20. Hitam

1.2K 162 7
                                    

Tarararam~ tarararam~
Sesuai janji eak eak eak *bukan suara bayi*
Kerbell kombek dengan suasana yang masih sama bapernya :"V semoga aja feel nya dapet karna gue lebih jago buat adegan mezyum dibanding adegan menguras air mata *canda gue* :")))
Selamat berbaper ria bersama matcha dan hitam
Cling *ngilang*

P.s
Selamat menikmati surprise yg gue janjiin kemarin *senyum mezyum*





Hanya itu. Selebihnya tidak ada dari mereka yang bersuara. Detik itu juga setetes air mata lolos dari mata Matcha. Ia segera mengalihkan tatapannya yang semula saling tatap dengan Hitam.


Apa laki-laki itu baru saja menolaknya? Menolak untuk memperbaiki keadaan di antara mereka?


"Please, jangan nangis." Bisik Hitam ditempatnya, ia memandangi Matcha yang terlihat bersusah payah meredam tangisannya. Air mata itu terus saja mengalir dipipi mulusnya. Membuat tangan Hitam gatal untuk menghapus air mata itu. Tapi jelas-jelas dirinya adalah penyebab jatuhnya air mata Matcha, apakah dia tidak terlihat munafik ketika ingin menjadi obat disaat kenyataan dirinyalah penyebab?


Langkah kaki yang terdengar dari arah tangga mengalihkan fokus mereka sesaat. Dengan sangat cepat Matcha menghapus air matanya. Memasang sikap biasa saja, seakan tidak ada yang terjadi. Hal kecil itu pun tak luput dari perhatian Hitam, ia masih memperhatikan gadis itu sebelum suara Prima menginterupsinya.


"Gue udah selesai nih, mau langsung pulang apa gimana?" jelas sekali Prima merasa tidak enak berada di sini. Aura tidak mengenakkan menguar dari kedua orang yang saling diam meski duduk bersebelahan. Perlu ribuan kali dia meyakinkan diri untuk turun ke bawah, meski pekerjaannya tidak menghabiskan waktu lebih dari tiga puluh menit. Dan rasanya berada tanpa tujuan di dalam kamar orang lain selama satu jam sudah cukup membuatnya jenuh.


Hitam mengangguk, mengusap kedua telapak tangannya ke atas lutut sebelum bangkit berdiri. "Ya udah, langsung balik aja yuk."


Ajakan itu kini hanya tinggal kata tak berarti ketika tiba-tiba Matcha sudah berdiri disebelahnya, tangan gadis itu mencengkeram lengannya begitu erat. Menandakan bahwa dia belum ingin Hitam pergi begitu saja. Setidaknya belum sampai dia merasa semuanya sudah selesai. Dan pemandangan itu cukup membuat Prima sadar diri untuk mengambil sikap.


"Err—gue balik pake taksi aja, lo bisa di sini dulu."


Hitam menatap Matcha yang hanya setinggi dagunya, gadis itu menundukkan kepalanya dalam-dalam. Kata-kata Prima ada benarnya, mungkin sebaiknya dia tinggal sedikit lebih lama. Mereka sama-sama tahu bahwa belum ada kata selesai dalam permasalahan mereka.


Kunci mobil Hitam lemparkan kepada Prima yang berjarak sekitar lima langkah darinya. Dengan sigap laki-laki itu menangkap kunci yang dilemparkan Hitam, lalu kemudian ia menatap Hitam bingung.


"Lo pake aja dulu, gue ntar gampang."


Dengan begitu Prima berlalu, tidak ingin berlama-lama berada di antara kedua orang yang sepertinya tengah dihadapi masalah super pelik.


Ternyata seorang Hitam bisa juga membuat seorang gadis menangis, dia kira Hitam adalah seorang gay karena selalu menempel kepada Rizal. Ugh!


Setelah Prima pergi, fokus Hitam kini kembali kepada gadis yang masih setia menggenggam lengannya. Setiap detik genggaman itu terasa semakin erat. Hingga akhirnya Hitam menghela napas dan melepaskan genggaman tangan Matcha dengan hati-hati. Tidak ingin membuat gadis itu beranggapan bahwa dirinya baru saja di tolak.


"Cha," wajah gadis itu ia bungkus dengan kedua tangannya. Menatap lurus ke matanya, bahkan dari jarak sedekat ini ia bisa melihat bulu mata gadis itu yang basah karena sisa-sisa air matanya. "Kamu bisa nangis juga?"


"Bian!" rengek Matcha, mencoba untuk melepaskan wajahnya dari tangan laki-laki itu.


Ini bukanlah saat yang tepat untuk membuat sebuah lelucon.


"Kamu jauh lebih cantik pas lagi senyum dan ketawa." Hiburnya, ibu jarinya mengusap kedua pipi gadis itu, menghilangkan jejak air mata  yang masih tersisa.


"Jangan bersikap manis kalo ujung-ujungnya kamu ngilang lagi."


"Siapa bilang aku ngilang?"


"Kamu lenyap di telan bumi, bukan cuman ngilang." Ucap Matcha begitu sarkasme, membuat sudut bibir Hitam sedikit tertarik.


Entah sudah untuk berapa kalinya Hitam menghela napas dalam-dalam. "Jadi—"


"I loved you, isn't enough for you to stay here?" Matcha menepati janjinya, janji untuk mengungkapkan perasaannya jika di beri kesempatan untuk bertemu dengan laki-laki itu. Dan tentu saja dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang sudah diberikan untuknya.


Gadis itu seakan tahu, makanya dia memohon agar Hitam tidak meninggalkannya. Meskipun dia sudah mengatakan perasaannya, tapi kebutaannya akan Hitam menjadi pembatas yang tidak bisa ia lewati. Sekalipun cinta ada bersamanya, tapi apa cintanya berbalas saja dia tidak tahu.


"Kalo Athar denger, dia bisa salah paham sama kamu."


Matcha menggeleng cepat. "Aku udah putus sama dia, nggak ada lagi yang namanya Athar. Sekarang cuman tentang aku dan kamu, tentang kita."


Fakta itu sedikit menggelitiki perut Hitam. Ternyata Matcha sudah putus dengan laki-laki itu, tapi tetap saja mereka tidak bisa bersama bukan? Kemungkinan-kemungkinan buruk yang berada diotaknya menjadi satu-satunya alasan kenapa mereka tidak bisa bersama. Kemungkinan buruk yang bahkan tidak pernah mampir di otak Matcha dan kemungkinan buruk yang belum pasti akan benar-benar terjadi.


"Kita adalah satu-satunya hal yang mustahil di sini, apa kamu masih belum sadar akan hal itu?"


"Kenapa?" tanya gadis itu. "Apa alasannya? Apa karena cewek itu?" pertanyaan mendesak dari Matcha sedikit menjengkelkan Hitam. Tidak ada gadis lain di sini, jika yang di maksud oleh Matcha adalah istri Rizal.


"Matcha," panggil Hitam begitu terdengar menenangkan. Mata gadis itu kini sudah mulai berkaca-kaca, takut kalau ternyata benar bahwa Hitam sudah memiliki gadis lain yang dicintainya. "Kalo kamu punya cinta sebagai alesan untuk 'kita', maka aku punya sejuta alesan kenapa seharusnya 'kita' nggak pernah ada."


Ia melangkah mundur, menepis tangan Hitam yang sedari tadi masih membingkai wajahnya. Jarak yang semakin terbentang meremukkan hati Hitam ketika gadis itu lagi-lagi menangis karenanya. Karena ketakutannya yang entah berarti apa, atau memang bahkan tidak berarti apa-apa.


"Kamu terlalu abu-abu di mata aku, Bian." Ucapnya dengan suara serak, bahkan isak tangisnya ikut menggores hati Hitam yang sudah remuk redam.


"Itulah kenapa nggak akan ada pernah 'kita' di sini," Hitam kembali mendekat, membawa gadis itu ke dalam dekapannya. Menghapuskan jarak yang sebelumnya terbentang di antara mereka dengan sebuah ciuman yang ia berikan di bibir gadis itu. Matcha memejamkan matanya, bersamaan dengan setetes baru air matanya yang jatuh. Ia membalas ciuman Hitam yang kini terasa asin karena air matanya sendiri.


Orang-orang selalu mengatakan bahwa ciuman pertama akan terasa begitu menakjubkan. Akan ada jutaan kupu-kupu menggelitik perut dan jantungmu akan melompat keluar dan tergeletak begitu saja di atas lantai. Tapi yang dirasakan Matcha tidak lebih dari kesakitan yang menyesakkan, dadanya memang sesak seolah alat pernapasannya menghilang ke planet Jupiter. Meninggalkannya yang kesulitan bernapas karena perpisahan yang berada di depan mata.


Jadi jenis cinta pertama apakah yang kini sedang ia rasakan? Waktu itu Hitam tidak ada menjelaskan tentang cinta pertama yang sesakit ini. Apa ini adalah; cinta yang sia-sia?


"Bian—"


"Kita akan selalu mustahil karena kamu sama sekali nggak mengenal aku."









End apa nggak nih? *gerak gerakin alis*

04 april 2016

Matcha Black CoffeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang