13. Matcha

1.5K 162 5
                                    

Fast update :")))
Semoga masih ada yg baca meskipun makin kesini ceritanya makin nggak jelas. Alurnya maju mundur dan semoga aja pada ngerti ya sama alurnya, kalo kalo ada yg nggak paham sama alurnya bisa tanyakan

Disini:

Sekian terima kasih,

Xoxo
Youngkerbell



Dua minggu kemudian.


Hujan.


Di minggu pagi seperti ini turun hujan bukanlah salah satu daftar agenda yang Matcha tuliskan. Ia sudah berencana untuk bertemu dengan Athar, pergi makan dan kemudian mengakhiri hubungan mereka sebelum kehampaan dihatinya semakin menjadi.


Rasa yang tak terdefinisikan.


Meskipun jam sudah menunjuk ke angka 11, tapi sepertinya Matcha masih ingin berlama-lama di tempat dengan gravitasi terkuat di dunia yang biasa ia sebut dengan kasur. Ia menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang dengan secangkir teh hijau hangat di tangannya.


Hujan. Hampa. Hitam.


Hitam. Hilang. Hening.


Ketika rasa rindu dan kehampaan berbaur menjadi gelap pekat dan pahit melebihi kopi kesukaanmu, Hitam.


"Kenapa nggak mau?" Tanya Bian saat itu ketika gadis didepannya ini menolak untuk memanggilnya Hitam, seperti teman-teman dan keluarganya yang juga memanggilnya dengan Hitam.


"Udah lah Bian aja, kan dari awal kenalan juga kamu pake nama Bian." Jawabnya bersikeras.


Tidak ada yang tahu pada saat itu kenapa Matcha bersikeras menolak untuk memanggil laki-laki itu Hitam, karena dirinya ingin menjadi seseorang yang berbeda. Dia ingin menjadi satu-satunya orang yang memanggil laki-laki itu dengan Bian.


Bian tak lantas langsung terima saja, karena baginya panggilan Bian sedikit asing ditelinganya.


"Hitam lebih keren, Bian mah agak pasaran." Tapi tetap saja gadis itu menolak mentah-mentah, tentu baginya Bian jauh lebih oke. Selain kalau Hitam mengingatkannya dengan minuman menyebalkan itu, panggilan Bian juga sudah kerasan baginya. "Ngeyel banget sih jadi cewek," ucap Bian sambil mencubit pelan kedua pipi Matcha. Sontak saja gadis itu langsung memberengut lucu dan meledakkan tawa laki-laki di depannya.


"Ih! Malah ketawa." Sungut Matcha mendorong lengan Bian dengan sebal. Ia membuang pandangannya ke arah lain, kemana saja asal tidak memandang laki-laki dihadapannya.


Bian menahan tawanya, tidak ingin semakin membuat gadis itu jengkel karenanya. "Ya ampun gitu aja ngambek." Hitam menangkup wajah Matcha dengan kedua tangannya. Kedua ibu jarinya mengusap searah pipi gadis itu. Menimbulkan semburat kemerahan yang lagi-lagi menimbulkan tawanya.


"Bian! Ih! Makin ngeselin." Dengan begitu Matcha mencubit pinggang Hitam dengan kekuatan penuh. Dan satu-satunya reaksi laki-laki itu hanya meringis sebentar sebelum kemudian melanjutkan tawanya.






Mengingatnya membuat sebuah senyuman tercetak di wajah Matcha. Cukup bingung, kenapa saat itu dia tidak juga ikut tertawa bersama Bian. Tetapi saat mengingatnya kini semuanya terasa begitu lucu. Terlalu lucu bagaimana saat itu ia terlihat begitu kekanakkan, dan hatinya menghangat mengingat bagaimana Bian yang tertawa begitu lepas. Membuat beberapa pengunjung kafe lainnya memandang mereka bingung. Tapi dirinya terlalu sibuk untuk kesal kepada Bian dan mengabaikan keberadaan pengunjung lainnya.


Ketukan pelan bersamaan dengan Papanya yang di balik pintu menghilangkan semua pikiran Matcha. Ia kini menatap Papanya yang sudah mengambil posisi di tepi ranjang.


Laki-laki paruh baya itu juga ikut menatap kepada putri satu-satunya. Mencoba mencari tahu permasalahan apa yang sekira-kiranya bisa membuat putri kesayangannya lebih memilih mengurung diri di dalam kamar. Apalagi kini adalah hari libur, dan tidak biasanya Matcha berada di rumah saat hari libur. Merupakan fenomena langka jika bisa menemukan Matcha dirumah ketika hari libur.


Dari tempatnya kini Matcha beringsut dan bergelung di dalam pelukan Papanya. Sambil tersenyum kini Zendra mengusap pelan rambut putrinya itu.


"Papa jadi perginya?" Tanya Matcha memastikan lagi, beberapa hari yang lalu Papanya memberitahu kalau sore ini harus berangkat ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Tapi rasanya Matcha tidak ingin di tinggal sendiri, apalagi keadaannya kini benar-benar tidak bisa sendiri. Tapi menjadi anak manja yang menyusahkan orang tua tidak ada dalam kamus hidupnya. Makanya, mau tak mau Matcha harus membiarkan Papanya untuk pergi. Meskipun hanya seminggu tetapi itu bukanlah waktu yang singkat.


Papanya mengangguk, membuat Matcha yang masih setia berada dalam dekapan hangat papanya menghela napas berat. "Tapi kalo kamu nggak mau papa pergi, papa bisa cancel kok pekerjaannya." Ia menggeleng di posisinya. "Bener nggak apa-apa di tinggal?" yakinnya dengan senyuman.


"Tapi Papa cepet pulang ya, aku nanti kesepian di rumah kalo papa lama-lama."


"Iya, Papa usahain untuk pulang cepet." Jawabnya begitu menenangkan. "oh iya, besok orang-orang yang ngedesain kamar kamu mau datang, berhubung Papa nggak di rumah jadi kamu langsung ya yang ngarahin mereka. Jadinya 'kan lebih mudah kalo kamu langsung yang menghandle."


"Besok 'kan aku sekolah, Pa."


"Mereka juga datang agak siangan."


Akhirnya Matcha menyanggupi. Tidak ada bedanya juga jika papanya sedang tidak di luar kota, tentu saja secara tidak langsung harus Matcha sendiri yang memantau perombakan kamarnya. Papanya akan bekerja di jam-jam seperti itu.


"Orang yang mau datang besok cewek apa cowok Pa?"


"Kenapa?" Tanya Zendra. "Mau tepe-tepe ya kalo-kalo yang datang cowok." Mendengar tuduhan yang diberikan papanya lantas Matcha bersorak tidak terima. Dirinya tidak seganjen itu tentu saja.


"Pa, please deh jangan mulai." Matcha bersungut-sungut, mencubit pelan perut papanya.


Zendra tertawa masih dengan tangannya yang mengusap rambut putrinya. "Biasanya 'kan kamu suka lemah iman gitu kalo sama yang cakep-cakep."


"Papa ih kalo ngomong suka bener." Mereka tertawa, kemudian Matcha kembali berkata, "Lagian wajar kalo aku sukanya sama cowok cakep, kebayang kalo aku sukanya sama cewek cantik bisa-bisa Papa gantung diri."


"Yah, setidaknya Papa tenang karena kamu nggak jatuh ke tangan cowok brengsek."


"Papa ih!"


Dan selama beberapa jam kemudian mereka habiskan untuk berbicara dan saling menggoda satu sama lain. Kedua anak dan ayah itu terlihat begitu menikmati waktu mereka. Apalagi sorenya Zendra sudah harus berangkat ke luar kota, yang mana otomatis mereka akan berpisah selama kurang lebih seminggu.


Keberadaan papanya membuat sedikit banyaknya pikiran Matcha menjadi lebih tenang. Perasaannya sedikit membaik meskipun satu-satunya hal yang bisa memperbaiki hatinya hanyalah seorang Bian. Tapi setidaknya kehadiran sang Papa menjadi obat penawar paling mujarab. Dan tidak sedikitpun dalam hatinya Matcha menyangkal hal itu.

25 Maret 2016

Matcha Black CoffeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang