32. Hitam

1.1K 142 22
                                    

Ada nerima notif bab 31 nggak? Kayaknya nggak ya? 😒
Nggak tau lagi, nggak paham gue -____,-

Coba cek dulu ya bab 31 nya, langsung buka aja kadang emang nggak keluar notif kalo di private. Apalagi yg belum follow. Yg bab ini sengaja nggak gue private, soalnya (rahasia) :"V

Happy reading :****




Pandangan itu Hitam arahkan ke kursi kosong didepannya. Kursi yang beberapa saat yang lalu masih ditempati oleh seorang gadis yang baru saja meninggalkannya.


Ternyata ditinggalkan oleh seseorang yang sebelumnya kau sadari bukan milikkmu, tapi kehadirannya bisa dirasakan setiap hari, jauh lebih menyakitkan di banding kehilangan seseorang yang kau tahu kalau kau memilikinya, namun sama sekali tidak pernah kau rasakan kehadirannya.


Dan Hitam menyesal, dirinya seperti sudah terbiasa akan kehadiran gadis itu. Tapi bodohnya dirinya yang dengan sadar mendorong gadis itu menjauh, meninggalkannya dengan membawa seluruh kepingan hatinya yang merapuh seiring waktu.


Memaksa hatinya bertingkah kuat ketika pada kenyataannya hatinya begitu lemah dan meraung ingin diobati. Namun sayangnya ketakutannya akan sesuatu yang belum tentu terjadi menjadi racun yang paling mematikan untuk hatinya. Menenggelamkannya di antara jutaan kemungkinan buruk tanpa menyadari adanya satu kebahagiaan abadi jika saja dirinya mau melupakan sejenak pikiran buruknya itu.


"Bagian mana yang kamu nggak ngerti dengan kata-kata aku kalo di sini, di tempat yang sama pertama kali kita ketemu, adalah tempat yang juga menjadi saksi pertemuan terakhir kita?" Tidak sedikitpun Hitam menyangka kalau kalimat seperti itu akan diucapkan oleh Matcha. "Kamu pernah nyadar nggak, sewaktu-waktu kamu bersikap kalo aku itu adalah seseorang yang berharga untuk kamu, tapi kamu bisa langsung tiba-tiba berubah dan memperlakukan aku sebagai seorang yang nggak memiliki arti apa-apa?"


"Maaf kalo sikap aku buat kamu berpikir kayak gitu, kamu perlu tau kalo aku nggak pernah ada niat untuk bersikap kayak gitu ke kamu." Aku Hitam terdengar putus asa.


"Pernah nggak kamu sedetik aja percaya dengan perasaan cinta aku?" Matcha menunduk, menatap kedua tangannya yang saling menggenggam di atas paha. Menarik napas dalam-dalam sebelum kemudian kembali melanjutkan kalimatnya. "Percaya sampai kamu merasa kalo aku itu pantas untuk mendapatkan penjelasan dari kamu, penjelasan dari semua yang terjadi. Kamu tau nggak, terlalu banyak pertanyaan tentang apa, kenapa, siapa di kepala aku tentang kamu sampai-sampai rasanya aku pengen maksa kamu untuk jujur dan kasih tau yang sebenernya." Gadis itu mengangkat kepalanya, memberanikan diri untuk menatap lurus-lurus iris gelap dihadapannya. "Tapi kemudian aku sadar, aku bukan siapa-siapa, aku bukan seseorang yang penting sampai-sampai pantas untuk dapat penjelasan dari kamu."


Hening melingkupi setelah Matcha mengakhiri kalimatnya. Hitam sama sekali tidak bisa membalas kata-kata gadis itu. Kepalanya kosong, tidak tahu harus berkata apa karena hati kecilnya pun membenarkan apa yang dikatakan oleh gadis itu.


Tidak perlu lagi Hitam menanyakan kepada dirinya apakah memang dirinya seperti tuduhan gadis itu. Karena memang kenyataannya seperti itulah.


Tangan Hitam terangkat dan membawa rambutnya kebelakang, gesture sederhana yang menjelaskan bahwa laki-laki itu benar-benar dalam keadaan yang kalut.


"Kamu nggak akan ngerti, Cha."


"Sampai kapanpun aku nggak bakalan ngerti karna kamu sama sekali nggak ada niatan untuk menjelaskan apapun sama aku."


"Cha—" Hitam menatap ke sekitar, orang-orang memperhatikan mereka karena baru saja Matcha berbicara dengan suara keras dan nyaris berteriak.


"Siapa cewek yang angkat telepon aku dulu? Apa yang terjadi sama Bunda kamu? Bisa kamu jelasin tentang kejadian di lift waktu itu? Ada hubungan apa kamu sama Clorinda?" rentetan pertanyaan yang diajukan Matcha membungkam Hitam. Meski dari pertanyaan-pertanyaan itu ada beberapa yang bisa ia jelaskan, tapi lagi-lagi Hitam merasa itu semua tidak perlu dia jelaskan. Seolah membiarkan Matcha tenggelam dalam spekulasi negatifnya, dan kemudian menyesali kembali hal itu. "Dan yang paling aku nggak ngerti itu, kenapa kamu membuang aku dan tiba-tiba muncul lagi. Bersikap seolah-olah sebelumnya kamu nggak melakukan apa-apa, ngebuat lagi-lagi aku berharap dengan semua sikap manis kamu. Dan di saat harapan aku lagi-lagi muncul kamu dengan mudah ngehancurin semuanya."


"Aku punya alesan kenapa aku nggak kasih penjelasan apapun ke kamu."


Matcha tergelak, berlawanan dengan matanya yang berkaca-kaca sedari tadi. "Aku nggak butuh alesan yang cuman kamu pahami sendiri."


"Aku bakal jelasin ke kamu—"


"Nggak usah," kata-katanya di potong oleh Matcha. Gadis itu mengusap air mata yang lagi lagi membasahi wajahnya. "aku udah nggak butuh alesan dan penjelasan dari kamu. Hubungan kita dari awal emang nggak akan pernah berhasil karena cuman aku sendiri yang berjuang dan berharap lebih sama hubungan kita. Dan mulai sekarang aku nyerah, menyerah tentang kamu, kita, dan semuanya."


Lagi-lagi Hitam menyesal. Dia menyesal karena tidak berkata yang sejujurnya kepada gadis itu. Sekarang tidak ada bedanya, gadis itu tetap pergi dengan kebencian yang sangat besar kepadanya. Dan kalaupun dia jujur, gadis itu juga akan pergi dengan rasa bencinya. Mungkin di tambah dengan sedikit rasa jijik. Namun setidaknya dia tidak menyembunyikan hal apapun dari gadis itu.


Tentu saja Hitam percaya dengan perasaan gadis itu, tapi rasanya untuk memberitahu yang sebenarnya Hitam tidak akan sanggup.


Hitam hanya terlalu pengecut.


Matanya berkedip ketika merasakan getar dari saku celananya. Nama rumah sakit tempat Bundanya di rawat terpampang di layar. Tiba-tiba saja hatinya bergemuruh, tidak tahu apa ini pertanda buruk atau hanya lagi-lagi pemikiran buruknya.


Perlahan Hitam menjawab panggilan itu dan suara seorang wanita yang ia asumsikan sebagai perawat menyapa telinganya.


"Dengan Bapak Bian?"


Ah, panggilan itu. Panggilan yang entah mengapa selalu berhasil membuat hatinya bergetar aneh.


"Ya, dengan saya sendiri." Jawab Hitam. Ia menunggu kalimat selanjutnya yang akan diucapkan oleh perawat itu.


"Kami dari pihak rumah sakit ingin memberitahukan, Nyonya Naira beberapa saat yang lalu dinyatakan meninggal dunia. Jadi selaku wali beliau, Bapak kami harapkan untuk bisa datang dan—"


Telinga Hitam berdengung, tidak lagi mendengarkan kata-kata selanjutnya yang diucapkan oleh perawat tadi. Yang dia lakukan adalah bergegas beranjak dari kafe itu. Melangkah besar-besar menuju mobilnya dan dengan kecepatan penuh menuju rumah sakit.


Tidak mungkin, tidak mungkin Bundanya meninggal dan membiarkan dirinya seorang diri di dunia ini.



END

Yah nggak terasa udah nyampai bab terakhir :")

Kesan dan kesannya dong untuk buku ini, udah sampai 32 bab masa sama sekali nggak ada komentar? Ntar bidadari syedih nih :"V

Matcha Black CoffeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang