Udah semakin deket end ya semuanya. Gue udah fix bikin end di bab 40.
Dan maaf rabu kemarin gue nggak update karna gue lagi ada urusan pribadi. Dan seperti biasanya gue bakal double update di jumat varokah.
Dan info lainnya, gue lagi ngerjain video trailernya untuk MBC 😃
Nggak jago sih gue, mudah2an hasilnya bagus :"VHappy reading.
Gue barusan ketemu Matcha, nggak yakin sih soalnya dia udah beda banget.
Jantung Hitam melorot begitu saja ketika membaca sebuah pesan singkat dari Rizal. Tiba-tiba saja organ pernapasannya tidak bekerja dengan baik dan sedetik kemudian kembali bekerja sehingga jantungnya berdetak begitu kencang, darahnya di pompa dengan sangat cepat sehingga seluruh tubuhnya di buat meremang tidak berdaya.
Kenapa seolah alam berkonspirasi dengan takdir memisahkan dirinya dengan Matcha? Apa ini adalah karma yang baru saja menampakkan dirinya? Membanggakan diri bahwa kehadirannya benar-benar ada. Membuat Hitam kembali jatuh ke penyesalan yang sama. Penyesalan tanpa ujung.
Matanya terpejam, menahan diri untuk tidak memecahkan jendela kaca besar hotel tempatnya menginap. Dirinya baru saja tiba di hotel setelah mendarat di Melbourne, dan membaca pesan yang dikirimkan Rizal beberapa jam yang lalu membuatnya tidak bisa menahan emosi. Emosi sedih yang meraung, membuatnya ingin mengeluarkan sumpah serapah karena takdir yang mempermainkannya.
Kenapa seolah alam masih saja belum puas melihat kesakitannya selama ini? Bahkan kini takdir mempermainkannya, berkata seolah-olah sampai kapanpun dirinya tidak akan pernah menyecap kebahagiaan.
Ingin rasanya Hitam mencari penerbangan tercepat yang bisa membawanya kembali ke Indonesia. Tapi dia berada di Negara orang seperti ini bukan tanpa tujuan, dia memiliki tanggung jawab dari perusahaan yang harus diselesaikannya. Dan kalau dia benar-benar merealisasikan pemikirannya untuk kembali ke Indonesia sekarang juga, maka kredibilitasnya sebagai pemimpin perusahaan akan diragukan.
Tangannya terangkat, beranjak mengusap wajahnya searah penuh frustasi. Napasnya terdengar ketika ia memejamkan matanya dengan gigi yang bergemeletuk. Membuat siapa saja yang menyaksikannya akan berpikir seribu kali untuk mendekat. Hitam dalam mode berbahaya.
Akhirnya Hitam pasrah, memilih membersihkan dirinya di kamar mandi. Membiarkan permainan takdir membawanya ke hulu hidup tanpa ada perlawanan lagi.
***
Pukul 19.00 waktu setempat Hitam sudah berada di sebuah restoran tempat dirinya berjanji untuk makan malam bersama kliennya. Ia hanya menggunakan sebuah kemeja biru lembut dengan celana kain, tanpa repot-repot menggunakan setelan jas lengkap dengan dasinya. Penampilan biasa seperti itu membuat orang-orang tidak akan berpikir kalau laki-laki itu adalah seorang CEO perusahaan yang semakin berkembang pesat.
"Saya sangat tersanjung karena ternyata yang turun tangan langsung di proyek ini adalah anda, Pak Abyan."
Hitam tersenyum ramah, jenis senyuman bisnis. Dia dan dua orang perwakilan dari kliennya baru saja menyelesaikan makan malam mereka, dan hendak memulai membahas tentang kerja sama mereka.
"Saya hanya ingin memberikan yang terbaik kepada klien-klien saya." Jawabnya masih dengan jenis senyuman yang sama. Kalau saja Hitam tidak memikirkan tentang berapa besarnya proyek ini maka sungguh dirinya enggan untuk terus-terusan tersenyum seperti orang gila. Wajahnya sudah kram karena terus-terusan tersenyum, terkutuklah Rizal yang selalu mewanti-wanti dirinya tentang hal ini; besikaplah ramah di depan klien. Tapi demi Tuhan, apakah menunjukkan sikap ramah cukup dengan hanya dengan tersenyum?
Tidak adakah yang ingin mengerti bahwa keadaan hatinya kini sedang tidak ingin tersenyum?
Begitu berlawanan dengan wajahnya yang menampilkan senyuman, hatinya berontak, meminta untuk diizinkan dan di beri waktu untuk menangis histeris sambil menghancurkan apa saja yang ada disekitarnya.
"Prospek kedepannya sudah terlihat menguntungkan. Ada salah satu perusahaan di sini yang pemiliknya orang Indonesia asli sudah berniat untuk memakai jasa kita. Dia ingin membuka cabang baru di beberapa kota lagi dan tertarik untuk menggunakan jasa kita." Jelas salah satu dari dua orang itu. Ia menunjukkan layar laptopnya mengenai perusahaan yang akan menggunakan jasa mereka.
Hitam mengangguk puas, memperhatikan profil perusahaan yang di tunjukkan kepadanya. Sebuah perusahaan properti yang berfokus ke kelas atas, dan siapa yang menyangka perusahaan besar itu adalah milik orang Indonesia.
"Kapan tepatnya mereka akan mulai menggunakan jasa kita?" Tanyanya. Beralih ke dua orang di hadapannya. Kedua tangannya bertumpu di atas meja, dengan posisi penuh wibawa.
"Mungkin masih sekitar setahun kedepan," jawab perwakilan yang satunya. Dia kembali melanjutkan, "karena perusahaan mereka di beberapa kota masih dalam proses perizinan, setidaknya kita masih mempunyai banyak waktu untuk penetapan dan persiapan konsep."
"Seperti yang anda katakan sebelumnya, pemilik perusahaan itu adalah orang Indonesia. Apa di Indonesia dia juga memiliki perusahaan?"
Kedua laki-laki itu mengangguk. "Tentu saja, perusahaannya berpusat di Indonesia. Yang di sini baru berdiri selama kurang lebih dua tahun."
"Mungkin anda pernah mendengar nama PT. Angkasa Tunggal? Perusahaan ini adalah anak dari perusahaan besar itu."
Tentu saja Hitam pernah mendengar nama perusahaan itu. Nama perusahaan yang sudah sangat di kenal di Indonesia. Perusahaan properti yang entah kenapa tetap sukses meski sudah berdiri selama puluhan tahun. Jika kebanyakan perusahaan akan merasakan namanya pasang-surut, maka PT. Angkasa Tunggal adalah perusahaan yang selalu bertahan di posisinya. Tidak pernah terdengar kabar bahwa perusahaan itu mengalami masalah, tidak sekalipun. Perusahaan yang selalu bertahan dalam keadaan seperti apapun.
Mata Hitam mengedip, dan kepalanya mengangguk pelan. "Tentu saja, dulu sekali perusahaan saya waktu masih baru berdiri pernah bekerja untuk perusahaan itu. Lebih tepatnya bekerja untuk Pak Zendra selaku pemiliknya, beliau mempercayakan perusahaan saya untuk mendesain kamar putri tunggal—nya."
Hitam tercenung, kalimatnya selesai tanpa ia sadari. Ketika kata-katanya yang terdengar oleh telinganya sendiri di proses oleh kerja otaknya, otomatis dia menyadari satu hal. Menyadari bahwa sepertinya takdir sudah mulai bersahabat dengannya. Tanpa aba-aba bibirnya perlahan tertarik membentuk sebuah senyuman.
"Jadi perusahaan yang akan bekerja sama adalah anak dari PT. Angkasa Tunggal?" katanya bertanya, entah kepada dua orang di hadapannya atau kepada dirinya sendiri.
Namun tetap saja kedua laki-laki itu mengangguk. "Jadi selama ini mereka menetap di Melbourne?" bisiknya kepada diri sendiri.
"Kenapa Pak?"
Hitam menggeleng cepat, mengabaikan raut wajah kebingungan dari kliennya itu. "Apa masih ada yang harus di bahas? Karena saya tiba-tiba ada urusan mendadak."
Pertemuan itu berakhir setelah Hitam mendapatkan jawaban dari pertanyaannya tadi. Dua orang kliennya itu setuju untuk mengakhiri pertemuan mereka malam itu. Dan dengan langkah penuh semangat Hitam kembali menuju hotelnya, segera mengemasi barang bawaannya dan mencari tiket pesawat yang bisa membawanya kembali ke Indonesia secepatnya.
06 Mei 2016
KAMU SEDANG MEMBACA
Matcha Black Coffee
Teen FictionTHIS STORY CREATED AND WRITTEN BY ME ARE NOW ON 'PRIVATE'. TO READ AND ACCESS THIS STORY PLEASE FOLLOW ME FIRST OR MAYBE YOU SHOULD TO READ THE "PLEASE READ!" TO KNOW HOW TO READ THIS STORY. THANK YOU. SYNOPSIS ON FIRST CHAPTER. 28 FEBRUARI 2016