Jangan lupa vomment ya, biar nggak lupa jadi vote dulu sebelum baca :"v
Kayak yg udah gue kasitau kemarin, bab bab selanjutnya gue bakalan bikin jalan ceritanya sedikit lebih complicated/?
Buat yg nggak suka cerita drama bisa stop berhenti baca di bab 20, itu udah bisa dianggep end kok meskipun gantung 😂Youngkerbell
xoxo"Gue nggak tau kalo lo sebego ini, gue kira IPK cumlaude lo itu bakal kepake, taunya sia-sia." Seloroh Rizal yang entah dari mana kaitan antara kata-katanya tadi.
Bukannya membalas kata-kata super sadis yang dilontarkan oleh laki-laki itu, Hitam hanya diam dengan sesekali menghela napasnya. Kopi hitamnya sudah tidak tersentuh sejak tiga puluh menit yang lalu. Dan untuk pertama kalinya semenjak menjadi pecinta kopi, dia merasakan bagaimana pahit sebenarnya dari kopi hitam.
Hitam baru saja selesai bercerita tentang kejadian dua minggu yang lalu di rumah Matcha. Dan kata-kata tadi adalah reaksi pertama yang diberikan oleh Rizal. Sebelumnya Hitam juga sudah bisa menebak bahwa reaksi seperti itulah yang akan didapatnya, jadi tidak ada rasa terkejut lagi yang ia rasakan kini.
"Yang penting sekarang semuanya udah kelar." Jawabnya berusaha sesantai mungkin, menyembunyikan benjolan besar yang mengganjal dihatinya.
Lalu apa? Memang semuanya terlihat sudah selesai dan baik-baik saja, tapi apa mereka sadar bahwa hati mereka tidak dalam keadaan baik-baik saja? Sekarat di kesendirian yang diakibatkan oleh keegoisan. Tahukah kalian cinta dan kebahagian adalah perpaduan paling sempurna dalam hidup? Memang terdengar mustahil karena mereka sama-sama begitu indah, tapi semua tahu bahwa coklat dan keju apabila disatukan akan menjadi sebuah kesempurnaan.
"Kelar pala lo, yang ada lo itu cuman ngubur masalah kemarin. Sadar nggak sikap lo itu nimbulin masalah baru? Masalah yang jauh lebih besar dan semuanya juga tahu kalo di sini Matcha yang paling tersakiti." Rizal terlihat menggebu-gebu mengomentari sikap sahabatnya yang idiot itu. Bagaimana ada laki-laki sebodoh Hitam? "Matcha udah bilang kan kalo dia cinta sama lo? Terus apa lagi yang jadi masalahnya? Jangan drama deh lo, hidup lo itu bukan sinetron yang kapan taun belum tentu bahagia. Matcha udah jujur sama perasaannya, kebahagiaan udah ada di depan mata, dan dengan begonya lo malah dorong kebahagiaan itu ke dalam comberan. Kurang tai apa lagi coba? Ya ampun, kesel banget gue sama lo. Begonya kok gini amat sih. Anak siapa sih lo?"
Rizal spontan langsung membekap mulutnya ketika menyadari pertanyaan terakhir yang ia ucapkan. Dia dapat melihat reaksi Hitam yang menegang ditempatnya. Rahangnya mengeras dan matanya berkilat marah.
"Lo yang paling tau kalo gue ini anak perempuan jalang, kenapa masih nanya?" jawab Hitam sinis dan berlalu meninggalkan Rizal yang memasang wajah menyesalnya. Pintu ruangan itu di banting dengan kuat, bahkan beberapa karyawan terkejut mendengarnya.
Akhirnya Rizal hanya menghela napas dan memilih menyandarkan punggungya ke sandaran sofa. Benar-benar menyesali kata-katanya tadi.
***
Hitam melangkah gontai. Kaki jenjangnya melangkah di atas ubin rumah sakit yang entah kenapa selalu terasa begitu dingin baginya. Siang ini keadaan rumah sakit masih saja ramai seperti biasanya. Rutin datang ke sini selama kurang lebih lima tahun membuat Hitam sangat menghapal detil-detil kecil dari rumah sakit ini.
Perawat yang selalu lalu-lalang di jam-jam seperti ini. Beberapa diantaranya adalah wajah baru dan hanya sedikit dari mereka yang sudah Hitam kenal karena masih bekerja sejak lima tahun lalu.
Bangku-bangku yang dulu disediakan di setiap koridor kini juga sudah berganti. Pohon-pohon yang sengaja di tanam di taman rumah sakit pun kini sudah bertumbuh semakin rindang.
Semuanya berubah selama lima tahun ini, apa hanya dirinya saja yang tidak berubah?
Bahkan selimut kesayangan yang diberikan oleh bundanya sudah berubah menjadi semakin lusuh. Semua berubah, kecuali Hitam.
Langkahnya terhenti di depan sebuah kamar inap yang selalu dia datangi selama lima tahun belakangan ini. Di dalam sana, seorang wanita yang melahirkannya selalu menghabiskan waktu hanya dengan berbaring di atas tempat tidur. Atau hanya sekedar berkeliling di taman rumah sakit, itupun hanya ketika dirinya datang menjenguk. Dan sudah hampir setahun ini Hitam sangat jarang datang mengunjungi bundanya.
"Bian?"
Panggilan itu, panggilan yang sama dengan panggilan yang diberikan oleh Matcha. Karena itulah sejak awal dia meminta Matcha untuk memanggilnya Hitam saja. Panggilan Bian membuatnya merindukan bundanya.
Hitam tersenyum, mendekati bundanya yang langsung mendudukkan diri ketika menyadari keberadaannya. Wanita ringkih itu langsung saja memeluk putra satu-satunya dengan sayang. Sudah hampir setengah tahun ia tidak bertemu dengan putranya itu.
"Apa kabar Bun?" tanya Hitam, ia membalas pelukan bundanya. Ia dapat merasakan kalau bundanya memberikan beberapa ciuman dikepalanya.
Hitam sedikit menyesal karena sudah sangat jarang berkunjung menemui ibunya.
"Nggak pernah sebaik ini." Jawab Bundanya begitu terdengar bahagia. Di dalam hati Hitam meringis, merasa jadi anak durhaka karena hampir melupakan keberadaan bundanya sendiri.
"Maaf Bian jarang datang, dan sekalinya datang Bian nggak bawa apa-apa."
Wanita itu tersenyum, jenis senyuman yang sarat akan kasih sayang. Tanpa sadar hati Hitam menghangat melihat senyuman itu.
"Kamu datang untuk liat Bunda aja udah cukup kok." Jawab wanita itu, terlihat baik-baik saja ketika kenyataannya sebuah penyakit berbahaya tengah menggerogoti tubuhnya. Dan untuk kesekian kalinya Hitam merutuki dirinya yang pernah menyesal terlahir dari rahim wanita ini.
"Bunda mau makan apa? Bian beliin ya?" tawar laki-laki itu, dan bundanya menjawab dengan gelengan. Hitam tersenyum maklum karena tahu bundanya tidak pernah meminta hal apapun dari dirinya.
"Ke taman rumah sakit aja ya, Bunda bosen di kamar terus."
Hitam mengangguk menyanggupi. Ia membantu bundanya untuk duduk di atas kursi roda. Dan setelahnya mulai mendorong perlahan kursi roda itu ke arah taman rumah sakit.
Keadaan taman terlihat ramai karena ada beberapa orang pasien yang sepertinya juga memilih berjalan-jalan, ditemani oleh perawat atau mungkin juga keluarganya.
Sebuah bangku taman menjadi pilihan Hitam untuk mendudukkan bundanya di sana, ia ikut mendudukkan dirinya setelah bundanya duduk manis di bangku itu.
"Jadi, kamu mau cerita sesuatu sama Bunda?" tanya wanita itu memecah hening sebelumnya. Seakan menyadari ada sesuatu yang tengah dirasakan oleh putranya itu.
Tiba-tiba saja Hitam tersenyum, menyadari Bundanya masih peka seperti dulu. "Bian lagi jatuh cinta, Bun." Ucapnya sambil menerawang ke depan. Menatap kosong kesekumpulan anak-anak berpakaian pasien yang sedang bermain di kolam pasir.
"Pasti gadis itu sangat luar biasa karena berhasil ngebuat seorang Bian jatuh cinta." Puji bundanya, membuat senyuman Hitam perlahan berubah menjadi senyuman miris. "Kenapa?" tanya wanita itu lagi, seolah menyadari perubahan makna senyuman Hitam. "Apa gadis itu nggak punya perasaan apa-apa ke kamu?"
Laki-laki itu menggeleng, membantah pertanyaan yang diberikan oleh bundanya. "Meski cinta bisa jadi alasan yang paling kuat untuk bisa bersama, tetap aja masih ada jutaan alasan lain yang bisa menghancurkan kekuatan cinta." Hitam menghela napasnya dalam. "Perbedaan umur, status sosial, pemikiran dan pandangan jadi alesan kenapa kami nggak akan pernah bersatu."
Bundanya tergelak, mendengar kata-kata dramatis yang diucapkan Hitam. "Alasan klise." Ejek bundanya. Hitam terkekeh karena menyadari sikapnya yang suka mengejek orang lain diturunkan dari bundanya. "Kamu tau 'kan betapa banyaknya perbedaan antara Pangeran dan Cinderella?"
08 April 2016
KAMU SEDANG MEMBACA
Matcha Black Coffee
Teen FictionTHIS STORY CREATED AND WRITTEN BY ME ARE NOW ON 'PRIVATE'. TO READ AND ACCESS THIS STORY PLEASE FOLLOW ME FIRST OR MAYBE YOU SHOULD TO READ THE "PLEASE READ!" TO KNOW HOW TO READ THIS STORY. THANK YOU. SYNOPSIS ON FIRST CHAPTER. 28 FEBRUARI 2016