Kafe itu tidak berubah, meski sudah dua tahun Matcha tidak mengunjungi kafe tersebut. Bahkan karyawan-karyawan di sana masih mengenali Matcha yang mana dulu adalah salah satu pelanggan tetap mereka.
Atensinya beralih kepada dua pasang manusia di depannya. Menyadari bahwa masih ada dua orang lainnya di sana. Dua orang yang sejak kedatangannya sepuluh menit yang lalu menatapnya tanpa bosan.
Bola matanya berputar searah, menandakan bahwa gadis itu kesal karena dirinya dijadikan tontonan oleh sepasang kekasih itu.
"Sampai kapan mau jadiin gue bahan tontonan?" Matcha bertanya penuh sarkasme. Lagipula, tidak ada orang yang akan nyaman jika terus-terusan di pandangi seperti itu.
Kiran terlebih dahulu mengalihkan pandangannya, diikuti Athar yang kini menatap kepada Kiran dan berpaling memandang ke luar.
"Gue ragu kalo lo yang di depan gue sekarang ini adalah Matcha yang gue kenal dulu." Akhirnya Kiran bersuara, setelah mulai bisa memaklumi perubahan yang terjadi dengan sahabatnya itu. Tidak sedikitpun terbesit di benaknya, kalau dalam waktu dua tahun Matcha berubah sedrastis ini.
"Semua orang berubah," katanya. Ia memainkan ujung sedotan minumannya. "nggak terkecuali gue."
Diam-diam Kiran membenarkan. Kehidupan adalah tentang bagaimana kita bisa mengubah diri menjadi lebih baik. Dan perubahan yang terjadi pada sahabatnya ini adalah perubahan yang baik bukan? Tapi tidak berarti Matcha yang dulu tidak baik.
"Jadi, kenapa tiba-tiba lo berpikir untuk ganti warna rambut lo?" tanyanya. "Bukannya lo bilang rambut lo bakalan selamanya warna ijo?" sambungnya. Mengingatkan Matcha akan kejadian beberapa tahun yang lalu. Saat di mana dirinya pertama kali mewarnai rambutnya menjadi warna hijau, dan berkata sampai kapanpun tidak akan mengganti warna rambutnya selain warna hijau. Dan sekarang, baru beberapa tahun tapi semuanya sudah berubah.
"Kayak yang gue bilang sebelumnya, semua orang berubah."
"Sejauh mana perubahan yang lo alami?" tiba-tiba Athar bertanya. Pertanyaan yang seumur hidup tidak pernah terpikirkan oleh Matcha untuk di jawabnya.
Kepalanya menoleh, lurus-lurus ke balik bahu laki-laki itu. Berpikir sesaat sebelum menjawab pertanyaan yang sebenarnya tidak lebih sulit dari kuis tiap minggu yang diberikan oleh dosennya. Ini hanya jenis pertanyaan yang berbahaya, pertanyaan sederhana yang tidak bisa di jawab sembarangan. Apalagi Athar adalah seorang mahasiswa jurusan Psikologi. Menambah kadar kehati-hatian Matcha dalam menjawab pertanyaan tadi.
"Sejauh yang gue inginkan." Akhirnya Matcha menjawab, selama hampir empat puluh detik yang senyap ia habiskan untuk menimbang-nimbang jawaban apa yang akan dia berikan.
Dan begitu empat kata itu terucap, sedikit senyum terbit dari bibir Athar. "Lo masih sama, nggak ada yang berubah kecuali tampilan luarnya." Kata-kata laki-laki itu terdengar sederhana namun mampu membuat jantung Matcha di remas tangan tak kasat mata. Di genggam begitu kuat sehingga tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya. "Nggak lebih dari rumah kosong yang di cat ulang, meskipun luarnya udah baik-baik aja, tapi di dalamnya tetap sama. Sama-sama udah menggenaskan."
"Ngomong apa sih lo, nggak jelas banget." Kiran tertawa sumbang, di bawah meja ia menginjak kaki Athar supaya laki-laki itu tidak lagi melanjutkan kata-katanya yang sudah terdengar seperti Psikolog handal. "Jadi berapa lama lo di sini? Gue harap sih kalo perlu lo nggak usah balik lagi ke Aussie."
Tenggorokkannya bergerak ketika Matcha menelan ludahnya. Menelan secara paksa kata-kata Athar sebelumnya bulat-bulat. Tidak ada sanggahan dan penyangkalan karena memang seperti itulah kenyataannya.
"Nggak tau, tergantung bokap. Ini aja gue di paksa untuk ikut."
Kiran mengangguk, lalu kembali berujar, "jadi gimana Aussie? Gue pengen denger langsung dari lo, bukan cuman baca dari email super pendek lo aja." Pinta Kiran, sedikit menyindir bagaimana ketika Matcha yang membalas emailnya dengan begitu singkat, padat, dan jelas. Seolah-olah email yang dikirimkannya akan dikenakan biaya untuk setiap karakternya.
"Ya gitu," Matcha mengangkat kedua bahunya, tidak benar-benar dalam keadaan bersemangat untuk mendeskripsikan tentang Aussie. "Dibilang bagus, ya bagus, tapi nggak bagus-bagus banget. Dibilang jelek, ya nggak jelek-jelek juga."
"Kok?" terlihat jelas kebingungan diwajah Kiran. Lagipula ketika mendengar jawaban seperti itu, siapapun yang bertanya juga akan dibuat kebingungan. Jawaban yang penuh dengan keambiguan.
"Daripada bahas tentang Aussie yang nggak penting-penting banget, mending sekarang bahas tentang lo." Usul Athar. Laki-laki itu menyadari keengganan Matcha untuk membahas tentang Aussie. Bukan hal yang susah untuk membaca air muka Matcha. Ujung telunjuknya mengarah kepada Matcha, dan selanjutnya dahi gadis itu berkerut kebingungan.
"Kenapa sama gue?" jari telunjuknya pun kini ikut mengarah kepada dirinya sendiri. Seolah mempertegas bahwa orang yang ditunjuk Athar memang benar dirinya.
"Seberapa lama lo ngeyakinin diri untuk balik ke Indonesia?"
Matcha tidak menjawab. Membiarkan kepalanya dipenuhi oleh jawaban berbentuk penyangkalan yang semakin menggunung disetiap detiknya. Perlahan tapi pasti, sampai-sampai karena terlalu banyak otaknya tidak mampu mencerna jawaban mana yang sekiranya pantas untuk dikeluarkan.
"Nggak usah dijawab juga nggak papa, Cha." Kiran berujar canggung, sedikit merutuki Athar yang kini berubah menjadi seseorang yang selalu mengatakan isi kepalanya dengan gamblang. Sikap yang baik memang, tapi setidaknya harus menyadari situasi dan kondisi.
Tarikan napas Matcha menjadi satu-satunya pengisi keheningan diantara mereka bertiga. Lalu dua detik setelahnya Matcha menjawab, dengan suara yang lebih pelan dari sebelumnya.
"Emangnya keliatan banget ya?"
"Lo masih beneran belum move on?" pertanyaan yang terlontar dari Kiran tidak ia jawab. Tidak perlu sebenarnya, karena dengan sekali lihat saja juga mereka bisa mengetahui jawabannya.
"Pernah kepikiran untuk ketemu sama 'dia' lagi? Yah, kalo dipikir-pikir masih terlalu banyak permasalahan diantara kalian yang belum selesai." Athar berpendapat. Kedua tangannya terlipat di atas meja, saling bertumpu satu sama lain dengan kedua matanya yang berfokus kepada gadis di depannya. "Siapa tahu dengan ketemu bisa meringankan sedikit perasaan lo. Ya lo tahu, penyelesaian terbaik dalam masalah ya dengan nyelesaiin masalah itu. Karena mau gimanapun masalah nggak akan selesai dengan sendirinya kalo lo nya menghindar dan melarikan diri."
"Kalo lo mau ketemu sama Hitam, gue bisa bantu."
3 bab lagi menjelang end gais. Kali ini beneran end, bukan sekedar prank. Karna memang end nya gue rencanain di bab 40.
DAN UNTUK SEQUEL, YA ADA SEQUELNYA. COBA CEK WORK GUE YANG JUDULNYA 'RISK'
KASIH KOMEN KALO ADA YANG PENGEN BERPENDAPAT DAN MENEBAK-NEBAK BUKU ITU. DAN DI SANA ADA CLUE YA, MAKANYA YANG SUKA SAMA MBC SILAHKAN CEK SEBENTAR BUKU RISK UNTUK MENEMUKAN SESUATU 😅06 Mei 2016
KAMU SEDANG MEMBACA
Matcha Black Coffee
Teen FictionTHIS STORY CREATED AND WRITTEN BY ME ARE NOW ON 'PRIVATE'. TO READ AND ACCESS THIS STORY PLEASE FOLLOW ME FIRST OR MAYBE YOU SHOULD TO READ THE "PLEASE READ!" TO KNOW HOW TO READ THIS STORY. THANK YOU. SYNOPSIS ON FIRST CHAPTER. 28 FEBRUARI 2016