17. Matcha

1.2K 157 6
                                    


Semua mata yang ada di kantin kini terpaku di satu tempat. Tepatnya ke meja di mana Matcha dan Kiran duduk. Tidak ada yang menarik kecuali keberadaan Clorinda yang tengah mengata-ngatai Matcha di sana. Suaranya yang toa memenuhi hampir seluruh kantin. Tak sedikit dari mereka semua yang berdecak dan menggerutu jengkel karena suara cempreng gadis itu begitu mengganggu. Tapi ada juga yang terang-terangan menonton karena penasaran, apa lagi yang kini menjadi permasalahan di antara kedua gadis itu.


"Mau lo itu apa sih sebenernya? Gue deket sama Athar lo ribet, gue jadian sama Athar lo makin rempong, terus sekarang pas gue putus sama Athar kenapa lo masih aja ngerecokkin gue? Seharusnya lo seneng, kesempatan buat dapetin Athar terbuka lebar. Yah meskipun kenyataannya Athar nggak bakalan pernah mau sama cewek kayak lo."


Tanduk tak kasat  mata Clorinda makin mencuat. Memperjelas statusnya sebagai peran antagonis di sini.


"Lo seharusnya bersyukur karna Athar mau jadiin lo ceweknya, bukannya malah nggak tau diri gini sok-sok mutusin Athar." Urat-urat di leher gadis itu tercetak begitu jelas, menandakan bahwa ia berbicara dengan sekuat tenaganya. Sampai-sampai suara teriakkannya terdengar ke sudut kantin. Menggetarkan gelas dan piring milik Mang Eko di raknya. Benar-benar dahsyat.


"Bisa nggak lo kalo ngomong nggak usah ngotot gitu?" awalnya Matcha yang hanya duduk kini memilih berdiri sehingga sejajar dengan Clorinda. Mereka adalah gadis yang sama-sama cantik, tapi sayang memiliki kepribadian yang berlawanan. Ibarat kata, sifat mereka bagaikan cabe dan teh hijau. Yang satu pedas dan yang satunya pahit.



"Sayangnya gue nggak matuhin perintah dari orang kayak lo." Jawabnya begitu menyebalkan. Dan tiba-tiba saja Clorinda menyeringai, pertanda bahwa ada sesuatu yang buruk akan terjadi. Detik berikutnya Clorinda menatap kepada Karin yang masih bertahan di posisi duduknya. Entah kenapa kali ini gadis itu terlihat lebih jinak, tidak menggebu-gebu seperti sebelumnya jika menghadapi seorang Clorinda. "Kiran kok tumben lo diem aja?"


Pancingan Clorinda itu membuat Kiran tersentak. Dan kini Matcha ikut menatap ke arah gadis itu. Dan apa yang dikatakan oleh Clorinda ada benarnya juga, tumben Kiran tidak ikut mengata-ngatai Clorinda.


"Lo takut ya kalo gue kasih tau ke Matcha kalo sore kemarin gue mergokkin elo lagi jalan bareng Athar?"


Bagai di sambar petir, Matcha menatap kepada dua gadis itu bergantian. Meminta penjelasan lebih akan kata-kata Clorinda yang tidak beralasan itu.


"Kalo lo niatnya cuman bikin gue sama Kiran berantem mending nggak usah deh."


Clorinda menggeleng dramatis. "Sayangnya apa yang gue omongin itu bener. Parah banget ya kalo punya temen pengkhianat kayak gini, temen sendiri malah di tikung."


"Ran, kenapa lo diem aja?" desak Matcha karena sedari tadi gadis itu hanya diam, tidak melakukan penyangkalan seperti yang diharapkan olehnya. Apa jangan-janga ini pertanda kalau apa yang dikatakan cabe Barbados itu benar kalau Kiran dan Athar kemarin jalan bersama?


Takut-takut Kiran mengangkat kepalanya, menatap Matcha yang masih berdiri tepat di depan meja mereka. "G-gue bisa jelasin kok Cha."


Sial. Dalam hidupnya, Matcha paling membenci drama pengkhianatan.


***


Untuk jam pelajaran terakhir Matcha izin untuk pulang cepat. Bukan karena sedikit konflik tadi, tapi lebih karena sesuai permintaan papanya, bahwa akan ada orang yang mendesain kamarnya akan datang. Jam dua tepat dia sudah keluar dari sekolah dijemput oleh sopir pribadinya karena akan sangat membuang waktu kalau harus naik angkutan umum.


Selama perjalanan pulang pikiran Matcha kembali ke kejadian di kantin tadi. Sungguh-sungguh syok dengan apa yang di katakan oleh Clorinda.


Bukan apa-apa, Matcha hanya tidak berteman baik dengan yang namanya pengkhianatan.


Meski dirinya sudah tidak memiliki perasaan apa-apa kepada Athar, tapi mengetahui bahwa Kiran dan Athar diam-diam jalan dibelakangnya tetap saja menyebalkan. Dia merasa dibohongi dan di bodoh-bodohi. Apalagi kejadian itu berlangsung kemarin, dimana otomatis dirinya masih berstatus sebagai pacar Athar. Tepatnya ketika dirinya mengharu-biru di kamar dan membatalkan janjinya untuk bertemu dengan Athar karena hujan.


Oh, apakah mereka bermesraan di bawah rintik hujan seperti di film-film india?


Tentu saja bukan bermaksud cemburu, intinya Matcha hanya tidak bisa mentolerir pengkhianatan. Tapi bagaimanapun dia tidak bisa begitu saja mempercayai kata-kata Clorinda dan memusuhi Kiran. Bisa saja apa yang di lihat oleh cabe satu itu bukanlah kebenarannya. Berhubung hari ini dia harus izin pulang cepat maka besok dia akan segera mengintrogasi Kiran.


Athar dan Kiran, sepertinya mereka tidak buruk jika bersama.








"Dalam yang namanya cinta, dua orang yang awalnya kita anggap sangat mustahil untuk bersama bisa dengan mudah mematahkan anggapan itu." Saat itu, sepulang dari kafe tempat mereka biasa menghabiskan waktu untuk berbincang, Hitam mengajak Matcha mampir sebentar ke tenda kecil di tepi jalan yang menjual jagung bakar. Setelah memesan untuk mereka berdua, Hitam kembali menyusul Matcha yang sudah duduk manis di atas kap mobil Hitam. Dan kata-kata itu adalah balasan yang ia berikan ketika Matcha bertanya tentang; keajaiban cinta.


Mata gadis itu menatap lekat ke wajah Hitam. Mencoba memahami bagaimana seorang Hitam selalu memiliki jawaban yang begitu luar biasa. "Seperti Cinderella dan Pangeran?" tanyanya lagi.


"Hidup nggak sesederhana itu, kadang untuk bisa dapetin kebahagiaan kita harus mengorbankan satu hal." Ucapannya terhenti ketika jagung bakar pesanan mereka tiba, dengan bersemangat Hitam menerima jagung itu dan langsung memakan gigitan pertamanya. Disebelahnya, masih dengan mata yang terpaku kepada Hitam, Matcha melakukan hal yang serupa. "Dan Tuhan nggak pernah sia-sia, Dia akan selalu membalas setiap pengorbanan yang kita lakukan dengan hal yang jauh lebih pantas."


Mata Matcha kini berpindah, memperhatikan tangan Hitam yang memutar-mutar jagung bakar miliknya dengan beberapa tempat bekas gigitan.


"Apa kamu pernah ngelakuinnya?" Hitam balas menatap gadis itu, tangannya bergerak sendiri menyelipkan anak rambut gadis itu yang diterpa angin malam.


"Entahlah," kedua bahunya terangkat samar. "aku rasa belum ada hal yang sekiranya pantes untuk dikorbankan demi ngedapetin kebahagiaan itu." Kini Hitam kembali beralih, menatap kejalanan yang terhampar di depan mereka.


Dalam diam pun Matcha ikut menatap ke jalanan, jagung bakarnya kini sudah tidak semenarik tadi. Ia menghela napasnya ketika merasakan ada yang menyumbat hatinya. Parahnya dia sama sekali tidak tahu apa itu. Apa ini semua ada hubungannya dengan laki-laki yang masih setia berdiam disebelahnya?


"Emangnya selain kopi hitam, hal apa lagi yang jadi sumber kebahagiaan kamu?"


Hitam kembali menatap ke wajah gadis itu. Sedangkan Matcha bertanya tanpa mengalihkan sedetikpun tatapannya. Mungkin Matcha menyesali ketika dia memilih menatap jalanan daripada wajah Hitam ketika tiba-tiba saja satu kalimat yang meluncur dari mulut Hitam menghangatkan hatinya.


"Kata terakhir dari pertanyaan kamu tadi."




01 April 2016

Matcha Black CoffeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang