itu selalu di tolak sama anaknya Pak Zendra itu.” Jelas Rizal. “Yang jadi tantangan kita sekarang itu bukan gimana caranya untuk buat desain yang bagus doang, tapi desain yang sesuai selera anaknya Pak Zendra yang katanya cukup unik.”
“Unik gimana?”
Rizal mengangkat kedua bahunya. “Pokoknya unik deh, nggak ada desainer yang bisa kasih desain sesuai sama anaknya Pak Zendra. Semuanya langsung kena tolak.”
“Kalau perusahaan lain yang jauh lebih besar aja bisa kena tolak, kenapa lo yakin kalo perusahaan kita bakal bisa dapet proyek ini?”
“Karena anaknya Pak Zendra itu cewek, masih kelas 2 SMA.”
Seakan tahu kemana arah tujuan pembicaraan ini, Hitam memberikan tatapan membunuhnya kepada Rizal. “Nggak! Gue nggak mau!” Tolak laki-laki itu seakan sudah mengetahui rencana licik apa yang berlarian di otak Rizal.
Rizal memasang wajah memelas ─yang sebenarnya tidak menyentuh hati Hitam sedikitpun. “Please, cuma lo yang bisa karena gue udah out of market.”
“Kapan sih otak lo itu bisa mikir yang baek, hal-hal kriminal mulu perasaan. Pokoknya gue nggak mau ngikutin permainan lo.”
Bahu Rizal merosot seiring dengan penolakan mutlak yang diberikan Hitam. “Gagal deh dapet proyek ratusan juta.” Gumam Rizal.
Mendengar kata ratusan juta membuat telinga khusus uang ─yang hanya dimiliki oleh Hitam─ langsung bangun dari hibernasinya. “Emang Pak Zendra bayar berapa sampai lo bersikeras gini untuk dapetin proyek itu?”
Sudut-sudut bibir Rizal terangkat, tahu betul bahwa uang adalah hal yang sensitif bagi Hitam. Laki-laki itu tahu bagaimana Hitam begitu mencintai uang. Dan rasanya jika dia mengetahui berapa tawaran yang diberikan oleh Pak Zendra, Rizal yakin Hitam akan dengan senang hati melakukan segala cara untuk mendapatkan proyek itu.
“Nggak banyak kok, gue tau lo nggak bakalan tertarik.” Gumam Rizal sambil memperhatikan ujung-ujung kuku tangannya. “Untuk desainnya aja dia cuma nawarin 300 juta, terus untuk hasil akhirnya dia bakalan ngasih bonus lagi. Udahlah, gue tau kalo─”
“300 juta untuk desainnya aja?” Hitam langsung memotong kata-kata Rizal, bukannya merasa kesal tetapi Rizal malah menampakkan senyuman kemenangan. Pancingannya berhasil, dan sebentar lagi mereka akan mendapatkan proyek ini. “Tai lo! Kenapa nggak ngomong dari tadi sih? Uang 300 juta cuma untuk desain kamar anak abege bisa dicari kemana lagi coba, bangke lo uang 300 juta lo bilang ‘cuma’.”
“Jadi, udah deal nih?” Rizal menaikkan kedua alisnya bersamaan.
Hitam mendengus, tapi selanjutnya senyuman mempesona tercetak di wajahnya. “300 juta bro, deal.”
“Sekarang tugas lo itu tinggal deketin anaknya Pak Zendra untuk cari tau hal-hal kesukaannya, supaya kita lebih gampang untuk ngedesain kamarnya sesuai hal-hal kesukaannya dia.” Hitam mengangguk, rasanya tidak terlalu sulit jika mendekati anak abege. Wajahnya yang tampan sudah menjadi nilai lebih untuk rencana mereka. Syukur-syukur anaknya Pak Zendra cantik, biar bisa sekalian cuci mata. “Untuk informasi awal, dia sekolah di SMA Nusantara, kelas 11, namanya Marissa atau biasanya dipanggil Matcha.”
01 Maret 2016
KAMU SEDANG MEMBACA
Matcha Black Coffee
Teen FictionTHIS STORY CREATED AND WRITTEN BY ME ARE NOW ON 'PRIVATE'. TO READ AND ACCESS THIS STORY PLEASE FOLLOW ME FIRST OR MAYBE YOU SHOULD TO READ THE "PLEASE READ!" TO KNOW HOW TO READ THIS STORY. THANK YOU. SYNOPSIS ON FIRST CHAPTER. 28 FEBRUARI 2016