18. Hitam

1.3K 149 2
                                    

"Bian?"


Dan untuk pertama kali dalam hidupnya Hitam merasakan apa yang dinamakan dengan serangan jantung ringan. Meski sebelum benar-benar memutuskan untuk datang ke rumah ini dia sudah mempersiapkan dirinya kalau-kalau bertemu dengan Matcha, tapi ketika hal yang dihindarinya benar-benar terjadi, tetap saja rasa syok itu membuatnya sesak.


Hitam pikir, kebetulan seperti ini hanya akan terjadi di sinetron-sinetron saja.


Entah sejak kapan, sama sekali Hitam tidak menyadarinya. Gadis itu kini sudah berada di dalam pelukannya. Wangi teh hijau yang khas langsung saja menggelitik hidungnya, membuatnya menginginkan menghirup aroma itu lagi dan lagi. Tanpa canggung pun Hitam melakukan hal yang sama, ia melingkarkan lengannya di sekitar pinggang gadis itu. Mengeratkan pelukan mereka yang terasa seperti obat paling ampuh mengisi kehampaan yang selama beberapa minggu ini ia rasakan.


"Hai," bisiknya, posisi kepalanya yang tengah bertumpu pada bahu gadis itu membuatnya tidak perlu berbicara dengan suara yang besar. "Long time no see, my girl."


Matcha terkekeh mendengar panggilan baru yang diberikan oleh Hitam untuknya. "Kok nggak bilang mau ke rumah? Mau kasih surprise ya?" tanyanya tanpa melepas pelukan, ia begitu menyukai aroma sandalwood yang berasal dari tubuh Hitam.


Tapi apa Matcha masih mau memeluk laki-laki itu jika tahu apa surprise yang di bawa oleh Hitam sebenarnya?


Seandainya Matcha tahu, senyum kebahagiaan yang kini terpatri indah diwajahnya berbanding terbalik dengan wajah pias Hitam. Dia melupakan keberadaan Prima di lantai atas. Dan jika saja nanti tiba-tiba Prima turun maka semuanya akan terbongkar. Tentu saja Hitam tahu Matcha bukanlah gadis bodoh untuk mengerti situasi nantinya.


"Cha─"


"Hitam lo lama banget──Eh, gue ganggu ya?"


Suara bariton Prima bagaikan suara maut dari neraka bagi Hitam. Tubuh laki-laki itu membeku dan tidak sadar bahwa kini Matcha sudah melepas pelukan mereka, beralih menatap kepada laki-laki yang berdiri di ujung tangga bagian atas.


Hitam menarik napas dalam-dalam, apa sekarang semuanya akan terbongkar?


***


Mereka berdua diam, hal yang wajar sekiranya terjadi mengingat ini adalah pertemuan pertama mereka. Bukannya karena Matcha adalah gadis murahan sehingga begitu mudah untuk menerima ajakkan laki-laki yang kini duduk tepat dihadapannya, tapi entah kenapa gadis itu hanya merasa bahwa laki-laki ini bukanlah seseorang yang berbahaya. Saat pertama kali bersitatap, semuanya terjadi begitu saja, kepercayaan yang seharusnya tidak bisa begitu saja ia berikan kepada orang yang baru di kenal harus menjadi pengecualian terhadap laki-laki ini.


"Jadi—sampai kapan mau diem-dieman kayak gini?" inisiatif untuk memulai percakapan menghampiri Matcha, suara lembut dan jernihnya menggelitik di telinga laki-laki itu.


Laki-laki itu balas menatapnya, menimbulkan sedikit cubitan kecil tepat dijantungnya. Dan siapa yang menyangka, hati laki-laki yang bernama Hitam itu juga mengalami hal yang sama.


"Kamu nggak mau pesan dulu?"


Oh, sejak kapan seorang Abyan Hitam Mahanipuna menggunakan panggilan 'kamu' kepada lawan bicaranya?


Gadis itu menggeleng samar. "Ntar aja, masih ada hal yang pengen aku tanya dulu sama kamu." Dan begitu saja, mereka sama-sama menggunakan panggilan 'aku-kamu' terhadap satu sama lain.


"Aku bukan teroris kok, tenang aja." Ungkap Hitam begitu saja seolah sudah mengetahui hal pertama yang akan ditanyakan oleh gadis itu.


Sementaranya, kelopak mata Matcha berkedip beberapa kali. Mencoba menangkap kalimat laki-laki itu, apa dia baru saja mencoba untuk  mengatakan sebuah lelucon?


"Yakin banget emangnya aku pengen tanyain itu?" tanya Matcha akhirnya.


Seketika alis Hitam terangkat sebelah. "Emangnya bukan?"


"Siapa kamu dan kenapa kamu bisa tau nama aku jauh lebih penting daripada pertanyaan 'apa kamu seorang teroris?'"


Di dalam hati laki-laki itu membenarkan. Satu-satunya pertanyaan paling penting ketika ada seorang laki-laki asing mengajakmu untuk hang out di kafe adalah; siapa dan ada apa?


"Iya sih, tapi serius aku bukan orang berbahaya kok, sama sekali nggak punya niat jahat."


"Iya, aku tau. Muka kamu nggak ada tampang-tampang kriminalnya kok." Orang cakep pake banget gitu, yakali teroris atau penjahat kelamin. Sayang banget, muka cakep disia-siain.


"Kamu—" sedetik kemudian Hitam menundukkan kepalanya, laki-laki itu membekap mulut dengan sebelah tangan. Mencoba untuk meredam suara tawa yang seakan siap untuk meledak memenuhi seluruh ruangan. Untung saja dirinya masih memiliki rasa malu—meski kenyataannya lebih sering tidak memiliki rasa malu—.


"Kenapa?" tanya Matcha, dahinya menciptakan beberapa kerutan menandakan kebingungan yang melanda gadis itu. Pun, siapa yang tidak bingung jika tiba-tiba saja orang dihadapannya tertawa entah karena apa.


Refleks Matcha merapikan rambutnya, barangkali rambutnya terlihat berantakan dengan anak rambut yang mencuat sana-sini. Bahkan ia juga mengusap wajahnya beberapa kali, memastikan tidak ada benda aneh diwajahnya. Ah, apa mungkin wajahnya begitu kusam dan jelek sehingga laki-laki dihadapannya ini tertawa.


Apa menyesal karena tidak pernah berdandan kini bisa merubah segalanya? Tidak, tentu saja tidak.


Hitam mengibaskan tangannya, "nggak ada yang aneh kok di muka kamu, jadi nggak usah ngusap wajah kamu lagi." Kata laki-laki itu sedikit banyaknya mengurangi kekhawatiran Matcha akan wajahnya yang terlihat aneh.


"Terus, kenapa kamu ketawa ngakak gitu?"


"Kamu nggak sadar kalo barusan kamu ngucapin kata-kata apa?"


"Apa?" tanyanya. "Kata-kata apa emangnya?"


Saat itu juga Hitam tahu, kemungkinan besar gadis itu tidak sadar bahwa baru saja dia menyuarakan isi pikirannya. Dan hal itu benar-benar lucu dan menggemaskan di mata Hitam.


Kedatangan pelayan menghentikan interaksi mereka, interaksi yang terbilang progres mengingat ini adalah kali pertama mereka bertemu.


Rasa penasaran Matcha semakin meningkat karena sepertinya laki-laki dihadapannya ini termasuk tipe laki-laki yang misterius.


Apa tidak apa-apa jika Matcha tidak sedikitpun meletak rasa curiga? Maksudnya, di jaman seperti ini tidak baik begitu saja mempercayai seseorang yang baru di kenal—demi Tuhan, bahkan Matcha tidak mengenal laki-laki dihadapannya, bahkan namanya saja dia tidak tahu. Adakah hal yang lebih ceroboh dari ini?—karena wajah tidak menjadi jaminan apakah seseorang itu baik atau tidak.


Diam-diam, Matcha memperhatikan wajah laki-laki itu dengan seksama. Menelusurinya dan memperhatikan pipinya yang bergerak ketika laki-laki itu mengucapkan pesanannya kepada pelayan. Tidak ada hal yang bisa ia curigai, kecuali kemungkinan besar ini adalah wajah orang yang akan menemaninya di masa depan nanti dan—ewh!


"Jadi, kamu mau pesan apa?"





Selamat bermalam mingguan 😁

Xoxo
Youngkerbell
02 April 2016

Matcha Black CoffeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang