Kayaknya gue telat update sehari ya .-.a
Ya sebenernya kalo gue telat update karna males heuheu
Draftnya udah nyampe chapter 20 yang entah mau gue jadiin ending atau lanjutin dengan konflik baru lainnya.
Doain aja semoga otak gue kedepannya lancar dan jari gue rajin untuk ngetik :"V
Happy reading, jangan lupa vomment :***Sincerely,
Xoxo Youngkerbell"Rizal sumpah gue nggak mau tau, dalam waktu kurang dari sejam lagi ambeyen lo udah harus sembuh." Kata-kata Hitam yang begitu sadis dan tidak berkeperihitaman membuat Rizal yang sedang tergeletak lemah di atas sofa ruangannya memasang wajah nelangsa.
"Ngotak dong lo kalo ngomong." Sumpah serapah Rizal yang bahkan dalam keadaan sekarat masih bisa nyolot. Apa dia tidak takut kalau tiba-tiba saja Hitam kalap dan membunuhnya dengan menghantamkan odner super tebal yang tengah dipegangnya. "Lo kira gue juga mau nahan sakit macem sakaratul maut gini?"
Dengan kasar Hitam mengusap rambutnya. Begitu frustasi karena penyakit tak tahu diri Rizal harus kambuh di saat yang tidak tepat. Satu jam dari sekarang tepatnya pukul dua siang nanti beberapa perwakilan dari perusahaannya harus memantau langsung proyek yang mereka tangani. Berhubung salah seorang desainer harus hadir untuk profesionalitas, disanalah seharusnya Rizal berguna. Bukan bermaksud untuk melalaikan tugasnya yang juga seorang desainer, tapi yang menjadi permasalahannya hari ini adalah hari untuk memantau proyek 300 jutanya. Proyek dimana dirinya diharuskan untuk mendesain kamar seorang anak konglomerat alias Matcha.
Dan sakitnya Rizal menghancurkan segalanya.
Awalnya dia sudah merasa tenang karena bisa mewakilkan Rizal sebagai desainer dari perusahaannya, tapi semuanya tiba-tiba saja jadi begini. Buruknya lagi memilih untuk menggantikan Rizal untuk kesana adalah satu-satunya alternatif. Bagaimana kalau Pak Zendra menilai kinerja mereka buruk hanya karena desainer yang seharusnya bertanggung jawab malah mangkir dan tidak hadir?
Baiklah. Inhale, exhale.
"Jadi ini gimana? Sumpah deh Jal, sakit lo itu nggak tau diri banget. Kambuh di saat nggak tempat, sadar sikon dong." Hitam mondar-mandir cemas.
Tidak bisa. Tidak bisa dirinya begitu saja menggantikan kehadiran Rizal di rumah gadis itu. Keberadaan Matcha dirumahnya sendiri memiliki persentasi skala 999 dari 1000.
Bukannya Hitam tidak ingin bertemu dengan gadis itu, hanya saja dia tidak bisa untuk saat ini. Meskipun rasanya dia benar-benar ingin melihat senyuman gadis itu. Rindu ini semakin menyiksanya.
"Icik amuh. Udah ah sana, gue yakin Matcha juga belum pulang dari sekolahnya kalo jam-jam segini."
Sama sekali kecemasan Hitam yang semakin menggunung tidak berkurang, bahkan setelah mendengar sedikit kata-kata penenang dari Rizal. Memang benar apa yang diucapkan oleh Rizal, biasanya jam bubar sekolahan Matcha antara jam empat sore dan paling cepat jam tiga sore.
"Lagian kenapa jadi secepet ini sih? Bukannya deadlinenya masih ada beberapa bulan lagi?" keluh Hitam mulai menyalahkan keadaan, bahkan bukan hanya keadaan, dia akan menyalahkan segala sesuatunya jika sudah terdesak seperti ini.
"Bawel banget Ya Allah jomblo yang satu ini." Kata-kata itu disambut dengan tatapan tajam menusuk yang diberikan oleh Hitam. Seandainya saja Rizal adalah seekor pacet tanpa tulang punggung maka tatapan Hitam adalah deterjen murahan yang dapat membuat Rizal menggelepar menjumpai maut. "Uangnya kan udah lo terima, jadi jangan lepas tanggung jawab gitu aja dong. Mau nggak mau lo harus bisa menuhin permintaan klien."
Rasa-rasanya Hitam tidak percaya kalau laki-laki yang tengah tergeletak didepannya ini tengah sekarat. Selain mukanya yang menggemaskan─mengenaskan, ralat─mulutnya yang bocor itu masih saja berkoar dengan semangat empat lima.
"Tapi─"
"Gue yakin kok lo pasti bisa." Kata-kata itu mengakhiri percakapan─atau mungkin perdebatan─mereka. Ditempatnya Rizal memilih menenggelamkan kepalanya ke bantal sofa. Rasa-rasanya dia ingin benar-benar tertidur sehingga rasa sakit yang ia alami diperutnya, karena menahan diri untuk tidak tertawa karena berhasil mengelabui Hitam dengan berpura-pura sakit. Siapa yang mengira bahwa Hitam akan percaya begitu saja dengan akting kacangan yang ia lakukan.
Pun dengan begitu Hitam berlalu dari ruangannya. Melangkah menuju kubikel milik Prima─ketua dari tim II yang bertugas untuk pengadaan properti yang telah disepakati dengan klien─dengan setengah hati.
***
Untuk pertama kalinya dalam hidup Hitam melihat langsung dengan mata kepalanya apa yang biasanya orang-orang sebut dengan istana. Jika biasanya rumah-rumah orang kaya identik dengan kata megah, berbeda kali ini ketika pertama kali mobilnya memasuki pelataran rumah Pak Zendra. Pilar-pilar besar yang menopang rumah itu adalah hal pertama yang menyambut kedatangan mereka. Bahkan kata megah masih terlalu sederhana untuk menggambarkan betapa luar biasanya rumah ini.
Rasanya Hitam juga tidak ingin membayangkan berapa banyak angka nol yang Pak Zendra habiskan untuk membangun istana ini.
Kemudian jantungnya berdetak kencang, air ludahnya terasa seperti duri kaktus yang menancap keseluruh tenggorokkan. Ini adalah rumah dimana gadis itu tinggal. Gadis yang bahkan setiap harinya memilih berangkat sekolah dengan angkutan umum ketimbang menggunakan salah satu dari mobil-mobil mewah yang tersusun rapi di dalam garasi.
"Langsung masuk aja, mas. Tadi Pak Zendra sudah memberitahu saya bahwa akan ada orang yang mendesain kamar nona muda akan datang." Seorang pria paruh baya─yang diasumsikan Hitam sebagai kepala pelayan di rumah itu─mempersilahkan mereka untuk masuk. Pintu jati besar dan tinggi itu terbuka, memperlihatkan keadaan ruang tamu yang juga tidak kalah mewah. Sebuah lampu kristal yang sangat indah menggantung tepat di langit-langit tengah ruangan. "Bisa langsung keatas aja Mas-nya, soalnya Pak Zendra nggak bisa menemani karena ada pekerjaan di luar kota."
Dengan begitu Hitam dan Prima berjalan menaiki tangga, setibanya diatas mereka di buat kebingungan karena tidak tahu di mana tepatnya kamar yang harus mereka masuki.
Hitam mendesah dramatis, dirinya terlalu tegang sehingga lupa menanyakan hal itu.
"Gue kebawah dulu deh ya, tanyain ke mas-mas yang tadi. Nggak enak kalo mesti buka pintunya satu-satu. Kurang sopan gitu."
Dan Hitam kembali melangkah menuruni satu persatu anak tangga. Tiba-tiba saja pintu depan terbuka lebar bertepatan dengan langkah kakinya yang berhenti di anak tangga terakhir. Ujung tangga yang berhadapan langsung dengan pintu depan membuatnya bisa melihat dengan jelas siapa orang yang membuka pintu itu.
Hingga kemudian jantungnya jatuh ke dasar perut ketika matanya menangkap seorang gadis dengan rambut bewarna hijau tengah berdiri di depan pintu. Gadis itu menunduk guna melepaskan sepatunya.
Tujuh detik kemudian barulah gadis itu mengangkat kepalanya. Mata hijaunya otomatis bertubrukan dengan mata hitam malam milik Hitam. Hal yang sama dirasakan gadis itu ketika melihat sosok Hitam di hadapannya.
Rasa tidak percaya mendominasi pikirannya, hingga tanpa sadar mereka membisikkan nama satu sama lain.
"Matcha."
"Bian?"
31 Maret 2016
KAMU SEDANG MEMBACA
Matcha Black Coffee
Teen FictionTHIS STORY CREATED AND WRITTEN BY ME ARE NOW ON 'PRIVATE'. TO READ AND ACCESS THIS STORY PLEASE FOLLOW ME FIRST OR MAYBE YOU SHOULD TO READ THE "PLEASE READ!" TO KNOW HOW TO READ THIS STORY. THANK YOU. SYNOPSIS ON FIRST CHAPTER. 28 FEBRUARI 2016