Di tengah jantungnya yang mulai bekerja tidak normal, Hitam menyesap kopi hitam yang baru saja diantarkan oleh salah seorang pelayan di rumah Matcha. Ia menyesap kopinya dengan Matcha yang duduk tepat disebelahnya. Pandangan gadis itu memperhatikan Hitam sepenuhnya.
Prima sudah kembali ke lantai atas untuk memulai memperhitungkan sekiranya furnitur apa saja yang akan ia desain dalam kamar gadis itu. Tentu saja sebelumnya Matcha sudah mengizinkan laki-laki itu masuk, sebelum kini dirinya dan Hitam berakhir berdua di ruang tamu.
"Jadi—ternyata kamu desainer yang di maksud Papa aku?" tanya Matcha begitu tenang, seolah tidak ada hal janggal di sini. Tidak menyadari fakta bahwa Hitam tengah mati-matian memikirkan kemungkinan-kemungkinan masalah yang akan menghampirinya beberapa menit lagi.
Bagaimana jika setelah mengetahui semuanya Matcha akan membatalkan pemakaian jasa perusahaannya dan meminta kembali uang 300 juta yang sudah diberikan oleh Pak Zendra?
Brengsek, nggak seharusnya gue mikirin itu sekarang.
Maksudnya, bagaimana jika setelah mengetahui semuanya maka Matcha akan sangat murka kepadanya, melaporkannya ke polisi dengan tuntutan atas perilaku tidak menyenangkan, atau mungkin atas tuntutan pemerasan?
Tidak, tidak, pemikiran negatifnya benar-benar berbahaya. Maksudnya, berhentilah mencemaskan hal-hal buruk yang belum tentu terjadi.
Pelan sekali Hitam mengangguk, yang kalau Matcha tidak benar-benar memakukan tatapannya kepada laki-laki itu maka sama sekali dia tidak akan menangkap pergerakkan kecil tersebut.
"Ya, bisa di bilang begitu."
"Jadi, itu alesan kamu tiba-tiba ngilang karna udah berhasil dapetin proyek ini?"
Detik itu juga Hitam menarik napas dalam. Dia tahu, tidak butuh waktu lama bagi Matcha untuk memahami semuanya. Bahkan kali ini gadis itu sudah dapat menyimpulkan segalanya menjadi hipotesis yang paling sempurna. Menarik garis besarnya dan mencekik leher Hitam karena telah berani-beraninya memanfaatkan dirinya.
"Sorry to say, tapi itu salah satu alesannya."
"Oh, masih ada alesan lain?" lagi-lagi suara Matcha yang begitu tenang menyesakkan dada Hitam. Seakan pasokan oksigen menghilang bersamaan dengan suara tenang Matcha yang menghujamnya.
"Ya," jawabnya lagi. "Tapi aku pikir kamu nggak perlu tahu apa itu alesan lainnya." Sambung Hitam, dia tahu, Matcha pasti akan menanyakan alasan lainnya yang ia maksud. Dan tentu saja dirinya tidak perlu menjabarkan secara jelas alasan-alasan apa saja itu.
"Apa cewek yang angkat telpon kamu waktu itu juga salah satu alesannya?" tembak Matcha tanpa basa-basi. Mengingatkan Hitam kepada kata-kata Rizal kemarin tentang istrinya yang mengangkat telpon dari Matcha.
Pun, rasanya menjelaskan yang sebenarnya kepada Matcha tidak ada gunanya bukan?
"Kata-kata aku sebelumnya udah jelas 'kan, aku nggak akan menjelaskan alasan lainnya." Dan detik itu juga Hitam menyesali nada bicaranya yang terdengar begitu dingin. Membuatnya yakin kalau Matcha akan semakin membencinya. Menyempurnakan kesalahannya dengan sekarang sikapnya seolah tak bersalah. Seolah-olah dia hanya baru saja menyenggol seorang gadis perawan, dan nyatanya senggolannya tanpa sengaja mengenai tepat di hati gadis perawan itu. Senggolan yang sukses membuat seorang gadis perawan menggalau selama beberapa minggu.
"Apa aku se−nggak−berharga itu untuk dapet penjelasan dari kamu?" suara gadis itu memelan, seiring dengan tatapannya yang berubah muram. Bohong besar kalau Matcha tidak merasa sakit hati akan semua yang terjadi. Tidak ada salahnya 'kan kalau dia ingin meminta penjelasan, sehingga dia tidak perlu terlihat seperti orang linglung.
Abu-abu, semuanya masih begitu buram di mata Matcha. Kalau memang benar Hitam mendekatinya hanya karena proyek ini maka memaafkan laki-laki itu bukanlah hal yang sulit. Mengenang kenangan mereka selama beberapa hari bersama secara tidak langsung menghilangkan rasa sakit hatinya karena telah dimanfaatkan.
Namun, jika salah satu alasan mengapa Hitam meninggalkannya karena ada gadis lain sepertinya tidak semudah itu memaafkannya. Meski awalnya mereka dekat karena niat Hitam yang salah, tapi apa kedekatan mereka selama beberapa hari itu tidak berarti apa-apa bagi Hitam?
"Cha—"
"Siapa cewek yang angkat telpon kamu waktu itu?"
"Cha please—"
"Kamu pikir setelah menghilang dua minggu, dan aku hampir putus asa untuk ngehubungin kamu gimana lagi, tiba-tiba sekalinya udah bisa terhubung malah cewek lain yang angkat telpon kamu." Matcha mengucapkannya dengan satu tarikan napas, membuatnya terengah-engah di akhir kalimat namun tetap kembali melanjutkan. "Apa kamu nggak pernah mikirin perasaan aku? Jadi kata-kata kamu sebelumnya itu apa? Sampah banget."
Cairan bening mulai memenuhi kelopak mata gadis itu. Dengan cepat ia mendongakkan kepalanya, menatap langit-langit dan berharap Hitam tidak menyadari bahwa dirinya sedang mati-matian menahan air matanya. Dia tidak ingin menangis, tidak di depan laki-laki itu. Awalnya dia tidak memikirkan lebih jauh gadis yang mengangkat teleponnya, terlebih tiba-tiba saja hari ini Hitam muncul dirumahnya. Jauh di dalam hatinya Matcha bertekad untuk melupakannya dan memulai semuanya dari awal, bersama Bian-nya. Bak kata pepatah, manusia hanya berencana dan Tuhan-lah yang menakdirkan. Semua harapan Matcha hancur lebur begitu saja, digantikan dengan kenyataan lainnya yang selama ini disembunyikan oleh laki-laki itu.
Dan ketika satu pertanyaan yang keluar dari mulut Hitam tanpa sadar menampar wajahnya di kedua sisi.
"Dan apa kamu pernah mikirin gimana perasaan aku pas kamu jadian sama Athar?"
"Aku punya alesan, Bian."
Hatinya menghangat ketika mendengar panggilan itu. Tidak terasa sudah berapa lama ia merindukan Matcha memanggilnya dengan nama itu. Tapi, sedikitpun tidak terpikirkan olehnya kalau ia kembali mendengarkan panggilan itu di situasi seperti ini. Di situasi yang mungkin saja akan menjadi pertemuan terakhir mereka.
Diamnya Hitam ikut membuatnya kehilangan kata-kata. Padahal masih banyak pertanyaan yang ingin dia dapatkan jawabannya. Saat ini juga, saat di mana mungkin ini adalah pertemuan terakhir mereka jika saja Matcha tidak mengambil sikap.
"Tapi, aku nggak mengharapkan alesan apapun dari kamu."
1,12k reads 😍😍😍
Omg omg omg, sebagai hadiahnya gue update hari ini heuheu
Jarang jarang kan gue update tiga hari beturut turut :"V
Dan buat siders yg malu malu, muncul atuh neng kang mbah mak bapak nek kek/? Sekedar vote doang gue rasa bukan hal yg susah kan ya? :")
Gue agak sedih pas liat viewers sama voters nya nggak seimbang ;-;
Daaaaaan buat yg udah sempetin untuk vote comment dan yg add ke reading list, gue kasih sejuta ciuman untuk kalian :*********
Juga buat chichi (gue lupa unamenya apa) thank you so much udah mau komen di setiap bab :*********
Gue rasa ini nb terpanjang bhaks, sekian dari kerbel tjantex sampai jumpa besok malam.Bab selanjutnya ada surprise loh, makanya jangan lupa vomment ya di bab ini dan bab lainnya juga wks
Byeeee
Xoxo
Youngkerbell03 April 2016
KAMU SEDANG MEMBACA
Matcha Black Coffee
Teen FictionTHIS STORY CREATED AND WRITTEN BY ME ARE NOW ON 'PRIVATE'. TO READ AND ACCESS THIS STORY PLEASE FOLLOW ME FIRST OR MAYBE YOU SHOULD TO READ THE "PLEASE READ!" TO KNOW HOW TO READ THIS STORY. THANK YOU. SYNOPSIS ON FIRST CHAPTER. 28 FEBRUARI 2016