7. Matcha

2.2K 229 5
                                    

Matcha meminum es teh yang baru saja di bawakan oleh Kiran. Mereka tengah menghabiskan jam istirahat untuk makan di kantin, sama seperti siswa lainnya karena saat ini kantin terlihat sangat ramai. Ia mulai memakan mie goreng yang tadi di pesannya.

“Jadi, ada kemajuan apa nih sama si Bian-Bian itu.” Perempuan itu memandang Matcha sambil mengunyah sesendok ketoprak yang baru saja ia suapkan.

“Nggak ada kemajuan apa-apa.”

Kiran menghentikan kunyahannya, menatap Matcha semakin berniat. “Gue curiganya kalo Bian itu ternyata satu spesies sama Athar, tukang php.”

“Setidaknya Bian nggak alergi teh.”

“Tapi kan Bian pecinta kopi hitam, nah lo nya yang benci kopi hitam.” Matcha tidak lagi menjawab, perempuan itu malah memonyongkan bibirnya sambil memutar. Membenarkan apa yang di katakana oleh Kiran. Sebelumnya Matcha memang menceritakan apa saja yang ia lakukan bersama Hitam, tentu saja minus tentang ciuman di pipi yang ia berikan kepada Hitam kemarin.

“Tau ah gelap, bodo, Bian juga nggak nembak-nembak ini.” Matca mengaduk-aduk es teh nya dengan kencang hingga bunyi es batu yang beradu dengan gelas menjadi musik tersendiri di antara keramaian kantin.

Kiran memutar matanya kesal. “Please deh Cha, lo kenal sama Bian aja belum genap seminggu, ketemu juga baru dua kali.”

“Sayangnya gue bukan penganut idealisme ‘pedekate setahun, jadian belum sebulan udah putus’.”

“Maka dari itu, pedekate setahun aja belum tentu awet, apalagi pedekate sekedip mata.” Seloroh Kiran, ia menyangga kedua sikunya ke atas meja dan menautkan jemarinya satu sama lain.

“Tapi masalahnya gue itu belum tau apapun tentang Bian, makanya gue juga agak gimana gitu.” Ungkap Matcha, ia membasahi bibir bawahnya sebelum kembali melanjutkan kalimatnya. “Jujur, gue nggak tau apapun tentang Bian kecuali namanya.”

Mendengar pengakuan dari sahabatnya itu Kiran tersedak es teh yang sedang di minumnya. “Sumpah demi apa?” tanyanya hampir memekik, untung saja Kiran cepat sadar kalau mereka tengah berada di kantin, jadinya ia lebih bisa mengontrol suaranya. Matcha mengangguk, membenarkan kata-katanya. “Jadi lo pas jalan sama Bian ngapain aja?”

“Ngobrol, ya gitu gue juga nggak tau ─atau lupa gitu nanyain tentang dia. Perasaan setiap ngobrol dia mulu yang nanyain tentang gue.” Memang selalu seperti itu, setiap mereka ngobrol entah kenapa sepertinya dirinya menjadi topik yang paling sering dibicarakan. Entah tentang kesukaannya, atau tentang hal-hal kecil lainnya.

“Umur, umur deh minimal, lo tau kan umurnya berapa?”

Matcha menggeleng, memecahkan pertanyaan putus asa yang di tanyakan oleh Kiran. “Gue taunya dia doyan kopi hitam, udah mentok di situ doang.”

“Mampus aja lo, siapa yang tau kalo ternyata Bian itu salah satu agen yang nyulik cewek abege buat di jual ke luar negeri.” Ucap Kiran mendramatisir, membuat Matcha menatapnya datar seakan tak peduli dengan kata-kata luar biasa yang baru saja dikatakan oleh Kiran. “Eh tapi kalo agen-nya secakep Bian gue sih dengan senang hati, asal bisa bareng dia terus.”

“Tai banget lo emangnya─” kata-kata yang akan di ucapkan oleh Matcha tertahan di tenggorokannya karena matanya sudah lebih dulu menangkap keberadaan Athar. Laki-laki itu berdiri tepat di belakang Kiran, sehingga keberadaannya benar-benar terlihat jelas dari posisi Matcha.

Bahkan kini Kiran juga sudah memutar kepalanya, menatap kearah Athar yang masih terfokus menatap Matcha. Kedua pasang mata itu menatap ke satu arah.

“Bisa ngomong bentar Cha? Berdua aja.”

Matcha mengangguk, dengan begitu ia berdiri dan ikut bersama Athar. Kiran hanya mengangguk ketika sesaat Matcha melihatnya, membiarkan sahabatnya itu menyelesaikan permasalahan─entah memang bisa dikatakan bahwa mereka memiliki masalah atau tidak, karena sebenarnya masalah itu hanya berada di diri Matcha. Ah, dan tentu saja Athar bermasalah karena menyukai perempuan yang sangat menyukai teh disaat dirinya sendiri alergi terhadap minuman itu.

Athar menghentikan langkahnya ketika mereka tiba di ujung koridor kelas XI, dimana biasanya para siswa jarang berada disana, apalagi sekarang jam istirahat masih berlangsung. Di belakangnya, Matcha pun ikut berhenti. Ia berdiri di posisinya ketika Athar berbalik dan menatap kepadanya.

Quthni Athar Gauzan, tidak perlu bertanya apa dia siswa populer di sekolah karena sangat mudah di tebak. Segalanya terjawab dengan Clorinda ─iya si cewek cabe Barbados yang beberapa hari lalu di siram jus alpukat oleh Mathca─ yang merupakan tipikal perempuan keganjenan, perempuan yang senang mengejar laki-laki populer agar dirinya juga ikut populer.

Tentu saja Matcha juga tidak menampik bahwa ia juga tertarik kepada Athar. Laki-laki itu ganteng dengan caranya sendiri. Merupakan murid baik-baik tapi tidak seperti gambaran di novel-novel. Ganteng karena caranya memperlakukan seorang perempuan, selalu bertutur kata dengan sopan. Mungkin agak tidak cocok dengan Matcha yang apabila berbicara cenderung tidak memperhatikan kata-kata yang keluar dari mulutnya. Bahkan disaat marah Matcha bisa mengabsen keseluruhan isi kebun binatang, terkadang isi jamban ia bawa juga. Seandainya saja ada yang tahu bahwa dulu, ibunya Matcha adalah seorang finalis ajang kecantikan.

“Cha,” panggilan itu mengembalikan Matcha dari pikirannya, ia menatap Athar yang kini berdiri berhadapan dengannya dengan jarak sekitar satu meter. “Aku tau mungkin ini udah telat, tapi aku tetep mau bilang kalo aku suka kamu, kamu mau nggak jadi pacar aku?”

15 Maret 2016
Athar on mulmed :)))

Matcha Black CoffeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang