26. Hitam

1K 145 4
                                    

Sesuai janji ya, double update di jumat varoqah 😂

JANGAN LUPA VOMMENT YA SEPERTI BIASA, SETIDAKNYA KASIH FEEDBACK BIAR GUE TAU BUKU INI ADA YG SUKA APA NGGAK :"|




Tentu saja Hitam tahu, sejak awal ketika dirinya memutuskan untuk menjauhi Matcha adalah keputusan yang benar dan salah di saat yang bersamaan.


Benar karena memang sangat tidak mungkin mereka akan bersama. Terlalu banyak perbedaan dan meskipun Hitam sadar gadis itu tidak akan mempermasalahkan perbedaan yang ada di antara mereka, namun tetap saja, bagi Hitam dirinya tidak akan pernah bisa bersama dengan Matcha.


Bagian yang salah adalah ketika dia terlalu memberikan harapan kepada gadis itu. Malam di mana ia mengatakan perasaannya murni hanya kata-kata yang keluar tanpa ia pikirkan. Bukan berarti dia berbohong dan mengeluarkan kata-kata sampah seperti apa yang Matcha bilang, pernyataannya benar hanya saja tidak seharusnya dia mengucapkannya di depan Matcha. Tidak ketika suatu saat nanti dirinya harus menjauh dari gadis itu.


Bagaimanapun Hitam tidak ingin menyakiti gadis itu, meski semuanya kini sudah terlambat. Tapi apa boleh buat, toh hatinya juga merasakan sakit.


"Gimana perasaan kamu, udah lebih baik?" Lagi-lagi gadis itu menjadi yang pertama yang memulai pembicaraan di saat keheningan melingkupi.


Apa Hitam sepengecut ini? Sepertinya Matcha selalu mengambil langkah pertama dalam hubungan mereka, bukankah itu semua bagian Hitam?


Laki-laki itu mengangguk, sebelum menggumam, "thank's."


Matcha menatap ke arah Hitam sesaat, barulah kemudian dia melirik arloji yang melingkar dipergelangan kirinya. "Aku—harus pergi sekarang." Ucapnya sambil berdiri. Bukan karena memiliki janji lain makanya Matcha bergegas pergi dari sana, melainkan jika berlama-lama berduaan dengan laki-laki itu membuat luka tak berdarah dihatinya semakin parah.


"Aku anter ya?" tawar Hitam ikut berdiri, tangannya sudah menahan lengan gadis itu yang begitu tergesa-gesa meninggalkannya.


Dengan langkah yang terhenti Matcha menggeleng cepat, bahkan begitu cepat. Menghantarkan Hitam dalam kekecewaan.


"Aku bisa pulang sendiri." Dengan memaksakan sebuah senyuman, Matcha melepaskan lengannya yang di pegang oleh Hitam. Gadis itu tersenyum sekali lagi sebelum berlalu meninggalkan kantin rumah sakit itu.


Sepeninggal Matcha, Hitam hanya berdiam ditempatnya. Ia masih dalam posisi berdiri, menatap sosok Matcha yang semakin lama semakin menjauh dan menghilang di ujung lorong. Dia menghembuskan napasnya ketika menyadari betapa bodohnya ia saat ini. Jelas-jelas dirinya yang telah membuat gadis itu menjauh, tapi kini yang ia lakukan adalah mencoba untuk kembali menarik gadis itu.


Namun melihat sikap Matcha yang jelas-jelas enggan berlama-lama bersamanya membuat hatinya berdenyut sakit. Memang keinginannya agar gadis itu menjauh, namun ketika hal itu benar-benar terjadi entah kenapa hatinya berteriak tidak terima.


Wajar saja jika untuk kedepannya Matcha akan membencinya. Dia sudah menarik ulur gadis itu. Mengungkapkan perasaannya dan kemudian mendorong gadis itu sejauh-jauhnya. Menciptakan jarak yang kini ia sesali namun tidak bisa sama sekali diperbaiki lagi.


Untuk apa? Bukankah ini juga hal yang dia inginkan?


Hitam pengecut, terlalu takut merasakan kesakitan seperti dulu. Kesakitan di tolak dan ditinggalkan oleh orang yang ia sayangi.


Handphone dalam saku celananya bergetar. Ia merogoh dengan cepat dan melihat nama Rizal yang terpampang di id caller. Dengan sekali sentuh ia mengangkat panggilan Rizal.


"Mau sampai kapan lo di sana? Udah jam berapa nih, keburu klien kabur karna kita datengnya telat." Tanpa mengucapkan salam Rizal langsung memberondongi Hitam dengan pertanyaan-pertanyaan itu.


Pun kemudian Hitam melihat arlojinya yang sudah menunjuk angka 10. Pantas saja Rizal terdengar kesal karena setengah jam lagi mereka ada rapat dengan klien, dan sekarang dirinya masih berada di rumah sakit. Padahal materi yang seharusnya menjadi bahan rapat belum sama sekali ia kuasai.


"Gue udah otw, 15 menit lagi nyampe." Hitam berjalan cepat menuju parkiran. Ia memutuskan sambungannya tanpa menunggu jawaban dari Rizal.


Hari ini sebenarnya dia tidak berniat untuk datang ke rumah sakit, tapi dokter yang menangani bundanya tiba-tiba saja meneleponnya karena ada hal yang ingin dibicarakan olehnya. Jadi pagi-pagi sekali Hitam sudah datang memenuhi panggilan dokter itu.


Dokter mengatakan bahwa keadaan bundanya semakin memburuk. Imunitas tubuh bundanya melemah, sehingga penyakit yang di derita oleh bundanya semakin cepat berkembang. Entah kenapa bisa begitu padahal perawat sudah memberikan obat untuk memperkuat daya tahan agar keadaan bundanya tidak semakin memburuk. Tapi sepertinya Tuhan berkehendak sebaliknya.


Hitam menarik napas dalam-dalam. Begitu banyak hal yang memenuhi pikirannya akhir-akhir ini.


Lima belas menit kemudian Hitam tiba di depan gedung kantornya. Tepat seperti yang ia katakan di telepon, dan seperti dugaannya, Rizal sudah berkacak pinggang di depan pintu masuk. Tanpa menunggu persetujuan dari sang pemilik, tanpa sopan santun Rizal memasuki mobil Hitam dan duduk manis di kursi penumpang.


"Langsung cabut, jangan banyak bacot. Udah jam berapa nih?" perintahnya yang membuat Hitam geleng-geleng kepala. Dirinya diperlakukan seperti supir, dan lebih parahnya ini adalah mobilnya sendiri.


Sudah sejak lama dia tahu Rizal adalah seseorang yang tidak punya sopan santun, dan lebih parahnya lagi dia masih saja mau berteman dengan laki-laki itu.


"Bahan rapatnya udah lo bawa semua?"


Rizal mengacungkan jembol kanannya dan tangan kirinya menepuk-nepuk sebuah laptop yang berada di atas pangkuannya.


"Ngomong-ngomong, kemarin sore gue ngeliat Chloe di Starbucks."


Pandangan Hitam beralih sesaat dari jalanan ke laki-laki disebelahnya. "Terus, lo sapa?"


Laki-laki itu menggeleng. "Gue lagi sama bini gue, yang ada ntar gue di talak karna di sangka genit sama cewek lain."


"Gue tau kalo Kayla cinta mati sama lo, ngomong-ngomong lo dukunin di mana anak orang?" Hitam tergelak mendengar ucapannya sendiri. Padahal disebelahnya Rizal mendengus kencang.


"Meskipun sebelum kawin pernyataan cinta gue di tolak sebanyak 100 kali—"


"139 kali lebih tepatnya."


"Nggak usah di perjelas, tai ya kamu."


Lagi, Hitam tergelak. Sukses membuat wajah Rizal terlipat masam.


"Jadi, kenapa sama Chloe?" tanyanya lagi kembali ke topik pembicaraan awal.


"Gue ngeliat dia, pake seragam."


"Seragam?"


Rizal mengangguk. "Chloe pake seragam, seragam SMA Nusantara."


Tanpa di duga-duga Hitam menginjak rem mendadak. Tubuh Rizal sempat terlempar ke depan sebelum laki-laki itu dengan cepat melihat ke belakang. Takut-takut kalau ada kendaraan lain yang tidak siap dengan mobil mereka yang berhenti mendadak.


Rizal mengusap dadanya setelah tidak melihat kendaraan lain di belakang mereka. Sedetik kemudian dia menatap nyalang ke arah Hitam.


"Lo mau buat anak gue lahir tanpa ayah?" ucapnya berapi-api. Jantungnya seakan mau lepas karena syok. Napasnya tersengal seperti habis lari marathon puluhan kilometer.


"Chloe masih SMA?"


"Iya, Chloe masih SMA." Ucap Rizal mengulang kata-kata Hitam. "Dan yang lebih parahnya dia satu sekolah sama Matcha. Dan lo tau apa?" tanya Rizal menggantung kalimatnya. Dengan wajah yang masih syok Hitam menggeleng. "Mau sejauh apapun lo lari dari Matcha, tetep aja hidup lo bakalan berputar di sekitar cewek itu."




15 April 2016

Matcha Black CoffeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang