34. Hitam

1K 153 18
                                    

Double update .-.

Ohya, buku gue It's Grey bab 1 udh up. Coba mampir yuk, siapa tau tertarik :v

Jangan lupa vomment ya.

#hizalmomment


Dua tahun kemudian.


Rapat para pemegang saham yang biasa dilakukan sekali enam bulan baru saja selesai. Hitam selaku pemilik utama PT. Mahanipuna Design langsung meninggalkan ruangan rapat itu, kembali menuju ruangannya. Tanpa sedikitpun bercakap-cakap dengan para pemegang saham lainnya, berbanding terbalik dengan Rizal yang terpaksa harus berbincang-bincang dengan para pemegang saham. Karena mau bagaimanapun tidak mungkin dirinya meninggalkan para pemegang saham itu seperti yang dilakukan Hitam.


"Kok lo kayak eek sih maen ninggalin ruang rapat gitu aja?" sembur Rizal. Ia menoyor kepala Hitam dari belakang yang tengah berjalan didepannya. Kemudian laki-laki itu mempercepat beberapa langkah sehingga kini mereka berjalan bersisian. "Sesak boker ya?"


Hitam mendelik, tanpa diduga-duga menggeplak tengkuk Rizal. Membuat laki-laki itu terantuk ke dinding karena saking kuatnya geplakan yang diberikan Hitam.


"Makanya kalo ngomong di saring dulu." Jawab Hitam acuh, kembali melanjutkan jalannya dan meninggalkan Rizal yang masih bersandar mesra dengan dinding.


Dalam hatinya Rizal mengumpat dengan begitu keras, hanya dalam hati karena tidak berani mengumpat di depan bapak CEO yang satu itu alias Hitam. Perusahaan kecil mereka dulu kini sudah jauh berkembang. Membuat perusahaan mereka berdiri di jajaran perusahan-perusahan desain terbesar di Indonesia.


Karir mereka berdua melonjak. Hitam menjadi CEO dan Rizal menjadi COO, setingkat di bawah Hitam. Bukan karena Rizal merasa dirinya tidak pantas menjadi CEO melainkan menurutnya Hitam jauh lebih bisa menguasai jabatan itu. Sepertinya sama saja.


Seperti kebiasaannya dulu, Rizal memasuki ruangan Hitam tanpa perlu bersusah-susah untuk mengetuk pintu. Saat itu Hitam baru saja mendudukkan dirinya di kursi kebesarannya. Betapa Rizal mengakui bahwa laki-laki itu terlihat begitu berkharisma, dengan setelan jas lengkap dan duduk di kursi lambang kebesarannya.


"Minggu depan proyek Aussie, yang berangkat gue apa lo, mblo?"


Hitam menoleh, memperhatikan Rizal yang terlihat begitu tertarik dengan papan nama miliknya. "Gue aja."


Pun dengan begitu Rizal mengangkat kepalanya, menatap Hitam dengan kepalanya yang sedikit miring ke kanan. "Tumben," katanya. "Biasanya paling males kalo ada proyek ke luar negri."


"Setidaknya gue tau kalo Rizky lebih butuh papanya di banding perusahaan." Hitam menjawab, mengingat bahwa anak Rizal yang kini sudah berusia dua tahun. Usia yang akan sangat membutuhkan figur orang tua untuk membantu tumbuh kembangannya.


Laki-laki itu tidak lagi menjawab. Rizal memilih mengakhiri pembicaran mereka tapi tetap bertahan di ruangan Hitam. Begitupun dengan Hitam, dia memilih berkutat dengan laptop di atas meja. Memahami beberapa data yang baru saja masuk ke-emailnya.


Dua tahun sudah berlalu, dan sudah dua tahun pula Rizal berhadapan dengan Hitam yang berbeda. Laki-laki itu berubah, sikapnya jauh lebih tenang dan diam. Berbicara hanya seperlunya, bahkan sama sekali tidak berbicara dengan orang-orang yang tidak dikenalnya dengan baik.


Mungkin jika Rizal berada di posisi Hitam, dia juga akan bersedih. Setidaknya bersedih yang sepantasnya, kembali melanjutkan hidup karena mau bagaimanapun tiap individu memiliki tujuan hidupnya masing-masing. Terlepas dari permasalahan yang dihadapi.


Hidup akan tetap berjalan, tidak ingin tahu kalau hati terasa hancur karena di tinggal oleh orang-orang terkasih. Yang hidup tahu, jalani meski hati sudah tak berbentuk.


Tapi Hitam berbeda, dia memang masih menjalani kehidupannya. Namun semuanya berbeda. Semua berubah. Seperti kuku yang selalu tumbuh dan berganti, seperti usia yang semakin bertambah dan segera berakhir. Hitam tetap hidup, tapi dengan cara dan jalan yang berbeda.


Rizal menghela napas, menatap manik gelap didepannya yang tidak membalas. Dan tujuh detik berikutnya manik hitam itu terarah kepadanya. "Beberapa hari yang lalu gue ketemu Athar di Starbucks, gue tanya ke dia tentang keberadaan Matcha."


Posisi duduk Hitam otomatis langsung menegang, punggungnya tegak lurus dan benar-benar menanti kelanjutan kalimat Rizal. "Terus sekarang dia di mana?" desak Hitam karena laki-laki didepannya tak kunjung melanjutkan.


Bahu Rizal terangkat bersamaan dengan gelengan kecil yang menjatuhkan harapan Hitam ke palung laut yang terdalam. "Athar nggak mau kasih tau." Bahu Hitam merosot, bersamaan dengan redupnya kilatan cahaya harapan di manik kelamnya. "Dia cuman bilang kalo Matcha ada di tempat yang jauh, dan gue pikir mungkin aja Matcha lagi ada di luar negri."


"Lo tau di dunia ini ada 196 negara, dan gue harus datengin satu-persatu Negara-negara itu?" ujar Hitam sarkasme. Meciptakan kerut tidak terima di dahi Rizal.


"Lo abis makan lidah anjing? Nyalak ae," begitu mendengarnya, Hitam mendengus keras-keras dan kedua bola matanya memutar searah. "Lagian yang bener itu ada 195 negara, Taiwan nggak diakui sebagai Negara kalo lo tau."


Tangan Hitam bergerak, hendak menoyor kening Rizal yang hanya berjarak satu setengah meter dari posisinya. Sayangnya Rizal sudah terlebih dahulu mengambil ancang-ancang untuk menghindar. "Nilai sejarah lo nggak lebih tinggi dari gue, jadi jangan sok ngajarin."


Rizal mendelik tidak terima. "Setidaknya nilai kewarganegaraan gue jauh di atas lo."


"Jauh dari mana? Nilai lo cuman lebih tinggi 0,2 aja dari nilai gue. Songong banget."


"Setidaknya di atas 0,1 itu udah termasuk jauh." Jawab Rizal masih bersikeras. Sehingga Hitam memilih tidak lagi membalas kata-kata terakhir laki-laki itu.


Biarkanlah Rizal berbangga dengan satu-satunya nilai mata pelajarannya yang bisa melampaui nilai Hitam.


"Jadi intinya lo nggak dapet petunjuk apapun tentang keberadaan dia?"


"Gue dapet alamat emailnya yang baru." Ujar Rizal dengan cepat, mencegat niat Hitam yang ingin kembali tenggelam dengan data-data yang ditampilkan laptop didepannya. "Dan beberapa hari yang lalu gue ngirim email ke Matcha."


"Kenapa lo baru ngasih tau sekarang?" Hitam bertanya dengan sedikit emosi. Bagaimana bisa laki-laki dihadapannya ini melakukan hal itu? Bagaimanapun meski hanya sebuah alamat email, itu sudah menjadi petunjuk yang sangat berguna.


"Niatnya sih pengen bilang ke lo pas email gue udah di bales, tapi sampai sekarang email gue belum di bales-bales." Keningnya ia garuk, sedikit menyesal dengan isi email yang dia kirimkan kepada gadis itu. Kalau-kalau Hitam tahu tentang isi emailnya, bisa-bisa hari itu juga namanya akan berubah. Di tambah kata 'almarhum' didepannya.


Amit-amit jabang bayi.


"Emangnya lo kirim email apa ke dia?"


Dan Rizal membisu.


Papa sayang kamu, nak.

29 April 2016

Nggak berasa buku ini udah terbit dua bulan yg lalu 😂

Matcha Black CoffeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang