5. Matcha

2K 239 3
                                    

“Jadi kamu pecinta teh hijau?” Tanya Hitam sambil manggut-manggut, dia mengusap dagunya yang mulus tanpa bulu halus karena baru saja bercukur tadi pagi. “Pantes ijo-ijo gini, kayak es pisang ijo, manis.”

Ewh!

“Aku nggak suka yang manis-manis.” Seloroh Matcha mengingat laki-laki di depannya ini adalah seorang pecinta kopi hitam. Seketika rasa tertariknya jatuh dan menghilang ke dasar jurang, meskipun masih ada sedikit karena Hitam benar-benar memukau. Jika kebanyakan laki-laki super sempurna seperti yang ada di novel-novel akan identik dengan sikap dingin, maka Hitam adalah gambaran yang lebih sempurna lagi, selain wajah yang rupawan Hitam juga dikaruniai sifat yang supel. Tapi tetap saja kesukaannya akan kopi hitam membuat Matcha ilfil.

“Loh kenapa?”

“Soalnya kalo yang manis-manis enaknya di mulut doang, lama-lama di recokin sama yang manis juga nggak baik buat kesehatan. Bisa-bisa kena diabetes terus kan kasian keturunannya nanti jadi punya resiko kena diabetes lebih besar. Orang yang suka manis pasti nggak pernah mikir nanti anak cucunya kedepannya gimana.”

Hitam menelan ludahnya, kenapa sekarang Matcha terlihat seperti begitu antipati dengannya? Sejak tadi semuanya baik-baik saja, bahkan Matcha mau-mau saja diajak untuk makan ke kafe ini. Padahal mereka juga baru bertemu tadi.

“Kamunya aja yang mikirnya kejauhan.” Katanya sambil tertawa canggung, “selagi di konsumsi dengan wajar manis nggak bakal merugikan kok.”

Matcha mengangkat kedua bahunya, tidak tertarik untuk melanjutkan topik ini lagi. “Sayangnya aku anak IPS jadi nggak ngerti deh apa keuntungannya mengkonsumsi makanan manis.”

“Ooh anak IPS, pantes.”

“Pantes kenapa?”

Hitam menatap gadis itu lekat-lekat, tepat di matanya sehingga Matcha pun tidak berniat untuk mengalihkan pandangannya. “Pantes cantik, kan anak IPS biasanya cantik-cantik.”

“Gombal banget.” Matcha menjawab ketus, tapi ia menghadapkan kepalanya ke lain arah asal tidak bertatapan dengan Hitam. Ia menatap ke luar kafe dengan bibir yang berkedut, menahan senyum. Jangan anggap Matcha adalah seorang gadis yang mudah di rayu oleh laki-laki, apalagi rayuan jayus seperti tadi. Tapi rasanya akan berbeda jika yang merayunya adalah Hitam, entah kenapa pokoknya berbeda, seperti ada kejutan listrik berkekuatan rendah yang mengaliri hatinya. Tidak sakit, malah rasanya ─dia tidak tahu bagaimana menjelaskan perasaan ini.

Apa yang dikatakan Rizal benar, meskipun ‘unik’ ternyata Matcha tidak berbeda dengan gadis abege lainnya. Tetap akan luruh kalau dihadapkan dengan laki-laki ganteng sepertinya. Bukan bermaksud memuji diri sendiri, tapi itulah kenyataannya. Lagipula kata-kata yang dilontarkannya tadi bukan sekedar rayuan gombal yang akan menguap begitu saja seiring dengan hembusan angin, dia bersungguh-sungguh mengatakan bahwa gadis itu cantik. Karena pada kenyataannya Matcha memang cantik.

“Oh iya, sabtu depan mau ke Grand Indonesia bareng nggak? Denger-denger ada restoran jepang baru buka, teh hijau nya asli dari Jepang, recommended deh.”

Untuk beberapa saat Hitam berpikir bahwa gadis itu dengan senang hati akan menerima ajakannya. Kecintaannya akan teh hijau tentu saja membuatnya akan sangat-sangat tertarik datang ke restoran jepang dan menyicipi langsung teh hijau dari seduhan sang ahli. Tapi ketika matanya menangkap gelengan dari gadis itu, seketika harapannya yang semula melayang ke atas awan jatuh berantakan menjadi kepingan yang berderai.

“Di restoran jepang mana ada kopi hitam, kalo kamu kesana entar mau mesen apa coba? Mending juga di kafe kayak gini, serba ada terus juga harganya ramah lingkungan.”

Mendengar kata-kata itu sesaat Hitam tepekur, sebelumnya dia menilai bahwa Matcha adalah anak konglomerat yang manja. Mengingat Pak Zendra sendiri tidak hitung-hitungan mengeluarkan uang 300 juta hanya untuk desain kamar anaknya. Tapi yang di dapatinya kali ini bukanlah seperti itu, Matcha bahkan tidak mau membuang uangnya untuk mencoba hal-hal yang ia sukai. Meskipun dia suka, dia masih memiliki batasan untuk itu. Memang benar, jika harga teh yang langsung dari restoran jepang akan sangat mahal, berbeda dengan teh hijau yang di hidangkan di kafe-kafe.

Hitam melarikan pandangannya keluar kafe, iris matanya langsung dihadapkan dengan semburat jingga. Ia kembali menatap kearah Matcha yang kini juga membalas tatapannya. “Udah sore banget, aku anterin pulang ya?”

Kepala gadis itu menggeleng, menolak tawaran Hitam ─untuk kedua kalinya. “Mau anterin pake apa? Kesininya kan tadi jalan kaki, nanti aku pake angkot atau bus kota aja pulangnya.”

“Beneran ngga apa-apa?” Tanya Hitam untuk kesekian kalinya, saat ini mereka tengah menunggu bus di halte yang tidak jauh dari kafe tempat mereka makan tadi. Adzan Maghrib sudah berkumandang dan terlihat orang-orang semakin terburu-buru untuk mencapai tempat tujuannya.

“Iya nggak apa-apa, bawel banget sih jadi cowok.” Keluh Matcha namun diiringi dengan tawa renyahnya yang terdengar indah di telinga Hitam, bahkan tawa gadis itu menenangkan seperti suara Adzan yang juga samar-samar terdengar ke telinganya. “Aku pulang dulu ya,” pamit Matcha ketika bis yang menuju arah rumahnya sudah berhenti tepat di depan mereka. Ia segera melangkah namun terhenti karena tangannya di tahan oleh laki-laki itu. Ia berbalik dan mendapati Hitam menatapnya diantara remangnya lampu jalanan.

“Besok aku jemput ya, pulang sekolah?” Matcha tidak langsung menjawab, ia terlihat berpikir sebelum mengangguk dan berlalu ke dalam bus setelah tangannya di lepas oleh Hitam.

Tai! Jantung gue mau lepas rasanya pas di pegang Bian.

07 Maret 2016

Matcha Black CoffeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang