35. Matcha

1.1K 142 6
                                    

Gue nggak banyak omong, yg penting jangan lupa vomment seperti biasa.
Sumpah gue ngantuk banget dan lupa kalo ini jadwal update -_-
Bye.





Ada kelegaan di hati Matcha ketika membaca barisan huruf tersebut. Kelegaan yang entah kenapa tiba-tiba saja mencuat dari dasar hatinya yang terdalam. Menghadiahkannya sedikit gelenyar yang ia rindukan. Menjawab satu dari sekian banyak pertanyaan yang menggelayutinya, meski sudah dua tahun berlalu.


Sudah beberapa hari ini Matcha berulang-ulang membaca email tersebut. Takut-takut kalau ada kata yang ia salah baca dan pahami maksudnya. Tapi isinya tetap sama. Selalu berhasil membuat hati Matcha seperti baru saja mendapatkan napas pertamanya.


Tapi ketika mengingat bahwa itu hanya segelintir dari alasan yang dimiliki oleh laki-laki itu membuat Matcha bernapas dengan perasaan yang berat. Sudah sejak awal kepindahannya ke Aussie, dia memutuskan untuk mengubur dalam-dalam harapannya untuk laki-laki itu. Kembali menjalani hidup seperti sebelum dia mengenal laki-laki bermanik gelap tersebut.


Anehnya, meski kehidupannya masih saja terus berlanjut. Sebagian di hati kecilnya terasa hampa. Hidupnya masih berjalan hanya saja semuanya tidak sama lagi. Berbeda, berubah karena ia mencoba untuk melupakan seseorang yang sebelumnya sempat menguasai hati dan pikirannya.


Mungkin ada baiknya Matcha pergi menghibur diri. Kesibukan kuliahnya membuat gadis itu berpikiran semakin aneh.


"Emangnya aku harus ikut ya, Pa?" gadis itu lagi-lagi mempertanyakan hal yang sama. Menanyakan kembali apa dirinya harus ikut dengan Papanya, sedikit berharap dirinya mendapatkan opsi yang lain.


"Ya nggak harus sih, tapi kalo mau kamu ikut Papa." Jawab Zendra sambil membalik Koran paginya.


Matcha berpikir keras, apa dia memang harus menerima tawaran yang diberikan oleh Papanya. Masalahnya kalau Papanya mengajak ke tempat lain tentu saja Matcha tidak memiliki alasan untuk menolak, tapi mengingat bahwa Papanya mengajaknya untuk ke Indonesia, tentu saja Matcha harus benar-benar memikirkan hal tersebut. Dia tidak ingin mengambil keputusan yang salah.


"Emang mau ngapain sih Pa balik ke Indo? Bukannya kerjaan Papa di sini masih ada?" katanya lagi, mencari tameng agar Papanya tidak pergi dan tidak mengajaknya kembali ke Indonesia.


Zendra melepas perhatiannya dari Koran ditangannya, melipatnya ke bentuk semula lalu menatap kepada putri kesayangannya itu. "Kamu nggak lupa kan kalo kamu itu lahir di Indonesia?" kepala Matcha menggeleng, tentu saja dia ingat tentang hal itu. "Terus kenapa kok kayaknya kamu enggan banget untuk pulang ke Indonesia. Udah dua tahun loh, emangnya kamu nggak kangen suasana di Indo?"


Pertanyaan jenis apa itu? Pertanyaan persuasif yang secara halus membuat Matcha merubah pikirannya. Tentu saja dirinya merindukan Indonesia, meski tidak pernah benar-benar berbakti kepada bangsa, tetap saja dia mencintai tanah airnya.


"Kangen sih Pa, tapi kan—" Matcha menghela napasnya, lalu tiba-tiba dia mengangguk dan berkata, "yaudah deh, aku ikut."


Senyum kemenangan terbit di wajah Zendra. Bukan sekali dua kali ia membujuk putrinya itu untuk sekedar berkunjung ke Indonesia, tapi selalu saja usahanya berakhir dengan penolakkan. Bukannya Zendra tidak peka, dia tahu ada hal yang membuat anak tunggalnya itu begitu cepat menerima tawarannya untuk melanjutkan sekolah di sini. Dan dia yakin, hal yang sama pula-lah yang membuat Matcha terlihat begitu enggan untuk kembali atau sekedar berkunjung ke Indonesia. Tapi dirinya sama sekali tidak mengetahui hal apa itu.


"Kamu kalo ada masalah cerita aja sama Papa, jangan di pendam sendiri." Ucap Zendra tiba-tiba, menghentikan pergerakan Matcha yang tengah mengunyah—roti panggang dengan selai Matcha—sarapan paginya.


"Aku nggak ada masalah apa-apa kok, Pa." jawabnya menyembunyikan segalanya.


Zendra memilih tidak berkata lebih jauh. Mungkin jika sudah waktunya Matcha akan menceritakan segalanya kepada dirinya. Mau bagaimanpun, Matcha hanya memiliki dirinya sebagai keluarga. Dan, kemana lagi Matcha mengadu kalau bukan kepadanya?


***


Bandara Internasional Soekarno-Hatta.


Seperti biasa, Bandara selalu saja sibuk. Banyak orang yang berlalu-lalang sambil menarik koper atau bahkan sibuk dengan handphone. Berbicara layaknya sebagai orang paling sibuk sedunia, berjalan dengan begitu tergesa-gesa seolah kalau terlambat sedetik saja maka dia akan di eksekusi mati.


Sehabis mengambil kopernya, Matcha berjalan beriringan dengan Papanya. Berbeda dengan Matcha yang memilih berjalan santai sambil sesekali memperhatikan sekitar, Zendra terlihat sibuk dengan handphone ditangannya. Pria itu tengah mencoba untuk menghubungi sopir yang akan menjemput mereka di sana.


"Pa," panggil gadis itu, Zendra berbalik setelah mematikan sambungan teleponnya. "aku mau ke toilet dulu, Papa duluan aja, nanti aku nyusul."


Zendra mengangguk dan mereka berjalan ke arah yang berbeda. Masih dengan menarik kopernya, pandangan Matcha masih saja berkeliling. Melihati orang-orang yang berbeda-beda. Menyadari begitu banyaknya warga asing di sana. Meskipun sudah dua tahun hidup di Negara orang, dan setiap harinya bertemu dengan orang yang secara fisik berbeda dengannya, tetap saja bertemu dengan warga asing di Negara sendiri menjadi hal yang tidak familier baginya.


Setibanya di toilet, Matcha berdiri di depan cermin besar yang disediakan. Memperhatikan penampilannya yang sudah jauh berubah dengan penampilannya terakhir kali. Rambutnya sudah tidak lagi bewarna hijau, tidak hanya selalu menggunakan sesuatu yang bewarna hijau.


Matcha berubah, penampilannya, pembawaannya yang semakin dewasa. Semuanya berubah, kecuali hatinya.


Rambutnya ia bawa ke belakang telinga, semakin menampilkan figur wajahnya yang terlihat lebih dewasa.


Ia kembali melangkah, keluar meninggalkan toilet tadi sebelum langkahnya terinterupsi karena dering handphonenya. Matcha merogoh saku celananya, mengambil handphonenya dan menempelkan benda itu ketelinganya setelah menggeser tombol hijau terlebih dahulu.


"Iya Pa, ini udah jalan keluar." Gadis itu melanjutkan langkahnya, tangan kanan menarik koper dan tangan kiri yang memegang handphone. "Iya aku langsung keluar nggak kemana-mana lagi."



Dengan begitu panggilan yang berasal dari Papanya berakhir. Ia kembali memasukkan handphonenya ke dalam saku. Dan hal selanjutnya yang terjadi adalah kopernya yang tersangkut ketika dia berbelok ingin keluar dari toilet. Roda kopernya tersangkut di sebuah kaki tong sampah, berulang kali ia menarik-narik kopernya tapi tetap saja tidak ada hasilnya. Bahkan kini rambutnya yang sebelum ini ia selipkan ke belakang telinga harus kembali berjatuhan menutupi sebagian wajahnya. Membuat gadis itu mendengus kesal karenanya.


Bertepatan dengan itu seseorang yang baru saja keluar dari arah toilet laki-laki membantunya. Mengangkat sedikit kaki tong sampah tadi sehingga kini koper Matcha sudah tidak tersangkut lagi. Matcha berbalik dan mendapati seorang laki-laki dihadapannya. Ia tersenyum dan mengucapkan terimakasih sebelum akhirnya berlalu dari sana. Meninggalkan laki-laki tadi dengan kening yang berkerut, hampir tiga belas detik berlalu sebelum akhirnya laki-laki itu menepuk keningnya dan buru-buru menghubungi seseorang dengan handphonenya.


Laki-laki itu yakin, bahwa yang dilihatnya tadi adalah Matcha.



02 Mei 2016

Matcha Black CoffeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang