38. Hitam

1.1K 145 13
                                    

2 chapter left before end 😅
Entah kenapa gue ngerasa pasti banyak yg nggak ngerti sama alur cerita ini, yg nggak ngerti silahkan tanya aja ya. Gue pasti jawab kok insyallah dibales cepet.

Tumben banget kan gue update jam segini :"B

Semoga penyelesaian ceritanya nggak terkesan buru-buru, karna demi apapun ini cerita pertama yg berhasil gue tulis sampai end YEHET! Maksudnya cerita series gitu kalo shortstory gue punya banyak naskahnya ampe berdebu :"V

Happy reading


Dengan segera ketiga orang itu menoleh. Menatap ke satu arah, ke seseorang yang kini berdiri tepat disebelah Matcha. Matcha berkedip, tidak dapat mengenali siapa sosok laki-laki yang kini berdiri disebelahnya. Sedangkan Athar yang sebelumnya pernah bertemu dengan sosok laki-laki itu, hanya mendengus tidak ketara.


"Kenapa diem?" tanya laki-laki itu, dan tanpa ditawarkan dia langsung menarik kursi yang berada disebelah Matcha. Mendudukkan dirinya di sana. "Hai bro, kita jumpa lagi." Sapanya kepada Athar, sedangkan Athar hanya membalas dengan sebuah anggukan. Tanpa berniat untuk memberikan sebuah senyuman. Pengalamannya terakhir bertemu dengan laki-laki itu cukup menyebalkan.


"Sori, lo siapa?"


Rizal menoleh kepada gadis itu, mendapati Matcha yang melihatinya dengan tatapan menyelidik. "Rizal Mahanipuna." Jawabnya sambil mengulurkan tangan.


"Rizal Mahanipuna?" eja Matcha, seolah mencoba untuk mencari disudut otaknya. Mengingat dimana sekiranya ia pernah mendengar ataupun membaca nama itu. "Gue yang ngirim email ke lo beberapa hari yang lalu. Siapa sangka kalo sekarang kita bisa ketemu langsung."


Jantung Matcha berdentum, bersamaan dengan aliran darahnya yang terasa menderas dinadinya. Kini dia sudah bisa mengerti, menyambungkan satu persatu hal yang entah kenapa begitu membuatnya merasa ingin mati saking tak terprediksinya.


Rizal Mahanipuna. Orang yang mengiriminya email beberapa hari yang lalu. Itu berarti orang ini adalah teman baiknya Hitam. Dan apa yang dikatakan laki-laki itu tadi?


"Oh."


Sama-sama terkejut, ketiga orang lainnya terdiam mendapati reaksi Matcha yang terkesan cuek dan tidak peduli.


"Lo—udah baca email dari gue?" Rizal bertanya canggung. Hal yang tidak pernah ia alami sebelumnya; canggung.


Gadis itu mengangguk sekali. "Udah." Jawabnya begitu singkat, seolah ingin sesegera mungkin mengakhiri percakapan itu.


"Mulut gue bau ya?" Athar tersedak minumnya dan Kiran tercekik ludahnya sendiri ketika entah ada angin apa tiba-tiba Rizal bertanya seperti itu. Pun Matcha menoleh bingung, mencoba memahami apa yang sebenarnya dilakukan oleh laki-laki yang ada disebelahnya. "Lo kayaknya nggak ikhlas banget ngobrol sama gue. Pasti karna gue nggak secakep Hitam 'kan?"


Hitam.


Nama keramat.


Matcha tersenyum, mencoba untuk tidak membenarkan spekulasi Rizal. Memang dia sedang malas berbicara, tetapi bukan karena alasan seperti yang diucapkan oleh Rizal. Dia hanya sedang malas membahas topik ini, tidak sekarang, dan mungkin tidak juga nanti.


"Gue cuman lagi nggak pengen bahas tentang itu dulu." Jawabnya. Lalu kembali memainkan ujung sedotan minumannya. Hanya memainkan tanpa ada niat untuk meminumnya.


Athar dan Rizal saling melempar pandangan. Memperkirakan apakah mereka masih harus membahas tentang hal 'itu' atau mengakhiri saja seperti keinginan Matcha. Tapi kemudian Athar mengangguk, meminta Rizal tetap mengatakan apa yang ingin dia katakan.


"Lo beneran nggak pengen ketemu sama Hitam? Setidaknya untuk ngomongin masalah kalian." Bujuk Rizal, tapi sepertinya gadis itu tidak benar-benar mendengarkan.


"Cha—"


"Gue nggak paham ya, apa lagi sih yang harus diomongin antara gue sama 'dia'?" tanyanya, membungkam mulut mereka yang baru saja hendak kembali membujuk Matcha. "Lo semua yang paling tau, gimana dia yang selama ini mendorong gue untuk menjauh. Dia yang nggak mau untuk mencoba sama gue, dia yang nggak mau jujur dan terbuka sama gue, dia juga yang nggak pernah ngasih kepercayaan sama gue. Dan sekarang, nggak ada gunanya lo semua ngedorong gue untuk ketemu sama dia lagi. Semua masalah diantara kita udah selesai. Nggak ada lagi yang perlu diomongin."


Di dalam hati ketiga orang itu membenarkan. Sejujurnya Rizal juga sangat memahami, yang menjadi permasalahan di sini bukanlah Matcha. Bukan Matcha juga yang seharusnya mereka minta untuk mau bertemu kembali dengan Hitam. Gadis itu sudah merasakan sakit sehingga harus memilih untuk meninggalkan Indonesia. Dan setidaknya ketika gadis ini kembali, bukan hal seperti ini yang mereka lakukan untuk menyambut kedatangan Matcha.


"Yang gue minta, setidaknya lo jangan menghindar dulu. Hitam pengen ketemu sama lo, dia pengen ngomong sama lo."


Matcha memejamkan matanya, ia menggeleng tidak habis pikir. Kalau memang laki-laki itu ingin menemuinya, maka tidak perlu repot-repot untuk mengirimkan temannya untuk datang ke sini.


"Percuma, tetep nggak bakalan ada yang berubah. Dia bakalan tetap jadi sosok yang misterius, terlalu banyak rahasia yang dia punya. Sesuai namanya, Hitam yang misterius." Matcha berkata skeptis, yang lagi-lagi membuat mereka yang lainnya tidak dapat bersuara. "Gue yakin di masih sama pengecutnya, terlalu takut dengan kemungkinan-kemungkinan yang ada dipikirannya  tanpa mau mencoba. Dan seharusnya yang lo bertiga bujuk itu dia, bukan gue."


***


Hitam menatap ketiga orang itu. Beberapa saat yang lalu dia baru saja tiba dari Melbourne, dan tanpa pikir dua kali ia langsung melesat ke kafe yang dulu sering dia kunjungi. Rizal berkata bahwa dia ingin bertemu dengan Matcha di sana, dan info mengenai keberadaan gadis itu juga ia dapatkan dari Kiran. Mereka semua membantunya. Membantunya untuk mendapatkan kesempatan agar bisa memperbaiki kesalahan bodoh yang dia lakukan. Kesalahan yang mengantarkannya ke lubuk penyesalan.


"Jadi—dimana Matcha?" Hitam bersuara ketika tidak ada satupun dari mereka yang berbicara. Yang mereka lakukan hanya menatapnya datar dengan sesekali menghembuskan napas berat. Apa dirinya melewatkan sesuatu? "Apa dia masih di jalan?"


"Iya, di jalan pulang. Siang ini juga dia bakalan balik lagi ke Melbourne."


"Gue lagi nggak pengen becanda." Hitam melotot kepada Rizal. Mau bagaimanapun dia tetap tidak bisa menerima lelucon disaat seperti ini. Namun ketika mendapati tiga orang itu dengan wajah seriusnya, Hitam menyadari bahwa tidak ada yang tengah mengatakan lelucon saat ini. Mereka serius. Mereka serius mengatakan bahwa Matcha tidak di sini. "Bukannya lo bilang kalo mau ketemu Matcha disini? Lo bohongin gue?"


Rizal mencibir ketika mendengar pertanyaan emosi Hitam. Mereka sudah sama-sama dewasa, tetapi kenapa Hitam masih saja bersikap dengan menggunakan emosinya saja.


"Tadinya Matcha ada disini, bareng kita." Jelas Athar, bertindak lebih cepat dan tidak membiarkan Rizal ikut menjawab dengan emosi. "Tapi dia udah keburu pergi karna kita minta untuk ketemu sama lo."


"Sori, kita udah coba bujuk Matcha, tapi dia tetep nggak mau." Ujar Kiran. Sukses mengantarkan Hitam ke negeri antah berantah yang bernama kekecewaan.


Mereka serius. Matcha sudah benar-benar tidak ingin bertemu dengannya lagi. Dan satu-satunya yang patut disalahkan akan hal ini hanya dirinya. Kebodohan yang tidak berguna jika kini ia sesalkan.


Tangan Rizal terangkat, menepuk bahu Hitam layaknya seorang sahabat untuk menenangkannya. "Lo sama sekali nggak ada kesempatan lagi," katanya, kemudian melanjutkan, "dan gue rasa, sekarang waktunya untuk lo menyerah."


09 Mei 2016

Matcha Black CoffeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang