10. Hitam

1.6K 181 3
                                    

Nash Grier in mulmed as Rizal

I'm back! Did anyone miss me? no one? Ok fine ;-;
Don't forget to vomment's if you enjoying this story
I'll fast update asap :"*
Xoxo

Satu minggu kemudian.


Rizal menolak disaat Hitam mengajaknya ke klab lagi malam ini. Sudah seminggu penuh ini Hitam selalu menghabiskan malamnya dengan minum-minum. Meskipun tetap saja laki-laki itu berakhir tetap sadar karena sebanyak apapun alkohol yang di minumnya, sepertinya tubuhnya tidak terpengaruh.


"Astaghfirullah, bini gue lagi bunting. Lo ajak orang lain deh, sono hus hus." Rizal mendorong punggung Hitam. Laki-laki itu masih bersikeras mengajaknya ke klab, bahkan sudah hampir sepuluh kali Hitam mendatangi kubikelnya, mencoba untuk merayunya.


"Tapi gue maunya sama lo doang, Ijal."  Rengek Hitam, bahkan kini Rizal mendelik jijik mendengar rengekkan Hitam yang terkesan dibuat-buat.


"Homo najis lo."


"Ijal."


"Jangan panggil gue pake nama kampung itu." Kata Rizal memperingatkan. Laki-laki itu mempelototi Hitam yang berdiri menjulang di depan kubikelnya.


"Ijal."


Rizal menggeleng. "Gue mau malam mingguan sama bini gue."


"Jadi lo lebih milih bini lo daripada gue?" seloroh Hitam sambil bersungut-sungut. Mengabaikan beberapa orang lainnya yang juga ada diruangan itu.


"Najis lo, homo, tai."


"Aku merindukanmu, Ijal sayang. Merindukan belaian kasih sayangmu."


"Diem atau gue sumpel mulut lo pake keyboard?" ancam Rizal mengangkat keyboard dan mengarahkannya tepat ke wajah Hitam.


Hitam berjalan mundur, menjauh sambil mengangkat tangannya menyerah. Sepertinya Rizal sudah benar-benar tidak bisa di bujuk lagi.


Malam minggu, dia tidak tahu harus melakukan apa selain meghabiskan waktunya di klab malam. Tapi jika harus pergi sendiri rasanya Hitam tidak tertarik. Terlalu memperlihatkan kesendiriannya, alias kejombloannya.


Seakan teringat sesuatu, Hitam berbalik dan kembali mendekat kearah kubikel Rizal. Laki-laki itu ternyata sudah kembali fokus ke layar komputer di hadapannya. Ia mengangkat kepalanya ketika menyadari keberadaan Hitam. Tatapan sengit langsung saja ia lemparkan kepada sahabatnya itu.


"Gue teringat sesuatu,"  Hitam menumpu kedua sikunya ke kubikel Rizal. "bini lo kan lagi bunting, nggak bisa ena-ena jadi percuma kalo lo malam mingguan dirumah mending─"


"IDENG!!"


Hitam langsung mengambil langkah seribu ketika Rizal berdiri dari duduknya dengan mug di tangan. Laki-laki itu bersiap melemparkan mug berisi air putih tadi jika saja Hitam tidak sigap melarikan diri. Dengan tawa yang menggelegar Hitam berlalu ke dalam ruangannya. Bahkan ia masih tertawa melihat Rizal yang bersungut sebal di kubikelnya melalui kaca bening yang membatasi ruangannya dengan yang lain.


Sampai akhirnya perasaan lucu itu menghilang bersamaan dengan tawanya mereda. Ia berbalik menuju meja kerjanya dengan wajah datar. Berbanding terbalik dengan wajah sumringahnya ketika memasuki ruangan ini.


Ia menjatuhkan bokongnya ke atas kursi. Memutar-mutar kursi kerjanya karena tidak tahu harus melakukan apa. Biasanya disaat seperti ini dia akan ber-chat ria dengan Mathca. Tapi keputusannya untuk menghilang dari gadis itu membuatnya tidak bisa menghubungi Matcha.


Apa gadis itu baik-baik saja?


Tentu saja, dia memiliki pacar yang baik. Seumuran dan tentu saja tidak mendekatinya hanya karena proyek senilai 300 juta.


"Astaghfirullah!" teriak Hitam sambil memukul keningnya, tidak terlalu keras memang karena dia masih menyayangi asetnya yang satu itu. "Kenapa gue mikirin anak perawan orang sampe kayak gini banget." Setelahnya dia menggeleng, mencoba mensugesti bahwa memikirkan orang lain─apalagi seorang gadis─adalah hal yang normal bagi laki-laki sepertinya.


"Dosa nggak sih kalo gue berharap mereka putus?"


"Ya Allah si ideng udah gelok ngomong sendiri." Suara menyebalkan Rizal memenuhi ruangan kaca Hitam. Entah sejak kapan laki-laki itu sudah berdiri di depan meja kerjanya Hitam. Bahkan tanda-tanda kehadirannya saja tidak di sadari oleh Hitam. Apa mungkin si Rizal merupakan salah satu keturunan nenek gayung yang suka muncul tiba-tiba?


"Mau ngapain lo?" Tanya Hitam benar-benar dengan suara yang tidak bersahabat. Tentu saja laki-laki itu sedang menjalankan misi ngambeknya karena Rizal menolak mati-matian ajakkannya ke klab. Tidak tahu apa kalau dirinya sedang dilanda galau, sahabat macam apa yang membiarkan sahabatnya menggalau sendiri. Untung-untung Hitam tidak putus asa dan memilih mengakhiri hidupnya.


Amit-amit jabang bayi, ya Allah.


"Sensi amat, lagi kedatangan tamu bulanan ya?" Rizal tersenyum lebar-lebar, menghantarkan sinyal-sinyal misterius yang langsung bisa di tangkap oleh radar tak kasat mata milik Hitam.


Laki-laki itu mendengus, sebelum akhirnya bertanya. "Jadi, apa lagi sekarang? Sempak Calvin Klein gue yang minggu kemarin lo pinjam aja tau apa kabar sekarang."


Rizal tersenyum segan, matanya menyipit lucu dengan suara tawa putus-putus mencoba untuk meredam kesensian sahabatnya. "Ini sekarang gue lagi pake, apa mau dibalikin sekarang juga?" tanyanya sambil melakukan gerakan seakan-akan ingin membuka celananya.


Di tempatnya Hitam memutar matanya searah. "Udah buat lo aja, takut ketularan Sifilis gue."


"Tai ya kamu, gue sehat wal afiat insyaallah berkah gini jangan di fitnah dong." Rizal mesem-mesem, tentu saja tidak terima dengan pemfitnahan yang dilakukan oleh Hitam. "Lo mau tanggung jawab entar anak gue tumbuh tanpa adanya figur seorang ayah terus─"


Hitam mengangkat tangannya, meminta Rizal untuk berhenti berceloteh hal-hal yang tidak penting. Tidak penting bagi Hitam tentunya. Tidak tahu menahu apa hubungan antara kata-katanya dengan akibat yang di katakan oleh Rizal. Tidak mau tahu juga sebenarnya.


"So?"


"Pinjam handphone dong, gara-gara lo juga ni handphone gue layarnya jadi retak gini nggak sengaja kebanting sama mug yang awalnya mau gue usapin ke muka lo." Rizal menghadapkan layar I-phone nya yang memang retak.


Pun setelahnya Hitam mengangkat kedua alisnya. "Salah gue kata lo?"


Rizal mengibaskan tangannya, "udah ya bang, dedek lagi nggak mood untuk berantem."


"Najis banget, Jal-jal."


"Jadi boleh kan gue minjem handphone lo?" tanyanya dengan menggerakkan kedua alisnya menggoda, berharap Hitam akan dengan senang hati menuruti permintaannya. "Menjelang gajian aja kok gue minjemnya. Lo kalo bantu gue makin ganteng deh, gue doain deh semoga lo jodoh sama Matcha. Gue juga bakalan sholat malam buat ngedoain─"


Laki-laki itu tidak lagi melanjutkan kalimat ngelantur
yang diucapkannya. Sudut bibirnya tertarik sempurna ketika melihat Hitam membuka laci meja kerjanya dan mengeluarkan sebuah handphone dari sana.


"Bukannya ini handphone yang lo pake untuk deketin Matcha?" Rizal memperhatikan I-phone yang kini sudah berpindah ke tangannya. Memang benar apa katanya tadi, tapi semenjak memutuskan untuk menghilang Rizal tahu bahwa handphone ini tidak lagi di gunakan oleh sahabatnya itu.


"Pake aja, Matcha juga nggak bakal ngehubungin gue lagi."

21 Maret 2016

Matcha Black CoffeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang