4. Hitam

2.2K 247 5
                                    

Mobil yang di kemudikan oleh Rizal bersama Hitam berhenti tepat di seberang gerbang masuk SMA Nusantara. Suasana sekolah masih sepi karena jam pelajaran masih berlangsung, masih ada sekitar lima belas menit lagi menjelang bel pulang berbunyi. Di dalam mobil, Hitam masih mencoba untuk memikirkan hal apa yang harus dia lakukan untuk mendapatkan perhatian dari anak Pak Zendra. Jika saja anak Pak Zendra seperti gadis remaja pada umumnya tentu saja Hitam tidak perlu sepusing ini, tapi seperti penjelasan Rizal, anak Pak Zendra sedikit unik. Dan masalahnya adalah Hitam belum bisa mendapatkan gambaran yang jelas dari ‘unik’ seperti yang di katakan Rizal. Apa mungkin ‘unik’ di sini adalah gadis itu memiliki kumis? Atau bisa jadi gadis itu seorang gadis berkacamata tebal dengan rambut yang di jalin serta kawat gigi. Bagaimana kalau ‘unik’ di sini karena gadis itu adalah seorang gadis nyentrik dengan tindik yang memenuhi wajahnya? Tapi rasanya kemungkinan yang terakhir tidak masuk akal, melihat sekolahnya yang merupakan salah satu sekolah terbaik di Jakarta, tidak mungkin ada murid nyentrik di sekolah elit seperti ini.

Hitam menghela napasnya, dan Rizal menyadari hal itu. “Nervous ciee.”

“Demi uang 300 juta gue pasti bisa.” Hitam melafalkan kalimat itu berulang kali, mencoba untuk mensugesti dirinya sendiri karena dia tidak bisa berharap banyak jika Rizal akan memberikannya dukungan moril. Rizal sendiri juga terkadang masih krisis jati diri dan krisis kepercayaan diri. Berharap banyak kepada Rizal sama saja seperti berharap bahwa Kendall Jenner akan menjadi jodohnya kelak. Tidak mungkin.

“Meskipun si Matcha-Matcha ini unik, gue yakin kok dia sama kayak cewek abege lainnya, doyan cowok cakep.” Ucap Rizal secara tidak langsung memuji laki-laki yang duduk di sebelahnya.

“Bentar deh, ‘unik’ yang lo maksud disini itu unik yang gimana sih?”

Bukannya menjawab, Rizal malah memainkan kedua alisnya menggoda Hitam. “Mending lo liat aja langsung biar tau gimana uniknya cewek ini.”

“Emangnya lo udah pernah ketemu sama cewek itu?” tanyanya.

Tawa Rizal berderai di ruang mobil yang cukup sempit itu. “Ya belumlah.” Jawabnya bersamaan dengan tangan Hitam melayang memberikan pukulan telak di kepala belakang laki-laki itu. Dia meringis tidak terima. “Pokoknya kata Pak Zendra anaknya unik, entar liat aja mana cewek yang paling unik dari semua siswa Nusantara.”

Hitam melengos dan melarikan pandangannya kearah sekolahan. Perlahan kerumunan siswa terlihat. Sepertinya bel pulang sekolah baru saja berbunyi, dan perlahan semua siswa mulai memenuhi area depan sekolahan. Rizal dan Hitam sama-sama memasang mata elangnya, mencari mana sekiranya dari siswa cewek yang terlihat ‘unik’. Sekitar lima menit kemudian mata elang yang di pasang kedua laki-laki itu tertuju pada seorang gadis yang menurut mereka ‘unik’.

“Lo liat nggak apa yang gue liat?” Hitam pertama kali yang membuka suara sambil tidak mengalihkan pandangannya dari gadis yang dianggapnya ‘unik’ itu.

Di sebelahnya Rizal mengangguk, sama-sama menyadari kehadiran gadis ‘unik’ itu. “Tapi gue agak sangsi kalo Pak Zendra punya anak yang modelnya begituan.”

“Tapi bodo ah, yang penting gue dapet 300 juta. Menderita sebentar sebanding lah sama 300 juta.” Dengan itu Hitam keluar dari mobil dan langsung menghampiri gadis ‘unik’ yang mereka asumsikan sebagai anak dari Pak Zendra.

Seperti yang sudah di duga, keberadaan Hitam menarik perhatian. Hampir seluruh pasang mata siswa yang berada disana ─khususnya yang perempuan─ menatapnya penuh minat. Penasaran bagaimana bisa seorang laki-laki super keren sepertinya bisa nyasar ke sekolahan mereka.

“Hai?” Suara terkesiap terdengar di sekitar ketika Hitam menyapa gadis ‘unik’ itu. Banyak yang tidak menyangka dan sebagian dari mereka bertanya-tanya kenapa Hitam malah menghampiri gadis itu.

Dari dalam mobil Rizal memperhatikan Hitam, rasanya dia masih belum yakin kalau gadis yang kini terlihat grogi yang berdiri di depan hitam adalah anak Pak Zendra. Tapi kemudian dia memilih angkat bahu bertepatan dengan matanya yang menangkap sesosok gadis lainnya yang lebih cocok di sandingkan dengan kata ‘unik’. Seakan tersadar dengan apa yang terjadi, Rizal langsung mengambil handphone dan mendial nomor Hitam.

“Apaan?” Jawab Hitam langsung tanpa basa-basi, sekilas dia berbalik menatap kearah dimana Rizal berada.

Lo yakin yang di depan lo itu cewek yang kita cari?” Hitam mengangguk begitu yakin, dan dari kejauhan Rizal menangkap gesture yang diberikan Hitam. “Tapi gue nemu cewek yang lebih cocok dibilang unik, sedangkan cewek yang di depan lo itu lebih cocok di bilang ‘aneh’ daripada ‘unik’.” Rizal menekankan kedua kata berbeda itu, seakan-akan jika salah mengartikan maka Hitam akan sial seumur hidupnya.

“Nama kamu Matcha bukan?” Hitam bertanya, seakan meyakinkan bahwa perkiraannya tepat. Dia menatap gadis yang berdiri kikuk di depannya ini. Kurang unik apalagi sih? Rambutnya keriting, kelihatan sekali kalau jarang di keramas karena terlihat kering. Jerawat pubertas yang memenuhi hampir seluruh wajahnya, tahi lalat cukup besar yang bertengger indah ─err entahlah─ di pipi kirinya. Kawat gigi dan kacamata super tebal yang selalu melorot dari hidungnya yang pesek. Perfect!

Weh! Hitam! Arah jam dua! Arah jam dua!” Di seberang panggilan Rizal berteriak karena menyadari perempuan yang menurutnya lebih pantas di katakan unik itu terlihat seperti ingin menghampiri Hitam.

Hitam mengikuti intruksi Rizal, tepat setelahnya seorang gadis dengan rambut bewarna hijau berdiri di hadapannya. Hitam menatap gadis itu dari atas sampai bawah, rambut hijau, mata hijau, tas hijau, sepatu hijau, kaos kaki hijau, jam tangan hijau.

Buset! Ini cewek keturunan buto ijo kali ya? Semuanya ijo udah macem pohon pisang di kebon kakek gue, tapi mukanya cakep sih. Atagfirullah! Dia kan anaknya Pak Zendra, bukan keturuan buto ijo.

“Gue Matcha, kata anak-anak lo nyari gue ya, kenapa?”

04 Maret 2016

Matcha Black CoffeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang