Jangan lupa vomment ya 😁
Xoxo
Youngkerbell"Kenapa lo nggak coba untuk cari tau tentang dia aja?" saran Kiran. Sore itu mereka tengah duduk di gazebo taman belakang rumah Matcha. Sudah hampir minggu ke tiga Matcha tidak masuk sekolah. Dan hampir setiap hari juga Kiran selalu mampir, sekedar untuk berbincang-bincang karena Kiran tahu gadis itu akan sangat bosan sendirian di rumah.
"Habis itu apa? Emangnya setelah gue tau tentang dia nantinya dia bakal balik lagi ke gue? Nggak ada jaminan." Jawab Matcha menolak, ia memainkan rambutnya yang sudah mulai memanjang. Pangkal rambutnya sudah mulai tumbuh dan memperlihatkan warna aslinya.
"Setidaknya itu yang dia minta, lo nggak kenal dia sama sekali."
Entah sejak kapan, seolah nama laki-laki itu menjadi pantangan bagi mereka. Meskipun mereka selalu membahas topik yang sama, tapi tidak sekalipun nama itu keluar dari mulut kedua gadis itu.
"Dia yang tertutup, seolah gue itu nggak seharusnya mengenal dia. Jadi gue bisa apa?"
Pernyataan putus asa itu menguar di bawa angin. Meninggalkan mereka berdua dalam keheningan sesaat yang intens.
"Tapi nggak ada salahnya lo untuk nyoba, setidaknya setelah lo tau, lo jadi lebih bisa mengerti dan menerima alesan dia berbuat kayak gitu."
Matcha mengaduk-aduk teh hijau hangatnya dengan tidak berminat. Kalau boleh, Matcha tidak ingin lagi memikirkan laki-laki itu. Kalau bisa, Matcha ingin sesegera mungkin untuk melupakannya. Berharap tidak ada lagi kenangan tentang 'dia' yang selalu berputar dibenaknya. Tapi, sayangnya apa yang dia inginkan tidak terjadi begitu saja. Laki-laki itu, entah kenapa masih saja berlarian dipikirannya. Meski pada seharusnya dia membenci laki-laki itu.
Sayangnya, membenci orang yang dicintai tidak semudah mencintai orang yang di benci.
"Percuma, kalo yang ngebet cuman gue doang."
Disebelahnya, Kiran menghela napas. "Jadi lo udah bener-bener mau nyerah tentang dia?"
Menyerah? Apa bisa dikatakan menyerah ketika bahkan dirinya belum memulai?
"Gue udah kehilangan jejak dia, sama sekali nggak tau kabar dia sekarang." Kata gadis itu, ia menopang dagunya dengan sebelah tangan. Menatap lurus-lurus ke arah kumpulan bunga kembang sepatu yang sedang mekar.
"Apa hati lo sendiri juga udah bener-bener nyerah?" tanya Kiran untuk kesekian kalinya. Entah untuk meyakinkan gadis itu atau memang sengaja ingin menggoyahkan pendiriannya. "I'ts your first love, setidaknya lo harus berjuang supaya lo nggak jadi korban 'cinta pertama yang selalu gagal'."
Kedua bahu gadis itu terangkat, menandakan dia juga tidak tahu harus berbuat apa saat ini. Meskipun yang ia benar-benar ingin lakukan adalah melupakan laki-laki itu, tapi hati kecilnya selalu saja menjeritkan nama yang mati-matian ingin ia lupakan.
"Kalo boleh, gue pengen pergi jauh dari sini. Karna gue juga nggak pengen jadi secengeng ini, setiap apapun yang gue lakuin selalu inget dia." Mata gadis itu berkaca-kaca, cairan bening yang sebelumnya ia pikir sudah kering kini kembali memenuhi kelopak matanya. Yang apabila dia berkedip sekali saja maka cairan itu akan mengalir kepipinya.
"Maksud lo apa ngomong kayak gitu?" dahi Kiran mengerut, menangkap makna yang tidak biasa dari kata-kata Matcha barusan.
Matcha menoleh, menatap kepada Kiran yang masih menatapnya dengan tatapan bingung.
"Bokap gue bakalan buka perusahan baru di Ausie, dan kemungkinan bakalan menetap cukup lama di sana sampai perusahaan itu udah bisa di tinggal dan di pantau dari jauh." Matcha kembali menatap lurus-lurus ke depan, kali ini tatapannya kosong ketika kembali melanjutkan kalimatnya. "Gue nggak mungkin di tinggal sendiri di sini, jadi beberapa hari yang lalu bokap gue nawarin gue untuk ikut. Berhubung di sini gue juga udah lama nggak masuk sekolah lagi, jadi sekalian gue ke sana dan lanjutin sekolah di sana. Hitung-hitung sebagai penyembuhan hati gue, biasanya suasana baru bisa bantu banyak."
Kalimat Matcha berakhir, dan beberapa detik kemudian barulah Kiran menghela napas yang sebelumnya sempat ia tahan.
"Lo—serius mau pindah ke Ausie?" Kiran bertanya meyakinkan, takut kalau barusan hanyalah ilusinya saja atau kata-kata Matcha yang melantur. Namun anggukan gadis itu membenarkan segalanya. Dia tidak salah dengar dan Matcha sedang tidak melantur. "Berapa lama?"
"Gue juga nggak tau, tergantung bokap. Kalo cepet mungkin pas tamat sma gue balik, atau nggak kemungkinan besar gue lanjut kuliah di sana juga."
"Terus gimana dengan Athar?"
Kepala Matcha menoleh cepat, berpikir ia salah dengar. "Athar?" Kiran mengangguk dua kali. "Kenapa sama Athar?"
"Ya, dia bakalan sedih karna lo pergi jauh. Secara dia kan cinta mati sama lo." Jawab Kiran terdengar ragu, tidak yakin dengan kata-katanya barusan.
Sebelah alis Matcha terangkat. Senyum kecil terbit di sudut bibirnya. "Nggak apa-apalah kalo gue pergi, 'kan ada lo."
"Apaan sih, kenapa jadi gue?" kata-katanya terdengar grogi. Membuat Matcha semakin senang menggoda Kiran.
"Gue pikir-pikir lo sama Athar cocok kok, sama-sama anak baik-baik." Ucapnya sambil menyenggol pelan bahu Kiran. Tertawa kecil ketika Kiran terlihat malu-malu.
Dengan cepat Kiran menggeleng. "Nggak ah, Athar 'kan cintanya sama lo." Elaknya. Padahal hatinya sudah dipenuhi oleh ledakan kembang api yang silih berganti menembak langit-langit hatinya.
"Tapi nggak menutup kemungkinan 'kan kalo suatu hari nanti cintanya berpaling sama lo."
"Udah ah," Kiran mengibaskan tangannya. "lagian gue juga nggak anak baik-baik juga, kayak nggak pernah liat aja gimana gue pas lagi perang sama si cabe Barbados."
Matcha tergelak, membenarkan penuturan Kiran. Jika mengingat bagaimana seringnya mereka berdua terlibat cekcok dengan Clorinda, maka hal yang membekas di ingatan adalah bagaimana ganasnya Kiran ketika berhadapan dengan Clorinda. Bagaikan sesama singa betina yang memperebutkan seekor singa jantan. Padahal yang seharusnya menjadi lawannya Clorinda adalah dirinya, namun yang terlihat lebih agresif malah Kiran.
"Gue jadi kangen itu cabe satu," tutur Matcha sontak membuat Kiran membulatkan matanya tidak percaya. Apa Matcha sadar ketika mengucapkan kata-kata itu? "Kangen pengen ngatain tapinya." Sambungnya kemudian, menenggelamkan rasa syok Kiran yang digantikan dengan tawa yang meledak.
Matcha ikut tertawa, setelah sekian lama dirinya kembali tertawa lagi. Merasakan sensasi perut yang melilit karena tertawa terlalu kencang.
"Ngomong-ngomong soal Clorinda," sela Kiran sambil mati-matian menahan tawanya. "sejak minggu lalu rambutnya nggak ombre lagi, udah balik jadi item. Denger-denger nih ya, katanya dia lagi jatuh cinta sama cowok gitu, makanya dia ngerubah penampilan jadi lebih dewasa. Nggak alay kayak sebelumnya."
Lagi-lagi mereka tertawa. Menertawakan perubahan Clorinda yang di rasa sedikit berlebihan. Berubah penampilan hanya karena seorang laki-laki?
Ah, laki-laki seperti apa kiranya yang bisa merubah seorang Clorinda?
11 April 2016
KAMU SEDANG MEMBACA
Matcha Black Coffee
Teen FictionTHIS STORY CREATED AND WRITTEN BY ME ARE NOW ON 'PRIVATE'. TO READ AND ACCESS THIS STORY PLEASE FOLLOW ME FIRST OR MAYBE YOU SHOULD TO READ THE "PLEASE READ!" TO KNOW HOW TO READ THIS STORY. THANK YOU. SYNOPSIS ON FIRST CHAPTER. 28 FEBRUARI 2016